Bab 2. Kakak Yuri

1021 Words
“Terima kasih banyak! Jika kamu tidak datang tadi, Yuri pasti sudah berakhir di tangan mereka bertiga,” ujar Yuri yang benar-benar berterima kasih pada lelaki itu.   “Hm,” “Nama kamu siapa? Namaku Yuri,” tanya Yuri lagi yang kini menanyakan perihal nama lelaki yang telah menolongnya itu.   “Sean,” jawab lelaki yang tak lain bernama Sean itu.   “Salam kenal ya Sean, sekali lagi terima—“   Ucapan Yuri terhenti saat Sean dengan tiba-tiba menyodorkan nampan kecil yang berisi dua butir obat dan segelas air putih. Yuri yang belum mencerna pun sempat terdiam sejenak sebelum akhirnya kembali bertanya.   “Ini untuk Yuri?” tanyanya sambil menatap Sean dengan lucu.   “Hm,”   “Terima kasih banyak sekali lagi!” ujar Yuri yang langsung berniat mengambil butir obat tersebut. Namun, dengan cepat Sean menahan tangannya yang membuat Yuri mengernyitkan dahi bingung.   “Makan,” ucap Sean singkat yang tentu tidak dapat dicerna oleh otak lelet Yuri.   “Makan?” tanya Yuri bingung.   “Sudah makan?” tanya Sean yang kini lebih jelas.   “Oh? Um..., sudah,” Jawab Yuri yang sebenarnya berbohong. Bagaimana tidak? Lelaki manis itu memang belum sarapan saat ingin berangkat ke TK tadi.   Kruyukkk....   Perut Yuri yang lapar itu berbunyi dengan tak tahu waktu. Yuri sedikit merona karena malu yang membuat Sean melirik nya sejenak.   “Ikut,” titah Sean yang langsung bangkit dari ranjang yang ia duduki lalu berniat pergi sebelum suara gaduh kembali terdengar.   Brukk...!   Tubuh mungil Yuri ambruk saat ia mencoba turun dari atas ranjang yang menurutnya terlalu tinggi itu. Melihat Yuri yang jatuh, membuat Sean mendecih dan langsung menghampiri bocah tersebut.   “Ck,” decak Sean saat mendengar ringisan samar Yuri. Ia, langsung mengangkat tubuh tersebut yang membawanya keluar kamar dengan pose Sean yang mengangkat tubuh mungil itu layaknya anak kecil.   “Maafkan Yuri, apa kamu marah?” tanya Yuri saat ia kembali didudukkan oleh Sean.   “Makan,” titahnya pada Yuri yang membuat sang empunya pun langsung menolehkan kepalanya ke  arah meja pantry yang sudah terisi oleh menu makanan yang sangat diinginkan oleh Yuri.   “Wahh!! Apa ini boleh Yuri makan?” tanya Yuri dengan mata berbinarnya menatap makanan-makanan tersebut dan Sean secara bergantian.   “Ya,” jawab Sean singkat.   “Terima kasih! Tapi, apa yang aku harus lakukan terlebih dahulu? Haruskah aku mengambil piring? Tapi dimana?” tanya Yuri yang kebingungan sendiri membuat Sean menghela nafas berat.   “Langsung makan,” ujar Sean menyodorkan salah satu menu tersebut pada Yuri.   “Tidak memakai nasi? Kita tidak berbagi?” tanyanya lagi yang membuat Sean kesal sendiri karena Yuri yang terlampau polos…, atau bodoh?   “Tidak. Tidak,” jawab Sean satu persatu.   “Um, kamu tidak sarapan?”   “Sudah,”   “Ah, begitu ya. Jadi, Yuri boleh memakannya semua?”   “Hm,”   “Tidak apa?”   “Hm,”   “Baiklah terima kasih banyak!” ujar Yuri final yang langsung menyantap semua menu sarapan yang tersedia. Dirinya begitu antusias, karena Yuri hanya bisa mencium aroma semua masakan ini saja ketika di restoran. Setiap harinya, Yuri hanya memakan hasil gajinya saat bekerja di rumah makan. Ya, rumah makan itu memang hanya menggaji Yuri sedang sebungkus makan siang.   Lalu, bagaimana untuk pagi dan malam? Apakah Yuri tidak mendapatkan sarapan dan makan malam? Jawabannya adalah iya, walaupun jarang. Makanan tersebut ia beli dari uang hasil ia bekerja menjadi guru pengajar seni lukis, pelayan café dan pelayan restoran. Ia jarang makan karena terkadang Yuri memang menyisihkan sebagian penghasilannya untuk ia tabung guna membeli sketchbook atau pensil baru.   Sedangkan Sean yang melihat Yuri makan pun sedikit miris. Bagaimana tidak? Lelaki manis itu memang benar-benar lahap menghabiskan semua menu sarapan yang dibelinya tadi. Sesekali Sean juga melirik tubuh Yuri yang terlampau mungil. Yuri pun juga sangat kurus, tampak terlihat seperti orang yang kekurangan gizi.   “Selesai! Terima kasih banyak sekali lagi!” ujar Yuri setelah selesai menghabiskan selurus makanan tersebut dengan sisa yang masih tertinggal di sudut bibirnya. Menyadari, Sean pun mengulurkan tangannya untuk membersihkan sisa makanan tersebut di sudut bibir mungil itu.   “Hm,” balas Sean yang lagi-lagi hanya menggumam.   “Boleh aku bertanya?” tanya Yuri yang membuat sebelah alis Sena terangkat.   “Apa kamu lebih tua dariku?” tanya Yuri setelahnya.   “…” tidak menjawab, Sean hanya menggedikkan bahu sebagai respon.   “Umurmu berapa?” Tanya Yuri lagi.   “Sembilan belas,” jawab Sean jujur apa adanya.   “Woahh!! Oniichan?!” pekik Yuri senang yang membuat Sean langsung menoleh ke arahnya.   “Apa?” tanya Sean dengan kening berkerut tak suka.   “Ah? Tidak mengerti ya? aku panggil kakak saja kalau begitu,” ujar Yuri yang salah mengartikan.   “Kakak?” tanya Sean yang kini dengan sorot mata tajamnya.   “Kakak tidak mengerti? Atau kakak marah pada Yuri?” tanya balik Yuri yang kini dengan raut wajah khawatirnya.   “Diam,” jawab Sean yang sudah malas mendengar celotehan yang keluar dari bibir mungil itu.   “Kak Sean marah pada Yuri? A-aku minta maaf,” ujar Yuri yang mulai takut dengan nada dan tatapan Sean yang semakin dingin.   “Tidak. Diam,” balas Sean dengan penuh penekanan yang membuat Yuri pun mengerti bahwa sang ‘kakak' tidak ini diganggu saat ini.   Sean, langsung bangkit dari kursi yang ia dudukin dan bergegas membereskan meja pantry yang penuh dengan piring kotor. Sedangkan Yuri, kini hanya diam menatap Sean yang dengan cekatan mencuci piring-piring kotor tersebut.   “Dimana rumahmu?” tanya Sean setelah selesai membereskan semuanya.   “…” Tak ada jawaban dari Yuri yang membuat Sean heran.   “Pulang,” ujar Sean yang malah membuat Yuri langsung beranjak dari kursi tinggi itu dengan susah payah memijak lantai.   “Kemana?” tanya Sean cepat sambil menahan lengan mungil itu saat Yuri hendak keluar dari apartemen miliknya.   “…” Lagi-lagi tak ada sahutan dari Yuri. Lelaki manis itu hanya mengernyitkan dahinya heran menatap Sean yang kini tampak jengah.   “Bisu?” tanya Sean yang sudah terlampau kesal.   “…” Hanya gelengan singkat yang diberikan Yuri pada lelaki dingin itu.   “Bicara!” titah Sean sedikit membentak yang membuat Yuri tersentak mendengarnya.   “Iya?” balas Yuri yang pada akhirnya membuka suara.   “Kau menghiraukanku?” geram Sean pada Yuri yang hanya menatapnya dengan sorot mata bingung.   “Kakak kenapa? Kakak marah? Bukankah tadi Yuri diam? Kenapa kakak menyuruh Yuri untuk kembali bicara?” tanya Yuri dengan polosnya.   “Bodoh!” umpat Sean yang sudah benar-benar hilang akal. Rasanya, ia ingin menelan Yuri bulat-bulat saat ini juga.   “M-maaf kakak,” balas Yuri yang langsung menundukkan kepalanya saat mendengar umpatan Sean barusan.   “Aku antar,” ujar Sean yang langsung menarik lengan Yuri dengan sedikit kasar menuju luar apartemen. Namun sebelum itu,   Brukk…!   Tubuh mungil Yuri lagi-lagi harus tersungkur akibat tersandung undakan kecil saat keduanya sudah berada tepat di depan pintu apartemen. Melihat Yuri yang meringis kecil, Sean pun tidak tahan dan langsung menggendong tubuh mungil itu layaknya anak kecil lalu membawanya keluar dari apartemen. Sedangkan Yuri sediri yang sempat kaget itupun lantas langsung mengalungkan kedua lengannya di leher Sean. ~~Bersambung~~
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD