"WOY!! SARUNG BIRU!!" teriak Galih. Cowok itu lantas menoleh merasa terpanggil, sebelumnya ia melihat sarungnya dahulu, apakah warna biru atau hijau. Terkadang orang salah membedakan antara hijau dan biru.
"Gue?" tanya cowok itu menunjuk dirinya sendiri.
"IYA, ELO! SINI!" cowok itu pun mendekat sedikit ragu.
"Assalamu'alaikum," sapa cowok itu setelah sampai di dekat teras rumah Nafla.
"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Masuk, Pak Haji," Galih menjawab salam cowok itu.
Cowok itu pun melangkahkan kakinya ke dalam rumah Nafla, namun teriakan Galih menghentikannya, "Heh! Mau kemana?"
"Katanya disuruh masuk?" jawab cowok bersarung biru itu. Nafla sudah tertawa ngakak melihatnya.
"Di sini aja, duduk di teras. Maksud gue masuk dari halaman ke teras. Bukan masuk ke dalem. Lagian, mau ngapain di dalem? Main petak umpet?" Cowok itu angguk-angguk, mengerti. Kemudian ia berdiri di sebelah Galih.
"Duduk di sini, Kak." Nafla berdiri dan mempersilahkan cowok itu duduk di kursinya. Kursi di teras hanya ada dua. Kursi plastik---yang kalau dibanting bisa pecah kayak hati.
"Saya berdiri aja. Kamu aja yang duduk," tolak cowok itu ramah. Ia pindah berdiri di depan Galih dan Nafla menghadap mereka seperti pembina upacara yang akan memberi amanat.
Formal banget, Ya allah. "Santai aja, Kak. Gak usah formal banget. Gue-elo aja. Kaku amat haha."
"Gue kalo sama cewek yang baru kenal emang gitu. Kaku kayak serbet kering," sahut cowok itu.
"Haha lucu lo, Kak, dasar sempak ngambang!"
"Gosah gatal, Yang!" tegur Galih tak suka melihat Nafla nampak asik sekali ngobrol bareng cowok itu.
"Dih!" Nafla masuk ke dalam rumah, mengambil kursi plastik kecil untuk cowok itu duduk. Kalian tahu kursi plastik unyu yang suka dijadikan anak-anak sebagai rumah-rumahan ketika main masak-masakan? Biasa dipakai emak-emak duduk ketika ngucek pakaian? Sering dipakai untuk mencari kutu rambut? Si pencari kutu duduk di kursi itu, dan yang kutuan duduk di lantai? Tahu? Iya itu.
"Duduk, Kak." Nafla menyodorkan kursi yang telah diambilnya ke cowok itu. Cowok itu pun duduk di kursi itu. Sebenarnya bisa saja Nafla memberikan kursi yang lebih layak, tapi kursi itulah yang berada paling dekat dengan posisinya. Kursi itu terpajang rapi di ruang tamu entah apa alasannya.
"Ternyata masih muat," gumam cowok itu. Galih sudah menahan tawanya daritadi.
"Nama lo siapa?" tanya Galih.
"Elridho."
"Cocok!" potong Nafla, "yang satu Galih lobang, satu lagi Ridho Rhoma haha. Sepertinya orang tua kalian sehobi."
"b*****t!" umpat Galih.
"Panggil gue El, Ridho terlalu islami. Gue gak suka," papar El sambil membuka ikatan sarungnya.
"Heh! Mau ngapain lo?!" pekik Nafla ketika El hendak melepaskan sarungnya. Wah, bisa gawat! Bisa terjadi sesuatu yang anu.
"Gerah," sahut cowok itu melanjutkan aktifitasnya.
"Nanti terbang," timpal Galih yang mendekat ke arah Nafla kemudian menutup mata Nafla.
"Lepas, Gal! Apaan sih!" Nafla berusaha melepaskan tangan Galih, "apanya yang terbang?"
"Itu merk sarungnya belum dilepas. Nanti terbang. Kan sayang," kilah Galih tak mau memperunyam.
"Gue pakek celana, kali!" ujar El ketus. Orang gila macam apa yang memakai sarung tanpa memakai celana. Oh memangnya orang gila ada beberapa macam?
"Syukurlah," ucap Galih setelah mendengus lega melepaskan tangannya dari mata Nafla.
"Tangan lo bau, Njir!" maki Nafla seperti menahan muntah.
"Tadi lupa pake sabun hehe," aku Galih kemudian terkekeh.
"s****n!"
"Kalo gak pakek celana, baru beneran terbang," ceketuk El sambil melipat sarungnya dan melepas pecinya.
"Tapi kan, gak punya sayap?" balas Galih.
"Emang yang bisa terbang cuma yang punya sayap aja? Pembalut ada sayap, tapi gak bisa terbang?" El meletakkan sarung dan pecinya di atas meja.
"Jenius lo, El!" Galih mengajak Elridho ber-tos-ria. Sepertinya mereka berdua sama-sama gesrek.
"Elo baru pindah, El? Kok gue baru liat elo?" tanya Nafla penasaran.
"Iya, baru tadi pagi. Di sebelah rumah elo. Gue baru diangkat jadi anak sama Ayah Reno dan Bunda Lovi."
"Oh, Tante Lovi. Pantes gue baru liat."
