Dua Sarung

1371 Words
Ketika sedang asyik menyapu teras rumah, Nafla melongo melihat seseorang yang lewat depan rumahnya, "Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?" ucap Nafla tak berkedip. Mulai detik ini, gue suka cowo besarung! Bagi seorang cewek, melihat cowok pergi ke masjid itu seperti ada sesuatu yang menarik. Memakai sarung, baju koko, peci, apalagi kalau ganteng, sungguh menyegarkan mata dan membuat adem hati. Aura kegantengannya semakin terpancar. Calon imam yang aduhai. "MAMAAAAAAAAAKKKKKKK," teriak Nafla sambil berlarian kecil menuju dapur menemui Mamanya. Sebelumnya, ia menggantung sapu yang dibawanya tadi di teras belakang. "Mamak... Mamak, kagak usah pakek K. Panggil Mama aja kenapa sih. Kecuali kalo dari bayi kamu udah manggil Mamak, baru deh gapapa. Kamu mau Mama panggil Naflak? Naflak meja!" omel Mama Nafla yang sedang memanaskan sayur untuk makan malam. "Itu taplak, Mama sayang." Nafla duduk di ruang makan yang tak jauh dari dapur. "Nah gitu kan enak ... udah nyapunya?" tanya Mama Nafla. "Udah, Ma ... Eh, Ma, cowo yang suka pakek sarung, pakek baju koko, suka lewat depan rumah itu siapa, ya? Mama tahu gak?" "Oh Pak haji Mu'in itu mah, rumahnya diujung lorong, istrinya tiga, anaknya sepuluh," Mama Nafla memindahkan hasil masakannya ke mangkok dan meletakkannya ke atas meja makan. "Ih, bukan Wak Haji. Itu buat Mama aja." Nafla terkekeh. "Yang Nafla maksud itu yang masih muda, ganteng, bercahaya, wangi semerbak," ucap Nafla, matanya terpejam, senyumnya mengembang, seketika terbayang ketika cowok itu lewat depan rumah. "Heh! Gila, senyum-senyum sendiri," Mama Nafla memecahkan lamunan Nafla. "Siapa, Ma? Dia siapa? Jawab anakmu ini, anakmu menunggu jawaban." Nafla mendramatisir seolah-olah sedang berperan sebagai protagonis yang teraniaya. "Pake baju koko putih?" Nafla mengangguk. "Pakek sarung kotak-kotak wadimor?" Nafla tampak berfikir. "Wadimor itu gambar apa, Ma?" Padahal Wadimor sarung khas Indonesia. Masa' Nafla tidak tahu. "Itu merk sarung! Sarungnya warna biru kotak-kotak, ada garis-garis merahnya?" Nafla mengangguk lagi. "Oh," sahut Mama Nafla. "Sebenernya Nafla gak merhatiin sarungnya, Nafla cuma merhatiin mukanya. Masa Nafla nengok ke bawah ngeliatin anu---eh sarungnya." "Kamu suka sarungnya apa anunya?" "Suka orangnya lah, Ma. Cowok ganteng bersarung itu kayak ada manis-manisnya gitu. Apalagi kalo selepas wudhu, mashaa allah sekali gantengnya." Mama Nafla teringat sesuatu. Ia teringat saat Nafla masih halus---maksudnya masih kecil, anaknya suka lihat cowok bersarung. Awalnya karena terbiasa melihat papanya pakai sarung. Dari kecil sampai ia menginjak SD kelas 4, ia sering minta kelonin mama dan papanya sambil masuk ke sarung papanya karena rasanya nyaman sekali. Sepertinya kesukaan Nafla pada sarung terulang kembali sekarang. Mungkin kemarin sempat hiatus. Entahlah, tapi, tiba-tiba mama Nafla merindukan momen itu. Momen saat bersama keluarga yang utuh, momen ketika semuanya bahagia dan terasa lengkap. "Ma! Kok ngelamun sih?" "Siapa juga yang ngelamun. Mama lagi nginget-nginget tahu!" "Nafla masih penasaran sama cowok itu, Ma," ucap Nafla yang menyadari perubahan raut muka Mamanya, ia hanya berusaha mengalihkan perhatian Mamanya. "Yaudah, nanti pas adzan Isya', kita tungguin. Dia pasti lewat lagi," saran Mama Nafla dengan ide yang cemerlang. "Good idea! You're the best Mom!" Nafla dan Mamanya ber-tos-ria. Selesai menyiapkan makan malam, Nafla dan Mamanya bergegas wudhu dan sholat maghrib berjama'ah. Papa Nafla memang jarang di rumah. Alhasil mereka sholat hanya berdua dengan Mamanya sebagai imam. Sholat maghrib pun selesai, mereka lanjut makan malam. Makan malam yang dihiasi canda tawa antara ibu dan anak. Sesekali tawa pecah, ketika salah satu diantara mereka mendadak menjadi pelawak. "Mama gak kangen papa?" Uhuk Pertanyaan Nafla membuat Mamanya tersedak. Nafla segera menuangkan air putih ke gelas dan langsung diberikannya kepada Mamanya, "minum, Ma." Mama Nafla meneguk habis air di dalam gelas itu hingga tetes terakhir tanpa tarikan napas. "Mama keselek apa haus?" tanya Nafla heran. "Haus hehe ... lagian kenapa kamu nanya-nanya gitu." "Emang ada yang salah sama pertanyaan Nafla?" "Gak, sih." "Nah yaudah." "Makannya cepet, nanti dia udah lewat," saran Mama Nafla. "Iya, Ma. Ini Nafla langsung telen." Nafla terlihat buru-buru sekali menyuapkan nasi ke mulutnya yang masih terisi penuh. "Gak gitu juga keles!" "Selesai!" ucap Nafla setelah menghabiskan sesendok nasi terakhir. "Ayo, Ma!" "Tardulu, ada yang nyangkut." Mama Nafla menutup mulutnya. "Cuci piring dulu, Nak." "Oh iya. Nafla cuci piring dulu, ya." Mama Nafla hanya berdeham. Nafla bergegas mencuci piring bekas makannya dan mamanya. Dia mencuci piring secepat mungkin. Takut kelewatan. "Ayo, Ma. Nanti dia keburu lewat." Nafla sudah kembali ke ruang makan. "Cepet amat. Bersih kagak tuh?" "Bersih, bibik Nafla udah bereskan pakek cahaya matahari, Tuan Nyonya muda," kekeh Nafla. "Iya, Ayo!" Mereka pun duduk berdua di kursi plastik teras rumah sambil ngobrol santai menunggu cowok itu lewat. Cuaca malam ini sangat mendukung acara penantian cowok bersarung itu. Langit malam terlihat cerah dihiasi bintang-bintang yang kerlap-kerlip. Cahaya bulan seolah menjadi saksi percakapan antara ibu dan anak yang asik menunggu. "Kamu kayak antusias banget sama cowok itu, emang ganteng banget apa?" tanya Mama Nafla. "Banget, Ma! Mama tahu Harry?" "Harry Tanoesoedibjo? Orang partai? Partai Perindo, Jayalah Indonesia!" tebak Mama Nafla beruntun. "Ih, bukan! Harry Styles. One Direction tahu ga?" "Tahu, yang lagunya suka Mama nyanyin pas lagi nyuci? Yang lirik lagunya bilang Mama cantik, itu kan?" "Iyain." Mama Nafla terkekeh sendiri. "Cowok besarung itu mirip Harry, Ma." "Galih mau diapain?" "Digodog aja sampe ngambang." "Ih jahat! Galih kan anak Mama juga, anak yang tertukar." "Idih! Kemakan ftv hidayah." Nafla bergidik ngeri mendengar jawaban Mamanya. "Mama kan nontonnya sama kamu juga." "Eh iya hehe." "Hu dasar!" Mama Nafla menarik hidung anaknya pelan. Haaaaaasyyyyyiiiiiiim "Ih mama, udah tahu hidung anaknya sensitif. Masih aja ditarik." Nafla mengucek-ucek hidungnya, "jadi gatel nih." "Eh maaf, Sis. Lupa." "Mana, Ma? Bentar