3. Kamar 32

649 Words
   "Dasar laki-laki sombong. Serigala kabur dari hutan mana sih, dia? Sombong sekali! Memecat orang seenaknya. Dia kira mudah cari kerja!" Ayana mendorong pintu kamar hotel dengan kasar. Mengibas rambut panjangnya kemudian melipat kedua tangan di d**a.    Mereset kembali kombinasi tiga digit angka di koper jenis president miliknya. Selanjutnya memeriksa isi koper. Memejamkan mata kesal ketika mengingat bahwa letak-letak pakaian dalamnya sudah berpindah, tepatnya semua barang miliknya di dalam koper sudah tidak pada tempatnya yang benar. Mungkin berantakan.    "Hah! Dia pasti--? Sialan, dia lihat semua ini." Aya menatap lingeri seksi miliknya. Dan membayangkan laki-laki tak dikenalnya itu menyentuh benda yang sangat pribadi membuatnya bergidik kemudian meringis kesal, sesal atau apalah itu yang di dalam perasaannya.    Membuka blazer kemudian ke kamar mandi, dan tentu saja dia akan menenangkan tubuhnya di bath tube dengan air hangat dan aroma terapi.    Jarang sekali memang Ayana menggunakan koper jenis president untuk bepergian. Dia lebih senang menggunakan ransel karena lebih santai dan nyaman. Andai saja dia tidak membawa peralatan banyak tentu dia akan mengabaikan koper president yang kodenya pun ia sering lupa karena jarang memakai.    Tapi tidak hari ini. Dia tidak akan pernah lupa tiga digit kode yang baru saja ia buat kembali. 032, sesuai dengan usianya ketika kejadian gila ini terjadi. Ia akan selalu mengingat hari sial ini. Dan mungkin akan membenci koper, seribu kali berpikir untuk meninggalkan ransel tercintanya di kamar.    Ayana Soedrajad, wanita cantik yang sangat dimanja oleh kedua orang tua-nya namun tetap tahu bagaimana caranya hidup mandiri. Baginya ayah dan ibu adalah makhluk paling sempurna dan hal yang paling ia syukuri adalah terlahir dari kedua makhluk sempurna itu.    "Sudah sampai, Nak?" suara lembut ibunya terdengar ketika ia menerima panggilan dari ibunya, Elyana Soedrajad.    "Sudah, Bu. Aya lagi mandi. Maaf Aya nggak langsung telepon ketika sudah sampai. Soalnya tadi... Aya ada sedikit kejadian kecil."    "Kejadian apa maksud kamu, Aya?" ibunya terdengar panik membayangkan sesuatu telah terjadi pada putrinya.     "Bukan apa-apa Bu, bukan masalah besar, hanya... koper Aya tadi sempat tertukar dengan koper milik tamu lain karena keteledoran petugas. Tapi tenang aja udah beres kok, nggak ada masalah." Sebelah tangan Aya memainkan buih di bath tube .    "Syukurlah, ibu sempat khawatir tadi. Ibu pikir kamu ada apa lama nggak kasih kabar."    "Iya Ay lupa, maaf ya Bu."    "Jangan telat makan sayang, nanti kalau kamu sakit ibu yang diomelin ayah."    "Iya, habis ini aku makan, dan nanti malam juga pasti makan. Katakan pada ayah jangan khawatir." Aya tersenyum meski ibu tak dapat melihat senyumnya. Tidak ada yang lebih menenangkan selain suara ibu baginya.    "Ya sudah kalau begitu, kamu selesaikan mandi. Ibu mau menghangatkan makanan sebentar lagi ayah pulang dari memancing." Ibu pun tersenyum meski Aya tak dapat melihatnya. Tak ada yang lebih menenangkan selain mengetahui putranya baik-baik saja.     "Oke, bye ibu. Assalamu'alaikum."    "Bye sayang, Wa'alaikumussalam."    Ayana meletakkan kembali handphone di pinggir bath tube. Kemudian memejamkan mata untuk menikmati ritual berendamnya dengan relaks.    ... Perempuan sinting!    Tiba-tiba kalimat makian itu mengusik ketenangannya. Membuka lebar matanya kemudian mengernyit ngeri.    "Kalau pun gue sinting nggak bakal mau sama laki-laki sombong dan kejam seperti dia."    "Dasar cowok aneh! Mimpi apa gue ketemu makhluk semengerikan dia? Dan aaarrgghhh... isi kopernya menjijikkan!" Ayana teriak sekali lagi ketika mengingat hot pants pria super ketat yang ia temukan kemudian ia menenggelamkan kepalanya untuk menepis semua yang berputar di matanya mengenai isi koper pria alien itu.    Sadar tak dapat menyingkirkan wajah menyebalkan dan tatapan paling kejam milik pria itu membuat Aya sangat kesal kemudian melempar bantal ke sembarang arah hingga mengenai sebuah lukisan yang hampir saja terjatuh ke lantai. Aya memejam dan menutup kedua telinganya, mengira lukisan itu akan jatuh dan hancur di lantai. Tak ada suara pecahan kaca yang ia takutkan, ia membuka mata. Mengembus napas lega.     "Kalo aja bukan karena dua pegawai malang itu, aku nggak sudi mengakui dia sebagai suami! Ih..., amit-amit punya suami kejam dan sombong seperti dia!" Aya bergidik ngeri. Ia merebahkan lagi kepalanya kemudian tenggelam dalam selimut.  ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD