Bab 1. Kejutan Menyakitkan
"Cerai?! Apa maksud semua ini, Mas? Katakan kalau ini cuma prank!" Wanita yang biasa dipanggil Anna itu menatap suaminya menuntut penjelasan. Dia pun kembali meneliti berkas di tangannya, membaca dengan seksama berharap menemukan kesalahan. Namun, setelah dibaca berulang-ulang pernyataan di dalam surat tersebut semakin jelas. Harris–suaminya telah mengajukan gugatan cerai.
"Jelas-jelas itu surat resmi dari pengadilan. Apa aku bisa main-main dengan instansi pemerintahan?"
Anna menggeleng keras, menatap nanar suaminya. Dia masih belum percaya semua itu.
"Iya, tapi apa alasannya, Mas? Bukannya kamu mempersiapkan acara semewah ini untuk merayakan ulang tahun pernikahan kita, Mas," lirih Anna menahan sesak di d**a.
"Mimpi kamu!" Tiba-Tiba suara wanita yang ada di barisan depan menyahut. "Ngaca dulu sebelum ngomong. Seharusnya kamu sadar diri, acara semewah ini nggak pantas untuk gembel sepertimu, Anna Putri!"
Ingatan menyakitkan itu terngiang dalam pikiran Anna. Membuat air mata yang sempat reda kini kembali menetes tak tertahan.
"b******k kalian!” Anna menatap gelas kaca yang sudah kosong dalam genggamannya. “Tambah satu lagi!" pintanya pada sang bartender.
Anna memilih sebuah tempat hiburan malam untuk menjadi tempat melampiaskan kesedihan atas pengkhianatan suaminya. Tempat yang sebenarnya nyaris tak pernah dia kunjungi.
Tangannya tampak mengangsurkan gelas yang telah kosong. Entah sudah berapa gelas minuman yang dihabiskan, dia tidak peduli. Yang dia butuhkan saat ini hanyalah minum, minum dan minun untuk melupakan bayangan menyakitkan beberapa jam lalu. Untuk penampilan, jangan ditanya, terlihat sangat berantakan dengan lelehan mascara yang menghitami pada pipi. Riasannya pun sudah tak berbentuk akibat air mata.
Suara dentuman musik yang memekakkan telinga tak membuatnya risih sama sekali. Wanita itu justru asyik menikmati minuman berwarna merah pekat yang dia pesan. Kesadarannya mulai menghilang di tengah gemerlap lampu warna-warni di tengah keremangan.
Pria yang bertugas sebagai bartender pun menuangkan minuman yang diminta Anna. Setelah gelas kembali terisi, wanita itu menenggak kembali minumannya hingga tandas. Rasa pusing telah menggelayuti, tetapi tidak ada tanda-tanda dari Anna yang akan berhenti minum. Wanita itu justru meraih botol di dekatnya, lalu menenggak minuman tersebut secara langsung.
Kesadaran yang berangsur menghilang diiringi racauan tak jelas dari mulutnya serta pandangan yang mulai berkunang-kunang. Wanita itu bangkit dari posisi duduknya, lalu berjalan sempoyongan menuju lantai dansa.
Tanpa sadar, Anna menarik seorang pria yang juga berada di sana, lalu mencumbu dengan brutal tanpa izin dari sang pemiliknya.
Awalnya, pria itu terkejut. Namun, setelah melihat wajah Anna yang cantik, dia membiarkannya berlaku sesuka hati. Lama-kelamaan dia justru ikut menikmati permainan wanita itu.
"Hai, sendirian aja ... boleh kenalan?" tanya pria berpenampilan maskulin di tengah keriuhan.
"Kamu siapa? hehehe ...," tanya Anna di tengah kesadaran yang tersisa. Wanita itu sudah limbung menjadikan d**a bidang pria itu sebagai sandaran tubuhnya.
Pria itu menelisik, sebuah seringai terbit kala menyadari jika wanita yang tidak sengaja mencuri perhatiannya telah mabuk.
"Aku priamu."
"Priaku? Kau ... pengkhianat itu …!" racaunya, tawa keras terdengar di tengah keriuhan. Wanita itu terus bergerak mengikuti alunan musik yang semakin berdentum. Penampilannya semakin tak karuan, pakaiannya tampak tersingkap di beberapa bagian. Rambut Anna yang tergerai pun kini telah menutupi seluruh wajahnya.
Arga terus memerhatikan wanita di depannya. Semakin dilihat wanita itu semakin menggoda. Dia yang tidak tahan dengan godaan tersebut segera membopong tubuh mungil itu untuk dibawa keluar arena dansa. Tujuannya kali ini adalah sebuah hotel tempat yang biasa digunakan untuk menghabiskan malam dengan para wanitanya.
Selama perjalanan menuju kamar, Anna tiada henti merancaukan kata "pengkhianat" dengan penuh penekanan. Terselip kemarahan dalam setiap ucapannya.
Selama itu pula, tangan Anna tak bisa dikendalikan. Dengan berani, gerakan jemari lentik itu menyentuh tempat-tempat yang tidak semestinya. Bibirnya pun dengan rakus mengecup setiap inci kulit leher pria itu. Arga menggeram berusaha keras menahan gairah yang sudah bangkit sejak beberapa saat yang lalu.
"Damn! She's so hot," umpatnya.
Sesuatu di bawah sana terasa sangat menyesakkan. Dia hampir kehilangan kewarasan. Dirasa pergerakannya terlalu lambat, Arga memilih membopong kembali tubuh mungil itu hingga masuk ke dalam sebuah kamar.
Dia menghempaskan kasar tubuh itu ke atas ranjang. Katakanlah dia b******n karena menggauli wanita dalam keadaan mabuk. Namun, dia tidak peduli, yang dia butuhkan saat ini hanyalah pelepasan.
Pria itu menatap lapar tubuh wanita di depannya. Tanpa basa-basi dia segera melucuti semua pakaian wanita itu dan pakaiannya sendiri.
Dengan gerakan pelan dan penuh kelembutan, bibirnya mulai menyusuri setiap inci tubuh mulus wanita itu. Erangan yang keluar dari mulut Anna semakin menambah hasrat kelakian dalam dirinya.
Arga yang sudah berada di puncak hasrat segera menyatukan miliknya dengan milik wanita itu. Seutas seringai terbit dari bibirnya kala merasakan sensasi berbeda yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
"Kamu berbeda, Nona ... berbeda dari para wanitaku sebelumnya."
Pria itu terus bergerak di atas tubuh wanita yang tidak sadarkan diri itu. Racauan dan desahan terus mengalun dari bibir mungil itu seiringi dengan gerakan Arga yang semakin intens. Hingga tak berselang lama, Arga telah sampai pada puncak kenikmatan. Didera rasa lelah, pria itu menggulingkan tubuh ke sisi Anna. Tak lupa pula dia menyelimuti tubuh polos itu. Memerhatikan sejenak wajah damai wanita di sampingnya sebelum akhirnya ikut terlelap.
***
Seberkas sinar menyilaukan berhasil mengusik tidur seorang wanita. Anna tampak mengernyit, kemudian perlahan mengerjap. Netranya tampak memindai tempat yang terlihat asing. Seketika itu pula, dia sadar jika itu bukanlah kamarnya.
Anna terperanjat saat menyadari tubuhnya tidak mengenakan sehelai benang pun dan hanya tertutup selimut tebal. Lebih mengejutkan lagi ketika melihat pria asing yang terlelap di sampingnya.
"Siapa dia? Astaga … apa yang sudah terjadi?”
Anna menjambak kasar kedua sisi rambutnya, saat teringat peristiwa semalam. Akibat mabuk, dia telah menghabiskan malam dengan pria yang tidak dikenal. Keadaan pria itu tak jauh berbeda dengan keadaannya.
Amarah seketika menguasai diri saat menyadari keadaannya yang mabuk telah dimanfaatkan oleh pria itu.
"Hei, bangun kamu, Pria b******k! Apa yang sudah kamu lakukan?” Wanita itu memukul bertubi-tubi lengan kekar yang berada tepat di sampingnya.
Rona kemerahan tercetak jelas pada area tersebut. Mau tak mau Arga membuka kedua matanya ketika merasakan sakit pada lengannya.
“Hei, hentikan, Wanita Gila! Kau menyakitiku,” bentak Arga yang merasa kesal saat tidurnya terganggu.
Pria itu pun segera bangkit dari posisinya, menatap Anna tak kalah tajam.
“Kamu yang gila! b******k kamu! Bisa-bisanya melecehkan aku saat mabuk,” teriak Anna disertai sorot penuh kemarahan.
Arga terperangah mendengar tuduhan itu, apa katanya tadi? Melecehkan? Bukankah wanita itu yang lebih dulu memulai? Dia hanya mengikuti permainannya.
“Heh, kamu dulu yang menggodaku.”
“Maksudmu aku w*************a?” Anna menyangkal tuduhan itu, tangannya kembali memukuli lengan kekar itu bertubi-tubi sebagai pelampiasan kemarahannya.
“Pria b******k, sekali b******k, tetap b******k! Bisa-bisanya lempar batu sembunyi tangan.”
Arga dengan sigap menangkap kedua tangan wanita itu. Manik keduanya saling beradu pandang. Mereka terpaku untuk beberapa saat. Tak bisa menampik, wajah pria itu terlihat tampan di mata Anna, meski masih dengan wajah bantalnya. Hidung mancung disertai rahang yang tegas berhasil membuat Anna terpesona. Terlebih bibir merahnya yang tebal terlihat menggoda.
Sedetik kemudian, wanita itu segera memalingkan wajah berusaha menyadarkan diri dari pikiran kotornya. Bisa-bisa dia mempunyai pikiran seperti itu disaat seperti ini.
Anna segera melepaskan tangannya dari cengkeraman tangan pria itu. Tanpa banyak bicara lagi, dia segera beranjak dari tempat tidur, memunguti satu per satu pakaiannya, lalu berlalu ke kamar mandi.
Arga hanya memerhatikan pergerakan wanita itu. Dia kemudian menyandarkan tubuh pada sandaran ranjang. Memejamkan mata sejenak demi menghalau rasa pening karena dipaksa bangun saat masih mengantuk.
Suara pintu kamar mandi yang terbuka berhasil mengalihkan perhatiannya. Dilihatnya wanita itu telah rapi dan bersiap untuk pergi.
“Ini ‘kan yang kamu cari? Aku membayar jasamu semalam.” Anna berucap seraya meletakkan beberapa lembar uang berwarna merah di atas nakas. Setelahnya, wanita itu berlalu keluar tanpa memedulikan Arga yang tengah diliputi amarah.
“Kurang ajar! Dia menganggapku pria bayaran.”
Arga segera meraih ponsel, lalu menghubungi asisten pribadinya.
"Adit, segera ke tempat biasa! Selidiki sidik jari yang ada pada uang di atas nakas."
Setelah memberi perintah, Arga mematikan panggilan secara sepihak.