Dara terbangun pagi-pagi dengan semangat baru. Bukan karena mau belanja ke pasar, tapi karena ada paket besar datang dari kurir.
"Bu Dara, paket dari DapurLezat Official!"
Dara melonjak dari kursi, langsung buka pintu dengan daster batiknya yang bertuliskan “I’m a Queen”. Saking girangnya, ia lupa pakai jilbab. Untung kurirnya sudah minggir duluan sambil berkata, "Saya udah sering lihat ibu di t****k, Bu. Ibu keren!"
Dara langsung teriak dari dalam, "Masya Allah, ini baru jam setengah tujuh, Mas!" sambil ngumpet di balik pintu.
Isi paketnya bikin mata berbinar: satu set bumbu instan berbagai rasa, apron lucu warna pink dengan tulisan “Chef of 30K”, dan... rice cooker mini warna rose gold!
Sementara itu, di kamar…
Rafi baru bangun dan matanya langsung menyipit melihat istri yang sibuk foto-foto bumbu dapur dari berbagai sudut.
"Ini kenapa dapur kayak studio foto, Ra?" gumamnya sambil garuk perut.
Dara tak menjawab. Ia sibuk mengatur angle. Kadang pakai sendok kayu sebagai properti, kadang pakai kipas sate buat gaya. Ada satu momen di mana dia minta anaknya, Zahra, jadi model memegang bumbu sambil pura-pura masak.
"Ma, aku capek pura-pura ketawa mulu, kayak iklan sabun," keluh Zahra.
Dara cuma nyengir. "Namanya juga endorse, Nak. Nanti kamu mama traktir sosis lagi, mau?"
"MAU!" Zahra langsung tertawa lepas. Jepret! Foto berhasil.
Tapi di sisi lain...
Rafi duduk di meja makan sambil menatap piring kosong. Tak ada aroma nasi hangat. Tak ada suara penggorengan. Tak ada sambal dadakan.
Yang ada hanya... Dara yang sibuk membalas DM.
"Bunda, kami dari MamaHebat.ID ingin undang ke acara podcast!"
"Halo Kak Dara, bisa review produk serbaguna ini? Honor 3 juta per video."
"Mbak, mohon izin, boleh kami kirimkan frozen food buat diulas?"
Rafi mendengus pelan. Dulu, ponsel Dara hanya berisi chat arisan dan grup wali murid. Sekarang? Kayak admin artis.
"Ra…" Rafi memanggil, lirih.
"Hmm?"
"Makan pagi kita mana?"
Dara menoleh, masih dengan senyum lebar. "Mas, hari ini kita diet ya. Nasi nanti siang. Tadi aku kan dapat frozen food, nanti kita panasin bareng-bareng."
Rafi mengangguk. Tapi hatinya... remuk. Dulu, dia yang jadi pusat. Sekarang, kayak dekorasi rumah aja—ada tapi nggak penting. Malamnya…
Rafi memutuskan mengintip t****k Dara. Followers-nya sudah 170 ribu. Komentarnya ribuan.
“Suaminya kayaknya udah mulai berubah ya?”
“Duh, pengen deh jadi ibu kayak Bunda Dara. Cerdas dan sabar.”
“Tolong dong konten masak menu 25 ribu, buat yang THR-nya ketahan kantor!”
Rafi ngelus d**a. Matanya mulai berkaca-kaca.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya… Rafi buka YouTube cari video: “Cara jadi suami suportif dan tidak insecure dengan istri sukses”
Keesokan paginya…
Dara dapat undangan webinar bertema “Dapur Ibu Hebat, dari 30 Ribu Jadi Beribu Inspirasi.”
Honor: 2,5 juta. Plus hampers kopi organik dan voucher belanja.
"Mas, aku diundang ngomong di acara ibu-ibu! Disiarkan online, ada host-nya, kayak acara TV!" kata Dara sambil jingkrak.
Rafi mengangguk pelan. "Oh... yaudah. Tapi Mas ikut ya."
"Ikut? Emang Mas mau?" tanya Dara sambil tertawa kecil.
"Ya, biar Mas juga ngerti dunia kamu sekarang kayak apa. Siapa tahu Mas bisa bantu fotoin juga."
Rafi berusaha tersenyum.
Dara diam sejenak. Matanya berkaca-kaca.
"Mas... beneran?"
Rafi mengangguk. "Selama ini kamu berjuang sendiri. Sekarang Mas ikut ya. Biar kita masak bareng, hidup bareng, sukses bareng."
Dan untuk pertama kalinya, Dara memeluk Rafi… bukan karena sedih, tapi karena bahagia. Mereka tertawa bersama, memeluk impian yang dulu nyaris tak terlihat di balik asap dapur.
Tapi... eits, tunggu dulu.
Dua hari kemudian, Rafi punya ide.
Dia bikin akun t****k juga.
Nama akunnya: @Suami30Ribu
Bio-nya: “Suami yang sedang belajar jadi penonton utama istri bintang panggung.”
Video pertamanya? Dia berdiri di dapur, megang tempe gosong, sambil bilang,“Kalau kalian pikir istri kalian cerewet, itu tandanya mereka sayang. Tapi kalau mereka diam... siap-siap viral.”
Video itu viral dalam 4 jam. Komennya?
“Akhirnya sadar juga, Bang!”
“Laki-laki idaman istri netizen!”
“Duet konten bareng istri dong!”
Ketika Mertua Turun dari Langit
Hari Sabtu, rumah Dara mendadak seperti kapal pecah. Bukan karena anak-anak berantem, tapi karena kabar mengejutkan dari suami tercinta:
“Ra, Mama mau datang hari ini,” kata Rafi dengan suara pelan, seperti baru ngumumin kiamat kecil.
Dara yang sedang mengedit video endorsement langsung freeze.
“Datang?” ulang Dara. “Maksudnya… nginep?”
Rafi cengar-cengir. “Nggak tahu sih. Tapi biasanya kan… ya, gitu. Kalau udah bawa daster sendiri, berarti niat.”
Dara langsung berdiri. Dalam waktu sepuluh menit, ia berubah dari ibu rumah tangga santai jadi komandan kebersihan darurat nasional. Anak-anak dikirim bersihin kaca, Rafi disuruh angkat jemuran, dan Dara sendiri... menyembunyikan produk endorsement yang belum difoto, karena takut dikira "jualan online gak jelas" oleh mertuanya.
Pukul 10.45 WIB.
Mobil berpelat “pernah sukses zaman Orba” berhenti di depan rumah.
Turunlah sosok wanita berbusana lengkap dari atas sampai bawah—bermotif bunga-bunga besar yang seolah menantang langit. Di tangannya ada tas besar isi entah-apa, dan di matanya… ada tatapan penilaian 360 derajat.
“Assalamu’alaikum…,” ucap sang mertua, dengan nada seperti penagih utang.
“Waalaikumsalam, Ma…” Dara tersenyum, setengah menelan ludah.
Baru lima menit duduk, sang mertua sudah mulai “mengaudit rumah” seperti BPK.
“Duh, ini lantainya agak lengket ya, Dar?”
“Eh, itu cucian di dapur belum setrika, ya?”
“Wah, baju anak-anak sekarang makin aneh aja motifnya, ya. Dulu zaman saya, anak kecil nggak dibolehin pakai gambar alien begini.”
Dara hanya menjawab dengan senyuman terbaiknya—senyuman yang bisa memenangkan perang dunia ketiga tanpa senjata.
Tapi klimaksnya datang saat mertua melihat dapur.
“Oh ini dapurnya… hmm… ya lumayan. Tapi dulu waktu saya masih muda, dapur saya lebih lengkap dari ini. Kulkas 2 pintu, oven gede, mixer. Kamu belum kepikiran ya beli alat masak beneran, Dar?”
Dara menoleh perlahan, masih sabar.
“Ini alat masaknya lengkap kok, Ma. Ada wajan bolong, rice cooker kabelnya kebakar, dan oven… hati,” jawabnya dengan manis tapi menusuk halus.
Rafi langsung tersedak kopi. Zahra nyengir di sudut ruangan. Setelah makan siang…
Mertua melirik makanan di meja: ayam suwir kecap, tumis tahu, dan sambal tomat. Semua dengan plating cantik, hasil endorse peralatan dapur.
“Hmm, enak sih. Tapi ini ayamnya... beli di mana, Dar?”
“Saya dapat dari kerjasama brand, Ma,” jawab Dara sambil senyum. “Saya bikin konten masak. Dari uang belanja 30 ribu itu, jadi konten yang ditonton jutaan orang.”
Mata mertua menyipit. “Jutaan orang?”
Dara mengangguk. “Iya. Alhamdulillah, sekarang udah bisa bantu tambah uang sekolah anak-anak.
Dari dapur ini juga, Ma.”
Mertua terdiam. Untuk pertama kalinya… ia tak bersuara.
Tapi, tentu tidak berakhir di situ.
Sore hari, mertua nyeletuk ke Rafi ketika Dara sedang di dapur:
“Mas, kamu ini kepala rumah tangga. Jangan biarin istri kamu keseringan tampil. Nanti kamu dilangkahin.”
Rafi menoleh dan berkata dengan nada pelan tapi tegas: “Ma, justru sekarang saya sadar, saya selama ini yang ketinggalan. Dara itu bukan sekadar istri. Dia guru, dia ibu, dan sekarang juga inspirasi. Kalau saya malu, itu bukan karena dia bersinar, tapi karena saya baru sadar siapa dia sebenarnya.”
Sunyi. Bahkan jam dinding pun seperti ikut berhenti berdetak.
Mertua hanya menghela napas. “Ya udah. Mama cuma takut kamu... kalah suara.”
Rafi tersenyum kecil. “Kalah suara nggak masalah, Ma. Yang penting kami satu frekuensi.”
Malam harinya…
Dara dan Rafi duduk di dapur, makan mi instan rasa tom yum bareng, karena lauk siang sudah habis diserbu mertua.
“Kamu keren hari ini, Mas,” bisik Dara.
“Kamu lebih keren, Ra. Nahan mulut Mama sampai sore itu butuh iman setebal beton,” jawab Rafi sambil tertawa.