Chapter 15

665 Words
Seorang ayah sanggup membawa beban dunia. Bahkan mau menggedong dosa meski dia bukan pemilik dosa. Semua untuk melindungi sang anak. *** Salim baru selesai merapikan rumput di bagian belakang dan depan rumah. Napasnya tersengal dan tubuhnya tak henti mengeluarkan peluh beraroma matahari. Dia terus menggerutu karena Aji, putranya, tidak kelihatan. Tadinya Salim mengharap bantuan dari Aji, apalagi tuannya Suganda toh tidak ke perusahaan, jadi Aji tidak ada pekerjaan menyupir. Namun, setelah membersihkan dua mobil, Aji tiba-tiba menghilang. Dihubungi ponselnya pun tidak diangkat. Entah apa gunanya alat komunikasi itu di tangan putra semata wayangnya itu. Salim mengistirahatkan diri di pelataran belakang dekat dapur. Salim memiliki tubuh yang kurus dan cukup tinggi. Meski begitu, Salim adalah pengurus rumah yang bisa diandalkan untuk banyak hal. Ia sudah ikut keluarga Suganda sejak dirinya masih kanak-kanak. Usianya hanya selisih beberapa tahun dari Suganda. Istri Salim adalah juga asisten rumah tangga di keluarga Suganda. Sayang umurnya tak panjang. Saat Aji berusia sepuluh tahun, istrinya meninggal akibat kecelakaan. Salim tidak pernah menikah lagi. Ia dan putranya tinggal dan mengurus rumah Suganda. "Pak, masuk. Makan dulu. Sudah saya siapkan di meja." Seorang wanita bertubuh sintal, muncul dari pintu dapur. Tanpa banyak bicara, Salim mengikuti si wanita masuk ke dalam dapur. Di tengah dapur, ada meja persegi panjang dengan enam kursi kayu yang mengelilingi. Meja itu digunakan untuk meletakkan makanan jadi sebelum di antar ke ruang makan. Tak hanya itu, meja itu juga menjadi tempat berkumpul dan tempat makannya para asisten rumah tangga dan pengurus rumah. Salim menarik salah satu kursi. Menunggu makanan terhidang. Matanya tak lepas dari wanita bertubuh sintal itu, yang tak lain adalah menantunya, Sulis. Untuk beberapa hal, Salim tak menyukai Sulis. Di matanya, Sulis seperti penguasa. Sering ia melihat Sulis mengomel atau marah-marah di hadapan Aji. Saat ia melihat itu, Salim tidak bisa berbuat banyak, karena itu bukan urusannya. Tapi, hati kecilnya tetap tidak ikhlas. Selain itu, ada dosa di masa lalu antara Sulis dan Aji yang membuatnya turut merasa bersalah. Salim tidak suka menanggung rasa bersalah yang tidak diperbuatnya. Namun, dia tidak bisa berkutik. "Sudah, Pak," ujar Sulis sopan. Hanya kepada Salim, Sulis tak banyak bertingkah. "Yang lain mana?" Salim mulai menyendokkan nasi ke piring. "Sudah makan dari tadi, Pak. Mereka juga pada istirahat siang di kamar." "Termasuk suamimu?" Pertanyaan Suganda menghentikan sejenak kegiatan Sulis mencuci piring dan perabotan masak lainnya. "Gak tau dia di mana, Pak." "Kamu gak telpon?" "Malaslah, Pak. Paling ke warung belakang, main nomer." Suganda menghela napas dan mulai menyuap sesendok nasi ke mulut. Ia tak mengerti model pernikahan anak dan mantunya itu. Hambar tapi tidak terpisahkan. Mereka sudah menikah begitu lama, tetapi belum juga punya anak. Entah siapa yang mandul. "Telpon. Suruh dia pulang." "Paling juga gak diangkat, Pak," jawab Sulis setengah hati. Ia sudah selesai mencuci semua. "Kalau gak diangkat, kamu susul ke belakang. Kamu ini istrinya atau bukan. Suami gak ada kok santai saja," gerutu Salim. Sulis menatap ayah mertuanya kesal, tapi tak bisa melakukan apa-apa. Ia menurut dan mencoba menelepon Aji. Seperti dugaan, dua kali dicoba, Aji tidak mengangkat teleponnya. "Gak diangkat, Pak." "Ya, kamu susul!" ujar Salim gemas karena mengulang perintah. Sulis benar-benar enggan kalau harus menyusul suaminya. Sulis tahu di belakang ramainya bagaimana dan Aji suka marah-marah kalau tiba-tiba Sulis muncul. Akhirnya sepanjang jalan pulang isinya keributan. "Malah diam," tegur Salim. "Paling sebentar lagi pulang, Pak." Entah memang sudah waktunya atau ada hubungan batin antara istri ke suami, Aji sudah muncul dari balik pintu belakang. Setelah memberi salam, ia kemudian duduk di depan ayahnya. Pakaian Aji terlihat kusut, begitu juga wajahnya terlihat lelah. Tapi, Suganda dapat merasakan kalau putranya sedang senang. "Kamu habis ngapain, Mas?" tanya Sulis yang sudah menghampiri sembari membawa segelas air putih dan piring kosong. "Gak ngapa-ngapain. Di belakang aja." Aji kemudian menyendok nasi juga lauk-pauk ke piring dengan cepat. Ia baru melihat makanan. "Kok, lusuh gitu." "Cuma bantu-bantu. Udah, aku mau makan. Bawel bener." Sulis sudah mau melontarkan banyak kata dan tanya, tapi ia masih menghormati mertuanya yang baru selesai makan. Akhirnya ia memilih diam. "Di sini masih banyak kerjaan. Bisa-bisanya kamu bantu orang lain. Mereka yang gaji kamu?" Salim mendengkus dan keluar dari dapur. Ia tak peduli ketika mendengar celotehan Sulis pada putranya. Kali ini ia tak sakit hati. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD