Part 11

1011 Words
"Naufal Alfarezi Matahari, buka pintunya." perintah Kila bak guru yang sedang memerintah muridnya. "Ini kan rumahnya lo. Jadi, lo lah yang buka." "Ta-" "Ssttt.." jari telunjuk Naufal diletakkan di bibir merah muda Kila. Detik kemudian, Kila mengatupkan bibir. "Jangan bacot dulu. Gue udah ngerti," ujar Naufal. Ia berjalan ke arah pintu. Pintu perlahan dibuka. Nampak seorang laki-laki berwajah sangar muncul dari balik pintu. Iras Laki-laki itu tambah menakutkan kala menatap tajam Naufal. "Abang," Lusi begitu terkejut melihat kakak laki-lakinya tiba-tiba berada di sini. Ya, cowok berwajah sangar itu Fardo. "Dia makan apa sampai mukanya kaya gitu," gumam Kila. Dia juga merasa takut, tapi di sisi lain, ia merasa heran. Dari siapa Laki-laki itu tahu alamat rumahnya? Tidak menganggap Naufal berada di sana, Fardo langsung menghampiri Lusi. "Pulang!" titah Fardo ketus. "Tapi Bang, Lusi ma-" "Pokoknya pulang! Mau gue seret?" ancam Fardo dengan ekspresi garang. Lusi menunduk. Mau tak mau, ia menuruti perintah Kakaknya. Lagian dari mana sih, Kakaknya itu mengetahui kalau ia berada di rumah ini? Seusai Lusi dan Fardo meninggalkan rumah Kila, pemilik rumah mendesau lega. "Kok bisa ya? Walaupun mereka dari rahim yang sama, tapi Lusi sikapnya berbeda tiga ratus enampuluh derajat dari Kakaknya itu." ujar Kila. Naufal berdeham. "Gue mau pulang," Naufal mencangklongkan tas pada bahunya. "Masih sisa satu jam lagi, lho." kata Kila berusaha mencegah. "Lo mau gaji lo dipotong sama bokap gue?" Memang benar sih, pikir Naufal. Perlahan ia membalikkan tubuh untuk menghadap Kila. "Nah, kaya gitu. Orang kerja itu jangan bolos yak. Kalau sekolah baru boleh bolos," TAAKKK "Aduh! Kok lo malah jitak gue sih!" dongkol Kila. "Lo dapet ajaran sesat kaya gitu dari siapa, hah?" ekspresi Naufal datar. "Dari lo-lah," jawab Kila asal. Naufal yang mendengarnya merasa gemas. "Dah lah, gue enggak mau debat. Takut dosa." Naufal mendudukkan dirinya kemudian mengeluarkan kembali buku yang tadi ia masukkan. Dan Naufal melanjutkan penjelasan materi yang tadi sempat usai. Kila mengangguk paham padahal pikirannya berkata lain. Gadis itu sedang memikirkan Abian. *** "Ngapain bawa dia ke sini, Mah?" Abian berusaha mengatur ekspresi wajahnya. Dia benci melihat wajah Dasha. Setidaknya 1 hari saja Abian tidak melihat wajah memuakkam itu. "Dasha bilang ke Mamah, kalau dia mau main di sini." Helmi memegang pundak Dasha. "Oh, gitu, sini masuk." Abian mendekatkan kepalanya pada Dasha kemudian berbisik, "Gue kangen sama lo," Pipi Dasha langsung merona. Helmi yang menyaksikannya merasa bahagia. Ternyata anaknya menyukai Dasha. Tidak seperti yang ada dicerita-cerita novel, di mana kedua orang yang dijodohkan saling membenci. "Nanti aja gombalnya. Biarin Dasha istirahat dulu. Kasihan dia," ujar Helmi. Abian mengangguk setuju. Dasha mendudukkan diri di sofa yang berada di ruang keluarga. Rumah Abian begitu besar dan elegan. Walaupun Dasha sudah 5 kali datang ke rumah ini, tapi tetap saja Dasha merasa pangling. Kedua mata Dasha terpusat pada sebuah foto besar yang mengantung di dekat tv. Kaki Dasha melangkah untuk melihat lebih dekat foto itu. Namun yang membuat Dasha heran, Abian sama sekali tidak tersenyum di foto itu. Tatapan matanya sendu. "Itu Abian waktu kecil." Helmi muncul dari belakang. Dasha refleks menoleh. "Waktu itu, dia lagi minta mainan, tapi enggak Tante turutin. Makanya ekspresinya kaya gitu," jelas Helmi. "Kamu mau makan? Tante udah masak tadi," Helmi menawarkan. "Enggak usah, Tante. Dasha udah makan sebelum ke sini," tolak Dasha secara halus. "Abiannya mana, Tan?" "Dia ada di kamarnya. Kamu samperin aja ya," balas Helmi. "Enggakpapa aku samperin, Tan?" "Enggakpapa. Lagian Abian itu bakal jadi suami kamu suatu saat nanti," Helmi tersenyum. "Yuk, Tante anterin." ajak Helmi. Helmi mengantar Dasha ke kamar Abian yang terletak tak jauh dari ruang keluarga. Abian yang sedang memakai earphone, tidak menyadari kehadiran ibunya dan Dasha. Helmi mencabut earphone itu, Abian terkesiap. "Maafin, Mamah ya," "Enggak masalah, Mah. Ada apa kalian ke sini?" "Loh, kok malah nanya. Jelas Dasha mau ngobrol sama kamu," balas Helmi. "Ya udah sini. Kamu mau ngobrol apa?" Abian bertanya. Pada Dasha khususnya. Dasha hening. "Sebaiknya Mamah pergi biar enggak jadi nyamuk di antara kalian berdua," Helmi beranjak meninggalkan ruangan itu. Dasha dengan ragu-ragu langsung duduk di samping Abian. Acuh pada kehadiran Dasha, Abian memasangkan earphonenya kembali. Dasha bingung, apakah dirinya harus membuka pembicaraan? Tapi, ia takut Abian meresponnya dengan kasar. Namun kalau seperti ini, percuma Dasha jauh-jauh ke rumah Abian. Dasha berdeham agar tenggorokannya lebih enak untuk berbicara. "Lo udah makan?" Dasha mulai bertanya. Tidak ada jawaban dari Abian. Jelas-lah karena Cowok itu sedang memakai earphone. *** "Yeah! Akhirnya selesai!" seru Kila bahagia. Pake banget. "Gue pulang ya," Naufal mencangklongkan tasnya di pundak. "Tunggu!" lagi-lagi Kila mencegah. "Apa lagi? Jam les udah habis." Naufal menatap jengah Kila. "Alden mau main." suara kecil muncul dari tangga sana. Mata Kila dan Naufal refleks memusat pada Alden. Alden mendekati Naufal dan Kila. "Kakak kacamata jangan pulang dulu. Alden mau main sama kakak kacamata," ujarnya lugu. "Tuh, turutin, Minus." Kila menatap Naufal. Sudah dua hari Naufal senang karena tidak dipanggil minus. Tapi sekarang? Kenapa Kila memanggilnya seperti itu lagi! Naufal berjongkok agar menyamai tinggi Alden. "Mau main apa?" "Petak umpet!" seru Alden. Naufal sebenarnya sudah lelah hari ini. Dia mau menolak, tapi tidak enak. "Biar Alden yang nyari Kakak kacamata sama Kakak k*****t," Ekspresi Kila berubah jadi jengkel. Apa maksudnya k*****t? "Untung aja lo adik gue," Kila tersenyum gemas sembari mengusap pelan rambut Alden. "Kakak senang dipanggil k*****t?" tanya Alden polos. Dia mendapat kalimat tersebut dari teman-temannya yang sudah tidak polos. "Iya, seneng banget. Alden sering-sering manggil kaya gitu ya," malah Naufal yang menjawab. Kila menoleh, menatap tajam kemudian memicingkan mata. Tak ingin kalah, Kila mengalihkan pandangan kembali ke Alden. "Jangan panggil Kakak itu Kakak kacamata. Panggil aja Kakak minus." "Oke, siap, Kak kampret." balas Alden. "Jangan ngeracunin pikiran anak kecil lo." ujar Naufal tidak terima. "Lo juga. Ngapain lo dukung adik gue buat panggil gue k*****t?!" tanya Kila tambah tidak terima. "Karena emang lo pantes dipanggil kaya gitu." Naufal menjawab tanpa rasa berdosa sekalipun. "Gue aduin nih, ke bokap gue. Biar lo dipecat." "Silahkan. Lagian gue juga udah capek ngajar lo," "iihh! Lo nyebelin banget sih!" "iihh! Lo nyebelin banget sih!" Naufal menirukan ujaran Kila.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD