Syauqi tampak sedang bersenandung. Tak ada yang jelas dikeluarkan dari mulutnya itu. Hanya bersenandung lagu asal, sesuai yang ia inginkan. Wajahnya melukiskan senyuman bahagia. Ia bahkan sampai menari-nari dengan terus manatap layar handphone nya. Hari ini adalah hari pengajian di rumah Salma. Jadi, tau kan, apa alasan Syauqi senang? Itu karena ia bisa bertemu Salma secara langsung nanti malam. Karena walaupun rumah mereka berhadapan, jarang sekali untuknya bisa melihat Salma. Tebakannya adalah, Salma termasuk gadis yang pendiam.
Syauqi melangkah berpindah dari ruang keluarga, menuju ke dapur dengan membawa gelas kosong di tangannya. Masih dengan mulut terus bersenandung, ia menuang air putih ke dalam gelasnya, lalu meminumnya sampai habis. Ia kembali menatap layar handphone miliknya.
Rumahnya kini sudah sepi, karena papanya sudah berangkat kerja, dan juga adiknya yang berangkat sekolah. Jadwal Syauqi kuliah hari ini adalah jam 11, sehingga ia banyak bersantai sejak bangun tidur pagi.
"Bi," Syauqi memanggil Bi Marni yang sedang berjalan menuju halaman belakang.
Bi Marni berhenti melangkah dan mendekat menghampiri Syauqi. "Kenapa Mas?" tanya Bi Marni pada Syauqi.
"Bibi tau kan ya, kalau tetangga baru kita itu, Salma, mau bikin pengajian?" Bi Marni mengangguk, lalu Syauqi melanjutkan. "Menurut Bibi, apa yang harus dipakai untuk hadir ke acara kaya gitu?"
Bi Marni mengangkat sebelah alisnya. "Ya.. Baju lah, apa lagi?"
Syauqi menghela napas pasrah. Sia-sia ia bertanya pada Bi Marni. "Ya aku juga tau, Bi, kalau harus pakai baju. Maksud aku, apakah aku harus pakai baju tertentu atau gak perlu?"
"Loh, emang Mas Syauqi mau datang ke acara pengajian itu?"
"Yap," jawab Syauqi dengan mengangkat bahunya santai. "Kenapa emangnya?"
Bi Marni mengulas senyum tipis. "Gak papa Mas, Bibi nanya aja."
Syauqi balas tersenyum, seolah tau apa yang sedang dipikirkan Bi Marni. "Tenang aja, Bi. Aku gak akan buat rusuh di sana kok. Aku cuma mau dateng aja. Lagian aku juga diundang Salma kok, dan kata Salma, gak ada persyaratan untuk dateng ke acaranya nanti malam."
"Maksud Bibi bukan begitu loh, Mas. Bibi jadi nggak enak," ucap Bi Marni dengan tersenyum malu dan canggung.
"Gak papa Bi, santai aja."
"Baiklah, kalau gitu nanti akan Bibi siapkan baju Mas Syauqi yang paling cocok untuk acara pengajian nanti malam."
Syauqi tersenyum lebar lalu menggangguk. "Sip, makasih Bi." Syauqi melirik jam tangan silver di lengannya. "Oh ya, aku berangkat sekarang ya, Bi."
Bi Marni menurunkan sedikit tubuhnya pada Syauqi yang mau beranjak pergi. "Iya Mas, hati-hati di jalan."
Syauqi balas menurunkan tubuh bagian atasnya, untuk tanda sopan santunnya kepada yang lebih tua. Selanjutnya Syauqi melangkah menuju ruang tamu. Mengambil ransel, jaket, serta kunci motor yang sudah ia letakkan di sana sejak pagi.
"Bi, aku berangkat!" teriak Syauqi dari arah ruang tamu. Entah Bi Marni mendengarkannya atau tidak, yang penting ia sudah izin untuk berangkat kuliah. Bi Marni sudah seperti orang tua tersendiri bagi Syauqi. Bi Marni juga telah bekerja lama sebagai asisten rumah tangga, yaitu sejak kelahiran adik semata wayangnya, Aziz.
Syauqi mendekati motor Ninja merahnya. Ia naik ke atasnya, memakai jaket, helm, lalu mulai menyalakan mesin motornya. Motornya sudah dipanaskan mesinnya tadi pagi oleh Pak Budi, sehingga ia tak perlu lagi memanaskan mesin motornya terlebih dahulu. Syauqi keluar dari pagar rumahnya setelah pamitan singkat pada Pak Budi, satpam di rumahnya.
"Salma?" Syauqi melihat Salma yang pergi dengan motor maticnya.
Syauqi secara tidak sengaja menangkap Salma yang pergi dengan menggunakan almamater berwarna kuning. "Salma anak UT (Universitas Tunggal)?!" tanya Syauqi antusias pada dirinya sendiri.
Salma duduk di bangku panjang, di bawah pohon rindang dengan sesekali melirik ke jam tangan kecil berwarna putih yang melingkari pergealangan tangannya. Kini Salma sedang berada di parkiran gedung fakultas Ilmu Komunikasi, sedang menunggu sahabatnya.
"Salma!" Salma menoleh ke sumber suara dan langsung tersenyum lebar hingga deretan gigi putihnya terlihat.
"Airin!" Keduanya sama-sama melangkah mendekat. Mengikis jarak di antara mereka hingga akhirnya keduanya berpelukan singkat. Airin adalah sahabat satu-satunya yang Salma miliki. Berteman sejak SD, menjadikan mereka sahabat yang alhamdulillah tetap dekat hingga saat ini.
Berbeda dengan Salma yang selalu memakai khimar dengan ukuran lebar, Airin belum lah seperti Salma. Gadis itu masih suka memakai celana, dan kerudung yang hanya disampirkan di pundak. Tapi sekarang, Airin sudah sedikit demi sedikit berubah. Walau belum komitmen untuk selalu memakai rok, Airin selalu memilih baju yang cukup panjang sampai paha agar dapat menutupi tubuh bagian bawahnya.
Salma sering mengingatkan padanya, bahwa seluruh bagian tubuh perempuan itu aurat, kecuali wajah dan telapak tangan. Menutupi aurat juga tidak selesai hanya dengan menutupi aurat dengan kain yang menutupi, tetapi bagaimana kita berpakaian sesuai tabi'at Islam. Berpakaian dengan tidak menerawang, tidak membentuk badan, dan tidak memakai yang terlalu mencolok. Kini kerudung Airin juga sudah lebih menutupi d**a dan sering ia pasangkan bros cantik agar terlihat lebih rapih.
Salma mampu memberikan pengaruh pada Airin sedikit demi sedikit dengan hal yang positif. Airin bersyukur memiliki sahabat seperti Salma. Salma yang tetap mau bersahabat dengannya tanpa memaksanya untuk mengubah penampilan agar sama seperti Salma.
"Kangen banget sama kamu, Sal."
"Ih, aku juga... Padahal baru 3 hari kita gak ketemu." Mereka berdua bertukar tawa kecil beberapa saat, lalu duduk di bangku panjang yang ada di bawah pohon rindang tersebut.
"Gimana kabar keluarga kamu, Rin?"
Airin mengangkat bahunya santai. Ia mengulas senyum tipis. "Yaa.. Alhamdulillah semuanya baik. Kalau keluarga kamu?"
"Sama, semuanya sehat, alhamdulillah. Farhan masih berusaha beradaptasi dengan sekolah barunya."
"Ah iya, aku juga kangen Farhan. Farhan kangen aku gak ya?"
"Kayaknya sih gak deh," kata Salma dengan tersenyum geli.
Airin mendengus sebal lalu terkekeh. "Kalau rumah baru kamu gimana, seru?" Airin membuka topik baru tentang rumah baru sahabatnya.
Salma sontak menunduk dan mengeluarkan senyum tipis. "Sepi," jawab Salma singkat.
Airin menatap wajah Salma dari samping, "Sepi?" tanya Airin.
"Kamu pasti tahu lah, keluargaku bagaimana. Di rumah baru rasanya lebih parah, mungkin karena tempat tinggal baru dan kita belum terbiasa." Salma melirik Airin sekilas lalu kembali menatap ke bawah.
Airin langsung memeluk tubuh Salma tiba-tiba. "Aaaahhh Salma... Maafin aku... Aku jadi buat kamu sedih ya?"
Salma terkekeh, ia menepuk bahu Airin yang memeluk tubuhnya dari samping. "Gak kok, Rin. Biasa aja," ucap Salma membuat Airin melepas pelukannya lalu kembali menatap wajah Salma.
"Kalau kamu kesepian, kamu jangan sungkan untuk hubungi aku, Salma."
"Siap, cantik."
Airin merenggangkan pelukannya dengan Salma. "Oh ya, untuk acara nanti malam, apa masih bisa ada yang aku bantu?"
Salma tersenyum simpul. "Gak ada, cukup kamu datang aja."
"Kalau gitu.. gimana kalau aku main ke rumah kamu sekarang aja?"
"Ide bagus," kata Salma dengan tersenyum lebar.
Beruntung, Airin selalu ada untuk dirinya, terutama masa sulit saat ia berada di bangku SMP. Saat semua terasa sulit untuk Salma, Airin selalu datang menghibur dengan caranya sendiri. Berbeda dengan Salma yang pendiam, Airin justru tipe gadis yang banyak bicara, periang dan mudah bergaul dengan siapa pun, tanpa pernah merasa kesulitan berkomunikasi. Beda dengan Salma yang seakan memiliki begitu banyak sekali pertimbangan hanya untuk memutuskan untuk berkenalan dengan orang baru.
"Salma?"
Salma dan Airin kompak menoleh ke samping. Silaunya sinar matahari, membuat Salma mengerutkan matanya melihat sosok laki-laki yang mendekat.
Pupil mata Salma bergerak melebar begitu sadar laki-laki yang memanggilnya adalah Syauqi Arjune Favian. "Tuh kan, bener! Tadi pagi aku liat kamu pergi pakai almet kuning. Dan ternyata emang bener, kalau kamu ternyata emang anak UT."
"Kamu ngapain di sini?" Respon yang bisa Salma keluarkan atas kehadiran Syauqi hanyalah pernyataan itu.
"Mau ketemu kamu," jawab Syauqi asal membuat Salma dan Airin langsung saling mengkerutkan keningnya. Padahal alasan sebenarnya adalah karena Syauqi ingin bertemu dengan Evan dan Zidan. Tapi, ya sudahlah ya, yang terlintas terlebih dahulu di kepalanya adalah kalimat itu.
"Seneng banget aku bisa ketemu kamu di sini. Sayangnya,aku baru tau sekarang, kalau kamu ternyata kuliah di sini."
"Emang apa untungnya kalau tau dari dulu?"
"Udah pasti kita akan jauh lebih deket," jawab Syauqi yang membuat Salma menggelengkan kepalanya.
Apa yang Syauqi katakan barusan, membuat bibir Airin berkedut menahan tawa. "Kamu kenal dia, Salma?" tanya Airin dengan berbisik di telinga Salma.
"Ng---"
"Kenal dong. Kita kan tetanggaan," Syauqi memotong ucapan Salma dengan cepat. Ia mengangkat bahunya begitu mendapat lirikan dari Salma.
"Kalau lo, siapa nama lo?" Pertanyaan itu Syauqi tujukan untuk Airin. Saat bersama Airin, ia menggunakan panggilan —lo, gue— tanpa ia sadari.
"Airin," jawabnya singkat.
"Nama gue Syauqi. Gue temen barunya Salma." Perkenalan Syauqi itu langsung mendapat respon delikan mata dari Airin dan juga yang namanya disebut, Salma.
"Sejak kapan aku jadi temen kamu?" tanya Salma heran.
"Sejak aku tau, kalau nama kamu Salma." Salma menggelengkan kepalanya. Semua pertanyaan yang dia lontarkan selalu mendapat jawaban dari Syauqi yang menurutnya aneh.
"Syauqi!" Sang empunya nama sontak menoleh, begitu juga dengan Salm dan Airin.
Syauqi mengangkat tangannya, "Yo!" sahut Syauqi pada Evan Zidan yang berjalan menghampirinya. Jarak mereka masih sekitar 10 meter. Syauqi menghadap sepenuhnya ke arah Evan dan Zidan, sehingga otomatis untuknya membelakangi Salma dan Airin.
Saat Airin sadar siapa yang datang, ia langsung berdiri dan menarik tangan Salma agar ikut berdiri. Ia meringis dalam hati. "Sal, kita pulang sekarang aja yuk."
"Loh, kenapa? Bukannya kita masih mau duduk di sini dulu?"
Airin menundukkan kepalanya dan berbisik di telinga Salma. "Yang dateng itu cowo anehnya, Salma. Aku males banget ketemu dia terus," keluh Airin
"Cowo aneh?" tanya Salma heran. "Yang biasa kamu ceritain itu?"
"Iya, Salma. Ayo ah, kita pergi aja." Airin menarik paksa tangan Salma agar berdiri, dan berhasil. Salma akhirnya berdiri dan langsung diseret menuju parkiran motor mereka sebelum Salma pamit pergi dengan Syauqi. Eh, kenapa juga harus pamit? Memang Syauqi siapa? temen bukan, sahabat, bukan, cuma tetangga dan kebetulan baru saling tau kalau mereka sekampus.
Beberapa saat selanjutnya Evan dan Zidan sampai di hadapan Syauqi. Mereka saling berjabat ala laki-laki. "Yuk ah, langsung cabut," ajak Evan dengan menepuk pundak Syauqi.
Syauqi menahan bahu Evan dan Zidan yang ingin melewatinya. "Eh, sebentar. Gue mau kenalin kalian ke temen baru gue dulu," ucap Syauqi yang mengundang heran dari Evan dan Zidan.
"Siapa?" tanya Evan dan Zidan bersamaan.
"Ini, belakang gue." Syauqi menoleh, dan sontak membuka lebar mata serta mulutnya. "Loh, kok gak ada? Tadi ada di sini orangnya."
Evan berdecak pelan, "Ngomong apa sih nih anak?" tanyanya yang mendapat angkatan bahu dari Zidan. "Udah ayo, kita ke rumah lo aja. Main PS," ajak Evan dengan merangkul pundak Syauqi. Sedikit memaksa Syauqi untuk menghilangkan lamunannya.
"Lo seriusan mau ikutan acara pengajian?" tanya Evan dengan menatap Syauqi yang sedang menyisir rambutnya di depan cermin lengkap dengan baju muslim yang melekat di tubuhnya. Evan dan Zidan masih memakai baju yang sejak pagi mereka kenakan untuk kuliah karena mereka tidak pulang dahulu, dan lebih memilih untuk stay di rumah Syauqi sejak tadi sore.
"Iya, kenapa emang?" tanya Syauqi tanpa menoleh.
"Ya gak papa, sih," jawab Evan dengan mengangkat bahunya tak acuh.
"Ente udah izin sama orang tua?" Kali ini yang bertanya adalah Zidan.
"Udah," Syauqi menolehkan kepalanya dan memberikan cengirannya untuk Zidan dan Evan yang begitu fokus menatapnya. "Papa ngizinin banget malah," lanjut Syauqi dengan kembali menatap ke cermin.
Zidan manggut-manggut dan tersenyum simpul. "Alhamdulillah, kalau gitu. Tapi ente cocok loh Qi, pakai baju itu."
Syauqi selesai menyisir rambutnya, lalu memutar tubuhnya dan menghampiri Zidan dan Evan dengan duduk di meja belajarnya sehingga ia duduk berhadapan dengan kedua sahabatnya yang duduk di ranjangnya. "Jelas, ini dibeliin Mama waktu gue SMA. Untung masih muat," ucapnya dengan terkekeh kecil.
"Lama banget SMA, baju yang terbaru emang gak ada?" cetus Evan yang sontak mendapat tatapan dari Zidan. Evan mengangkat sebelah alisnya pada Zidan, dan langsung menatap Syauqi karena kode yang diberikan oleh Zidan dari matanya. Syauqi menundukkan kepalanya.
Evan langsung membekap mulutnya. Ia tidak sadar yang ia katakan barusan pasti mengungkit hal sensitif dalam hidup Syauqi. "Sorry, Qi." sesal Evan pada Syauqi.
Syauqi berdecak pelan karena masa lalu yang selalu mampu menjadi alasan Syauqi menjadi laki-laki yang lemah. Syauqi mengangkat kepalanya lagi, lalu tersenyum tipis. "Santai aja, yuk kita turun." Syauqi berdiri tegap dan keluar lebih dulu sebelum Zidan dan Evan.
Zidan menghela napas panjang lalu menatap wajah Evan yang terlihat sendu.
"Ya Allah, gimana dong, Dan? Pake salah ngomong segala lagi, ih bodoh banget." Evan menepuk-nepuk mulutnya. Menyesal atas ketidaksengajaannya yang secara tidak langsung mengungkit masa lalu Syauqi.
"Gak papa, Van. Syauqi pasti ngerti kalau ente gak sengaja," ucap Zidan mencoba menenangkan Evan. Evan meringis, lalu mengangguk lesu, dan keduanya pun ikut turun menyusul kepergian Syauqi.