lagi adzan nih. Tapi dia belum lewat." "Sabar! Mama yakin, dia pasti lewat." Selang beberapa menit, muncul seorang cowok dengan baju koko dan memakai sarung, ia berjalan mendekat ke rumah Nafla. "Ma, kok dia ke sini? Rumah kita ada masjidnya?" "Mama juga bingung." "Assalamu'alaikum," sapa cowok itu setelah semakin dekat, sambil mengangkat kedua tangannya bak acara Abang None yang sedang catwalk. Kemudian cowok itu menyalimi Mama Nafla. "Wa'alaikumussalam, Pak Haji. Mau nganter undangan sunatan lagi?" sahut Nafla, "siapa lagi yang mau disunat? Pak haji? Ntar habis dong." "Pacar s****n!" Nafla sudah terkekeh geli melihat penampilan Galih. Ternyata yang datang bukan cowok itu, tapi Galih, pacarnya. Kalian jangan ngebayangin Dylan Jordan pake peci, pake baju koko, pake sarung ya bhahaha "Mama masuk dulu, ya. Mau boker, empet ngeliat kalian," canda Mama Nafla. "Iya, Ma," jawab mereka bersamaan. Galih menduduki kursi yang diduduki Mama Nafla sebelumnya. "Lagian, ngapain elo pake kostum gini ke rumah gue. Mobil lo mana?" "Gue telen." "Dih! ... Elo mau kemana?" tanya Nafla. "Tadi gue disuruh ngehadirin acara ganti nama anaknya temen Bokap gue, anaknya sakit-sakitan keberatan nama. Jadi kudu digenti namanya." "Emang siapa namanya?" "Berliana Intan Mas Permata Sari." "Eh buset! Itu mah bukan keberatan, kemahalan," Nafla tertawa ngakak. "Bodo amat, Yang." "Terus kenapa nyasar ke sini?" tanya Nafla lagi. "Kangen." "Najis!" balas Nafla. "Gua ogah dateng ke acara gituan, mending ngapelin elo." "Dosa lo, gua telpon Abi lo nih," ancam Nafla meraih ponselnya di dalam saku celana. "Gitu amat sama pacar sendiri." Galih mengercutkan bibirnya. "Gua karetin juga lama-lama bibir lo ... Yaudah, sekali ini aja. Lain kali gak boleh, nurut-nurutlah sama orang tua. Apa salahnya dateng doang, elo gak disuruh ceramah juga di sana kan? Tinggal duduk, ikutin ritualnya, udah." "Iya, Sayang. Sekali ini aja. Aku janji." "Ga usah sok manis!" "Iya, Beruk!" balas Galih. Nafla mengamati penampilan Galih dari ujung kaki hingga ujung kepala, "elo ga seganteng cowok tadi," ucap Nafla. "Cowok mana? Elo selingkuh?!" "Ada tadi cowok bersarung lewat depan rumah." "Oh." "Gak cemburu?" selidik Nafla. "Gak, sarung gue lebih bagus, langsung dari Arab." "Gila dasar!" "Gila karenamu!" Galih mengacak rambut Nafla. Dan Nafla membalas mengacak rambut Galih. Mereka pun saling acak-acakan. "Eh itu cowok itu, dia lewat, gila ganteng banget!!" ucap Nafla setelah tidak sengaja menoleh ke arah pagar rumahnya. Ia melihat cowok itu lewat lagi. Tapi mengapa saat adzan isya' dia tidak nongol? Oh mungkin setelah maghrib, dia tidak pulang. Dia stay di masjid sampai isya'. "Siapa? Mana?" tanya Galih. "Itu noh!" Nafla menunjuk cowok itu yang berjalan sendirian. "WOY!! SARUNG BIRU!!" teriak Galih. Cowok itu lantas menoleh merasa terpanggil, sebelumnya ia melihat sarungnya dahulu, apakah warna biru atau hijau. Terkadang orang salah membedakan antara hijau dan biru. "Gue?" tanya cowok itu menunjuk dirinya sendiri. "IYA, ELO! SINI!" cowok itu pun mendekat sedikit ragu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD