Mobil kodok Galih berhenti di depan pagar rumah nafla. Nampak orang-orang di sana---yang tak jauh dari rumah Nafla sedang asyik membongkar tenda lepas acara kondangan tadi. "Berhenti di sini aja, Gal." Nafla bergegas membuka pintu mobil.
Galih menahan tangan Nafla, "Ada apa?"
Muka Nafla sudah cukup khawatir. Sepanjang perlajanan tadi ia hanya diam dengan pikiran yang entah kemana. "Gapapa. Gak usah mampir ya. Udah sore. Nanti Umi lo nyariin." Nafla tersenyum, "Gue masuk dulu." Galih hanya mendengus panjang masih menahan tangan Nafla.
"Nyokap gapapa, kan?" Nafla mengangguk.
"Gue ikut," Galih sungguh tak tega melihat ekspresi khawatir Nafla. Takut terjadi apa-apa. Galih paham betul jika pacarnya ini sosok yang tertutup. Ia tidak mudah untuk membagi masalah keluarganya kepada siapa pun. Termasuk pada Galih, pacarnya.
"Gue gapapa, Galih." Nafla berusaha melepaskan tangannya yang ditahan Galih.
"Gue mau ikut masuk. Lo kenapa, sih?" Galih tetap menahan tangan Nafla.
"Gue gapapa Galih, astaghfirullaah."
"Gue mau masuk, mau ketemu mama," bantah Galih, "Gue masukin mobil dulu." Nafla mendengus sebal berusaha membuka pintu mobil. "Nanti aja turunnya, bareng. Mobilnya dimasukin dulu," cegah Galih. Nafla hanya menurut. Bisa ribet urusannya jika mobil Galih terparkir di depan pagar rumahnya. Bisa terjadi perang klakson karena jalanan depan rumah Nafla tidak begitu luas.
Kalian bingung tidak, mengapa Galih memanggil mamanya Nafla dengan sebutan mama? Baiklah nanti dijelaskan. Nanti atau sekarang? Apa? Tahun depan? Emang yakin masih umur panjang? Sekarang aja, okay? Baiklah. Ini agak ribet, tapi semoga kalian memgerti.
Mama Nafla dan Umi Galih sudah bersahabat sejak SD. Namun persahabatan mereka vakum saat mereka ingin melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Mama Nafla memilih kuliah di Bandung. Sedangkan Uminya Galih kuliah di Jakarta. Mereka lost contact sampai beberapa tahun.
Seperti remaja-remaja lainnya, mereka pun memiliki angan-angan yang bisa dibilang aneh. Cita-cita mereka ketika masih remaja adalah ingin nikah muda dan memiliki anak kembar. Kalau bisa sih akad nikahnya dan itunya barengan---pestanya lho, bukan apa-apa.
Mama Nafla dan Umi Galih juga sepakat jika mereka punya anak kembar nanti, anaknya akan dinamai Aqiu dan Aquino yang terinspirasi dari Javier Aquino---pemain bola yang mereka idolakan. Walaupun tak kembar yang penting ada Aqiu dan Aquino-nya.
Tapi apa daya tangan tak sampai. Angan-angan hanyalah sekedar keinginan. Cita-cita hanyalah sekedar impian. Manusia hanya bisa berencana, sementara yang mengatur sudah ada.
Mama Nafla dan Umi Galih bertemu kembali ketika mereka berdua akan melahirkan di Rumah Sakit yang sama. Entah ini kebetulan atau apa, yang pasti bukan kesengajaan. Ya mungkin saja saat proses produksinya bersamaan waktunya, tapi sungguh acara melahirkan itu tidak direncanakan sama sekali.
Semenjak itu Mama Nafla dan Umi Galih dekat kembali. Persahabatan yang sempat vakum, diaktifkan kembali. Mereka pun sering kumpul bersama walau hanya sekedar makan malam.
Nafla juga tak segan memanggil Umi Galih dengan sebutan Umi. Begitu juga dengan Galih yang memanggil Mama Nafla dengan sebutan Mama. Semoga kalian tidak pusing membaca penjelasan ini.
"Muka lo kenapa kayak khawatir gitu?" tanya Galih seusai mobilnya sudah masuk pagar.
"Au ah. Orang bilang gapapa ya gapapa." Nafla membuka pintu mobil dan berjalan masuk ke rumahnya yang tak terkunci.
"Assalamu'alaikum, Mamaaaaaa, Nafla bawa tukang kebun baru." Nafla berjalan masuk mencari keberadaan mamanya.
"Pacar s****n!" umpat Galih yang berjalan di belakang Nafla.
"Gue denger!" Galih hanya tertawa.
"Wa'alaikumussalam, Galih tukang kebunnya?" tanya Mama Nafla yang duduk di ruang TV sambil memainkan ponselnya. Sekedar info saja, Mama Nafla punya beberapa olshop yang tersebar di seluruh Indonesia.
"Assalamu'alaikum, Ma," sapa Galih sambil menyalimi Mama Nafla, "Masa orang ganteng gini dibilang tukang kebun, Mama dulu ngidam apa sih waktu hamil Nafla?" tanyanya seraya duduk di dekat Mama Nafla.
"Mama mah ga ribet. Mama dulu cuma ngidam pengen banget nampol kepala walikota." Galih tertawa terbahak-bahak.
"Terus kesampean gak, Ma?" tanya Galih.
"Gak lah! Nanti mama dirajam ih."
Galih terkekeh dan sadar satu hal, "Nafla mana, Ma?" Karena keasikan ngobrol, batang hidung Nafla sudah tak terlihat lagi. Raib entah kemana.
"Di belakang kayaknya."
"Tadi pas lagi jalan sama Galih, Mama nelpon Nafla?" Mama Nafla mengangguk. "Ada apa, Ma? Muka Nafla tadi terlihat khawatir. Mama lagi sakit?"
"Menurut kamu?" Mama Nafla balik bertanya sambil menahan tawanya.
"Ga tahu. Galih jadi ikut khawatir." Seketika tawa Mama Nafla meledak.
"Mama kenapa astaga?" Galih keheranan.
"Itu si Tempul mau beranak," jawab Mama Nafla sambil terkekeh.
"Tempul siapa?"
"Kambingnya Nafla, kambing kesayangannya. Mangkanya dia khawatir."
O aja yekan, batin Galih merutuk.
"Galih nyusul Nafla dulu, Ma."
"Iya, Sayang."
Langkah kaki Galih menyusuri setiap lantai rumah Nafla. Ia terus berjalan menuju halaman belakang. Di halaman belakang rumah Nafla banyak sekali hewan peliharaannya, mulai dari ayam, kambing, kelinci, hamster, sugar glider, dan masih banyak lagi. Bahkan jika Nafla lagi rajin, semut, cacing, lalat, dan cicak sengaja diberinya makan.
"Banyak-banyak ngusap d**a aja gue," Galih melihat Nafla sedang menggendong ayam jago kesayangannya. Namanya Tembereng. Semua hewan peliharaannya memang sudah dinamainya. Andai ada akte kelahiran hewan, pasti sudah lama Nafla daftarkan.
"Sini, Yang. Lihat anak kita udah gede," ucap Nafla sambil terkekeh melihat Galih yang masih mengusap-usap dadanya.
"Elu gak lagi sawan, kan?" Galih mendekat ke arah Nafla.
"Uluh uluh. Ini Ayah kamu, Nak." Nafla mengusap-usap kepala ayam seperti mengusap bayi yang baru lahir.
"Amit-amit, Naf," Galih bergidik ngeri, "Elo tahu ga? Gue khawatir ngeliat muka lo yang panik tadi. Gue kira ada apa. Gak tahunya cuma gara-gara kambing?"
"Gue kan gak nyuruh elo untuk khawatir," Nafla terkekeh geli, "Gue udah bilang, gue gapapa. Elonya aja yang ngeyel."
"Huh! Gue pulang dulu, ntar malem gue jemput."
"Mau kemana? Gue mau bantuin Mang Tole ngurusin anak kambing." Mang Tole adalah paman Nafla yang dengan ikhlas mengurus semua hewan-hewan peliharaan Nafla.
"Kambing atau gue?" Galih menyuruh Nafla untuk memilih.
"Kambing," jawab Nafla reflek, "Eh!"
"Sono lu, pacaran sama kambing. Ajakin dia main ke pantai sambil minum es kelapa muda. Ber-du-a-an," ucap Galih sedikit kesal.
"Emang pacar gue kayak kambing. Namanya Aquino Galih. Dia itu bau kambing." Galih mengacak-acak rambut Nafla kemudian menarik hidung Nafla gemas. Sehingga membuat Nafla bersin sekuat-kuatnya hingga ayam jago dipelukan Nafla terlepas. Sebelum ayam jago itu mendaratkan dirinya di tanah, ia loncat dan mampir dulu ke muka Galih.
Ceker ayam itu mengenai muka Galih. Alhasil terlihat beberapa garis merah seperti cakaran di muka Galih. Mungkin ayam jago itu ada dendam tersembunyi pada Galih yang tak mau mengakui dirinya sebagai anak, tadi. Nafla saja mau jadi ibu angkatnya.
"Ya Allah, lo gapapa? Sakit gak? Mana yang sakit? Aduh gimana sih," Nafla memperhatikan muka Galih sambil menyentuhnya pelan. Ia sedikit khawatir pada Galih. Oh bukan sedikit, tapi banyak. Takut ceker ayam itu mengenai mata Galih.
"Ciyee khawatir," goda Galih. Tangannya berhenti mengelus pipinya sendiri lalu beralih mengacak rambut Nafla lagi.
Nafla menjauhkan tubuhnya dari hadapan Galih, "Apaan sih!" Nafla menarik tangan Galih, "Masuk gih, gue obatin." Setelah menutup semua kandang, Nafla mengajak Galih masuk ke rumah.
Galih duduk di ruang makan menunggu Nafla yang masih sibuk mencari kotak P3K. "Yaudah sih, cuma beret doang. Besok juga kering," ujar Galih yang jengah menunggu Nafla mencari kotak P3K yang tak kunjung ketemu.
"Yaudah lah ya. Capek gue nyari kotak P3K." Nafla pun putus asa mencari kotak P3K yang entah dimana. Lalu ia menyeret kursi untuk duduk di depan Galih, "Sakit gak?" tanyanya sekali lagi.
"Masih sakitan ngeliat elo nemenin Heza ke ulang tahun mantannya."
"Gak jadi elah! Repot amat sih." Nafla refleks menabok pelan pipi Galih yang terkena ceker ayam tadi.
"Awh sakit, Nap," adu Galih meringis pura-pura kesakitan.
"Maaf, Gal. Yang mana yang sakit?"
"Di sini," Galih menunjuk pipinya, "Obatnya cuma satu," lanjut Galih menyeringai.
"Iya betadin, obatnya cuma betadin. Tapi gue lupa nyimpen di mana."
"Bukan betadin."
"Jadi apa dong?"
"Dicium sama elo," ucap Galih terkekeh jahil.
"Hah! Gue terjang lo!!" ancam Nafla begitu emosi.
"Galak amat, orang canda doang."
"Elo yang mancing!" Galih hanya menghela napas panjang.
"Gue pulang ya. Udah sore. Jangan lupa ntar malem gue jemput." Nafla hanya berdeham menjawabi Galih.
"Nap?"
"Pake F, please!"
"Naf?" ulang Galih.
"Apa?"
"Mandi gih! Tangan lo bau t*i ayam. Badan lo bau kambing," Galih langsung berlari meninggalkan Nafla yang hampir meledak amarahnya.
"Galih b*****t!"
****
"Sapu mana, Ma?" Nafla sibuk mencari sapu yang entah dimana.
"Di luar, Sayang, di samping, tergantung."
"Sapu mana, sapu mana, sapu mana, di mana? Aaaalamat palsuuuuu," Nafla mencampurkan lagu Bapak Mana dengan Alamat palsu.
"Gaje bat dah gue," ucapnya terkekeh.
Jadwal Nafla saat sore menjelang maghrib adalah menyapu rumah. Setelah menemukan keberadaan sapu, ia langsung terbang---astaga bukan terbang, dikata nenek sihir. Ia langsung menyapu setiap sudut rumah kemudian menyapu teras rumah.
Ketika sedang asyik menyapu teras rumah, Nafla melongo melihat seseorang yang lewat depan rumahnya, "Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?" ucap Nafla tak berkedip.
Mulai detik ini, gue suka cowo besarung!