Irene Pov
“aah.. Masih gak nyaman yaa.. diliatin banyak orang kaya celebrity, itu siih resiko orang cantik Ren..”
“apasih.. banyak kok cewek di fakultas yang lebih cantic.. tapi rasanya mereka berlebihan banget.. mungkin karena aku cantic tapi kurang duit kali ya… mereka pikir bisa dapetin aku kalo aku di bayar..padahal- hftttt”
“siapa yang berani bilang gitu? Gue hajar tu orang..”
“udahlah… aku cuma pengen buru-buru pergi…tapi bentaran lagi, nunggu Wendy dulu biar berengan”
Kataku, kemudian menunduk, berharap bisa menyembunyikan wajahku. Aku masih ingat dulu saat aku harus membayar uang ujian tengah semester, saat itu mendapat pinjaman dari salah satu mahasiswa laki-laki, kupikir dia itu benar-benar orang baik yang mau membantuku yang sedang kesulitan uang. tapi ternyata dibelakangku, ia sedang bertaruh dengan teman-temannya dan berusaha memenangkan aku yang di jadikannya taruhan untuk menjadi kekasihnya. dia bahkan berkata tak usah membayar uang itu kembali dan cukup tidur saja dengannya. aku sangat takut sekali saat itu, sampai Roy datang dan menyelamatkanku. Sejak saat itulah Roy selalu berada disampingku, menjadi sahabatku dan menjagaku selain Wendy tentunya.
Banyak hal yang tak mengenakan, yang kualami selama ini. pelecehan, hinaan, dan perlakuan yang merendahkan karena memiliki paras yang katanya cantic tapi kondisi ekonomi yang sangat pahit.
“Irene..”
“Oooh.. dari mana ajaa??? Cepet bawa aku pergi dari sini”
Kataku.
“yaudah ayo cabut..”
“Roy lo yang bawa mobil yaa..nih”
Ucap Wendy pada Roy sambil melemparkan kunci mobilnya.
“siap boss”
Didalam mobil aku hanya diam, ingin sekali rasanya aku menurunkan kaca mobil tapi lagi-lagi harus dipandangi banyak orang itu sangat tak nyaman.
“Ren gak part time kan hari ini? kita nonton yuk”
“ooh.. iya sih, tapi nanti jam 5-an harus ketemu Pak Daren”
“Pak Daren? Ngapain? Bukan pacaran sore kan?”
“sembarang!! Engga.. akukan gak ikut kuliah lapangan kemaren, jadi ada gantinya gitu buat jadi asisten penelitian dosen tamu katanya..”
“tuh kan.. coba aja kemaren kamu tuh nurut dikit gitu sama aku.. lagian aku juga pinjemin uang kemaren itu bukan maksud apa-apa ini malah marah bilangnya ngerendahin lah..apa laaah.. jadi ribet sendirikan jadinya..”
“maaf soal kemaren itu.. lagi sensi aja sii kemaren tuh.. maaf ya Wen..”
Sebenarnya memang saat kuliah lapangan untuk penelitian itu, Wendy berkata akan menanggung dulu biayanya yang tak sedikit itu. tapi aku malah menolaknya dengan marah-marah. Aku jadi sensitf pada orang-orang saat bersangkutan dengan uang, aku takut jika tawaran kebaikan mereka hanya akan berakhir dengan menyakitiku lagi. jadi akhirnya kutolak maksud baik Wendy hari itu.
“dosen tamu? Siapa Pak Jackson?”
Tanya Roy.
“ah iya itu dia Pak Jackson”
“waaah… itu sih si Psychopath, Ren.. hati-hati deh…dia tuh es tau gak? Kaya ini… emmm, gunung es yang teorinya si Sigmund Freud yang id, ego, superego .. sumpah deh dingiiiin banget orannya..”
Aku terheran mendengarnya
“bukannya dia dosen psikologi ya..kok dingin kaya es?”
“iya psikologi tapi kaya psychopath..”
Aku jadi sedikit was was mendengarnya. aku cukup sadar diri karena sikapku yang sangat ceroboh, aku takut. dan belum apa-apa aku sudah memiliki firasat buruk untuk bertemu dengannya.
“duh..kok jadi takut gini yaa.. apa batalin aja, tapi.. antropologi aku gimana nasibnyaa… hahhh”
Aku jadi galau dan dilema.
“udah sii.. coba aja dulu, siapa tau aja gak seburuk itu..”
Ucap Wendy. Aku hanya menganguk padanya.
“mungkin iya coba aja ketemu dulu nanti sore, kalo nyeremin aku lepas kali yaa…”
Akhirnya kuputuskan untuk menemui Pak Jackson sore itu.
Pukul 16.51 Auditotrium
Sedikit ragu ku masuki ruangan luas dan sedang kosong ini,
“permisi..”
Suaraku mengema, aku jadi takut sendiri mendengar suaraku. Dan yang paling membuatku takut adalah aku jadi harus menemui Pak Jackson seorang diri saja. karena Pak Daren ternyata tak bisa datang untuk menemaniku bertemu dengan Pak Jackson sore ini. semula aku berkata ingin membatalkannya saja karena aku takut untuk menemuinya apalagi harus sendiri. Tapi ternyata Pak daren sudah mengatakan pada Pak Jackson akan datang dan sudah pasti akan mengambil posisi asisten itu. apa daya aku jadi di sini diruangan kosong ini sendiri.
Hanya ada deretan kursi, aku berjalan turun menuruni tangga auditorium yang turun itu menuju podium bagian utama ruangan luas itu.
Brukk
“aaaa!!!”
Aku kaget sampai menjerit, ternyata ada seorang pria di deretan kursi paling depan yang tadi tak terlihat olehku.
“aisshhhh.. bikin kaget aja”
Kataku, kemudian ku ambil botol air minum yang tadi di jatuhkannya sampai mengagetkanku. Masih belum kulihat wajahnya.
“in-“
Kata-kataku terhenti saat kulihat orang ah..bukan, aku meragukan itu adalah orang, terlalu tampan, mungkin saja dia itu malaikat nyasar, atau mungkin hantu penunggu auditorium ini.
“sedang apa disini?”
Tanyanya. Aku jadi tersadar setelah sebelumnya melamun dan pikiranku lagi-lagi terbang melayang bersama bayangan-bayangan aneh.
“aku..huk huk huk”
Entah kenapa aku jadi cegukan saat ia menatapku, matanya, hidungnya bahkan bibirnya tampak sangat cantik, yang di hadapanku kini adalah definisi tampan yang sesungguhnya.
“huk..”
“hey.. ada apa kamu masuk keruangan ini?”
“huk.. itu..huk”
Cegukanku semakin jadi saat ia melangkah mendekat kearahku. Karena sangat gerogi, ku buka botol air minum itu dan kuteguk saja sampai habis air itu.
“kamu datang keruangan ini untuk menghabiskan air minum saya begitu?”
“uhukk uhukkk engga.. uhukk uhukkk”
Aku baru sadar air minum yang sedang kuteguk itu adalah miliknya. Mataku tertuju pada map milik pria tampan ini, tertulis nama disana Jackson Wang.
“apa? Jadi- kamu- oh maksud saya bapak ini Pak Jackson?”
Kataku gelagapan.
“aha.. dan kamu ini?”
Pak Jackson menunduk dan mendekatkan wajahnya padaku,
‘waaaah dia itu coooool banget apalagi dari jarak sedeket ini.. aah yaapun Irene stop! Jangan kaya gini, inget ke sini mau jadi assistant bukan mau terpukau atau terpesona kaya gini..”
“ah.. saya Irene Kim.. assistant penelitian bapak”
Kenalku padanya, sambil menjulurkan tanganku untuk bersalaman dengannya.
“dan soal air minumnya biar nanti saya ganti Pak, maaf sekali tadi..ehmm..”
“yaudah gak papa, tapi kenapa kamu mau jadi assistant penelitian? Bukannya punya wajah cantic kaya kamu biasanya lebih seneng nangkring di media social dan saya rasa juga kamu pasti akan sangat terkenal dari pada jadi assistant.. ribet looh jadi assistant itu..”
Ucapnya padaku, pasti itu adalah bagian dari interview tak resminya. Aku menarik napas dulu untuk mengutarakan alasanku menjadi asistennya.
“sejujurnya saya harus menjadi assistant ini untuk memenuhi nilai mata kuliah antropologi saya yang kurang.. makanya..”
“ehmm… soal itu saya sudah dengar dari Pak Daren, tak ada alasan lainnya? Soal mutiara mungkin?”
“mutiara?”
Aku jadi balik bertanya padanya.
“ehm.. mutiara.. jangan bilang Pak Daren tak memberitahumu soal penelitian ini tentang apa?”
“ooh.. itu..”
Pak Daren tadi siang sepertinya akan menceritakan itu, tapi aku memotongnya pembiacaraannya jadi tak sempat deh Pak Daren memberitahu soal mutiara itu.
“sebaiknya kamu pelajari beberapa tentang mutiara, juga cara kerja penelitian ilmiah beserta aturannya di lab nanti”
“ahh.. baik Pak”
Jawabku, Pak Jackson kemudian melangkah menjauh dariku.
“hhftttt…”
“oh..ooh Pak??”
Pak Jackson tiba-tiba mendekat, sangat dekat denganku. tubuhnya ia condongkan padaku, aku memejamkan mataku jadinya.
‘ooh tuhan ada apaa ini…’
“cih.. benar-benar… orang yang memiliki kepribadan sepertimu sudah pasti tak akan mengunci layar handphonemu…”
Ucapnya, mata kananku kubuka sedikit untuk mengintip apa yang sedang di lakukannya.
“oh.. tunggu.. itu handphone saya Pak…kenapa-?”
Tanyaku pada Pak Jackson saat kulihat ia sedang sibuk dengan handphoneku yang aku tak tahu sejak kapan ia memilikinya.
“ini.. hubungi nomor ini kalau ada pertanyaan soal penelitian kedepannya”
Pak Jackson memberikan handphoneku yang tadi sempat diambilnya. aku mengambil kembali itu kemudian langsung aku cek apa saja yang telah di lakukannya dengan handphoneku itu. kubuka beberapa aplikasi histori,
‘hhh… untunglah dia tak lancang membuka yang lainnya..dan benar.. Pak Jackson hanya menaruh nomornya di handphoneku’ legaku dalam hati.
“pak soal-“
Baru ku mendongak ingin bertanya tapi Pak Jackson sudah tak ada di depanku.
Brakkk
Suara pintu tertutup terdengar keras.
“waaahh… jangan-jangan dia itu benar-benar hantu, baru ku tinggal bentar liat hanphone udah ngilang aja.. hhhh..”
Tinggggggg
“ahhhh… kenapa telingaku berdengung yaa..aahhh”
Tilingaku tiba-tiba jadi sangat aneh, sampai aku menunduk sambil kupegangi kedua telingaku dan memjamkan mataku..
“Reynaa…”
Dalam gelap bayanganku, entah dari mana asalnya tampak seperti sebuah panorama seorang pria yang tak bisa kulihat jelas wajahnya mendekat padaku dan anehnya ia memanggilku dengan Reyna..
“aahh.. sepertinya aku mulai gila”
“aaaaaaa tes tes 1 2 3”
Aku mencoba menormalkan kembali pendengaranku dan menghilangkan bayangan aneh di kepalaku itu. sambil berjalan keluar ruangan, ku coba mencari akun media social Pak Jackson. Sedikit penasaran aku padanya.
“aah.. ini dia akunnya.. waaah.. benar-benar dia itu idola atau apa, semua foto-fotonya seperti model majalah Elle atau W, Pak Jackson itu…”
“tapi aku masih heran kenapa dia itu tertarik sekali pada mutiara ya.. bukannya kata Roy dia itu ngajar psikologi kepribadian?? Apa hubungannya mutiara sama kepribadian?? Aah.. kepalaku..aduh Irene gak usah pikirin Pak Jackson sekarang waktunya sift malem”
Racauku tak jelas, selalu begitu. Aku bahkan suka takut sendiri saat Wendy menyadarkanku aku ini suka meracau sendiri. Kadang aku jadi berpikir kalau aku ini tak normal.
…
Malam ini aku memiliki pekerjaan sift malam di salah satu hotel dan restoran dari jam 7 sampai pukul 1 malam nanti. Ini yang paling melelahkan, tapi harus kulakukan karena bayarannya yang paling lumayan. Hidupku satu bulan kedepan kugantungkan pada pekerjaanku yang satu ini.
Padahal dulu aku di tawari jadi beauty influencer gajinya akan belipat-lipat lebih besar dari ini. tapi baru jalan beberapa hari, sudah banyak stalker gila yang menggangguku. terlebih karena akses media social yang jadi memudahkan semua informasi kita diketahui orang-orang di luar sana.
Saat itu bahkan ada yang sampai selalu menunggu di depan rumahku, ahhh itu adalah satu dari banyak kejadian yang paling mengerikan. Bahkan sekarang aku memiliki akun media social yang hanya di ketahui oleh teman dekatku saja, dan disanapun tak pernah terpajang foto-fotoku. Aku ingin mencobanya seperti orang kebanyakan memposting foto-fotoku. tapi, aku pikir itu hanya akan membuatku kesusahan saja. dan aku berniat melakukan itu saat nanti aku sudah memiliki seseorang yang bisa menjadi pendampingku, kekasihku dan tentunya orang yang melindungiku dari semua orang yang selalu mengganguku.
Sampai direstoran, aku berjalan melalui pintu belakang.
“oooh.. jangan masuk nona itu hanya untuk karyawan, tamu harusnya masuk lewat pintu depan saja”
Ucap pria hitam yang mengenakan seragam pelayan yang seharusnya sudah kupakai juga.
“siapa kamu? Pelayan baru?”
“iya.. dan nona ini pasti tamu yang akan makan malam bukan? jadi biar saya antar ke meja di dalam”
“tapi aku-“
“sudah nona, lewat sini tak usah sungkan biar saya antar”
“hey-“
Aku tak bisa menghentikannya yang sedang mendorong tubuhku masuk kedalam restoran. Bahkan kini memundurkan kursi untukku, dan membuatku duduk disana.
“hey..aku ini-”
“Irene sedang apa duduk disitu? Kamu Tom kenapa disini bukannya di belakang?”
Tanya manager Joe, ia pasti heran melihatku yang malah sedang duduk di meja tamu dan bukannya bekerja di belakang.
“oh.. dia, pelayan baru ini, dorong aku dari belakang dan bikin aku duduk disini..”
Jelasku pada Manager Joe.
“tamu masa lewat belakang? Pak Manager tahu siapa nona cantic ini?”
“dia ini pelayan Tom…, ya jelas dia lewat belakang…kanapa kamu dorong dia, terus perlakuin dia kaya tamu..”
Aah.. drama kaya gini udah terjadi berkali-kali. Aku sudah lelah dengannya. dulu sekali saat aku mengikuti salah satu acara fashion week, aku malah di dorong ke belakang layar untuk di pakaikan make up, mereka mengira aku ini modelnya. Dan bahkan salah satu reporter pernah mengejarku, mengira aku ini adalah aktris yang sedang melakukan syuting film saat bekerja di restoran ini.
“yaa.. abisnya nona ini terlalu cantik buat jadi pelayan..makanya-“
Tom mengutarakan alasannya pada Joe. Tak peduliku dan langsung berjalan menuju ruang belakang restoran.
“hahhhhh…”
Dalam hati aku menyesali wajahku, kasihan sekali harus menjadi wajahku ini di tengah hidupku yang kesusahan dan tersaruk-saruk seperti ini.