"Tetangga lo gak mau nyari bayi aja apa, Nap? Masa udah gede gini diangkat."
"Yang bayi ribet ngurusnya, Gal." Memang benar, mengurus bayi itu repot. Tengah malam dibangunkan oleh tangisan bayi yang tidak berhenti karena mengompol, haus, dan lapar. Kalau mengangkat anak yang sudah besar kan dia sudah bisa mengurus dirinya sendiri.
Oleh karena itu kurangi melawan orang tua kalau bisa hilangkan, karena mengurus anak itu capek. Coba kalau disuruh cuci piring, ada saja jawabannya, nanti, Ma, capek, Ma, sabar, Ma, baru putus, Ma. Yang putus hati, bukan tangan.
Coba kalau dikasih uang untuk beli kuota, cepat geraknya. Langsung bilang, makasih, Ma, Sayang mama, mama baik banget---pret bulshit. Self reminder.
Sudah besar, harus bisa bantu mama---kerja di rumah duriduridamdamduriduridam. Kamu makannya apa? Tempe! Saya juru bicara.
"Sebenernya gue tuh keponakan mereka, Nyokap Bokap gue meninggal seminggu yang lalu gara-gara dibunuh. Jadi, mereka ngangkat gue sebagai anak," jelas El santai.
"Sorry, El." Galih dan Nafla merasa tidak enak.
"It's ok." Suasana mendadak canggung.
"Cewek gue naksir sama lo, El," ucap Galih to the point memecah kecanggungan.
Bangsat memang! Mecahin kecanggungan sih oke. Tapi jangan gue jadi tumbal! umpat Nafla dalam hati.
"Gue sih belum, ga tahu kalo besok." Galih berdecih mendengar jawaban Elridho bak Dullah itu.
"Lu kata Dilan!"
"Tapi cewek lo cantik. Gua gak bisa jamin gue gak suka sama dia,"
"Ambil aja," sahut Galih.
pletaaak
Ucapan Galih dihadiahi jitakan oleh Nafla. "Lo emang b*****t, Gal!"
Galih mengelus dengkulnya yang dijitak Nafla, "sakit, Yang. Kenapa? Mau dipertahanin?" Nafla memutar bola matanya malas.
"Makanya jangan gatal. Udah punya gue yang bersarung made in Arab, masih aja mau sama si sarung gajah bengkak," lanjut Galih kepedean.
"Gajah duduk, b**o!"
"Kalian pacaran?" tanya Elridho kemudian.
"Gak, ini dibuat-buat untuk cari sensasi. Biar terkenal," ketus Galih. Elridho tertawa terpingkal-pingkal mendengarnya.
Mereka pun saling bercerita tentang diri masing-masing. Ternyata El asli orang Palembang. Ayah dan ibunya meninggal karena dibunuh oleh temannya sendiri. Masalah dendam kesunat---maksudnya dendam pribadi.
El anak pertama dari dua bersaudara. El dan adiknya yang biasa dipanggil Ul-ul---nama lengkapnya Maulidya---diadopsi oleh Reno dan Lovi---tetangga Nafla yang memang belum dikaruniai anak.
El awalnya tinggal di Palembang, namun harus ikut pindah ke Bangka, karena posisi Reno dan Lovi di Bangka tepatnya di Pangkalpinang---iyalah masa di luar angkasa. Galih dan Nafla di Bangka juga? Allahuakbar, iya.
El juga bercerita kalau mulai besok dia akan pindah ke sekolah Galih dan Nafla. Mengenai sekelas atau tidak, ia belum tahu. Tapi, jurusan El dam Nafla sama---jurusan Ipa. Sementara Galih jurusan Ips.
Mereka berbincang-bincang cukup panjang, Mama Nafla saja sudah tidur duluan. Ternyata El tidak sekaku yang mereka kira. El orangnya asik, memang awalnya terlihat formal dengan penampilannya yang seperti ustadz ganteng, tapi setelah dijelajahi lebih dalam, ia orang yang seru juga bahkan lebih gila. Memang benar penampilan bisa menipu.
"Besok mau gue jemput, Lak?" Itu ajakan El. Setelah berkenalan singkat, El memanggil Nafla dengan sebutan Lak---Naflak.
"Gak usah, Elridhok!" potong Galih, "Naplak bareng gue."
"s****n haha. Yaudah, gue nebeng ya, Lih? Malih?" pinta El.
"Kagak! Naik gojek aja lo."
"Pelit lu! Dia kan anak baru. Gapapa kali," bela Nafla.
"Iye."
"Gue pulang dulu kali ya. Nanti gue dicariin," pamit El. "Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam," jawab Galih dan Nafla. El sudah pulang meninggalkan mereka berdua.
"HEH, BURUNG---kok burung sih, maksud gue SARUNG LO KETINGGALAN!!" teriak Galih yang melihat sarung dan peci El tertinggal di atas meja.
"Burung sama sarung kan jauh, Gal?"
"Ya namanya orang buru-buru," jawab Galih pembelaan.
"Yaudahlah, rumahnya di sebelah ini. Besok paling diambilnya."
"Aduh, seret tenggorokan," kode Galih pada Nafla yang tak peka sedari tadi.
"Astaga, gue lupa. Sorry. Gue buatin minum ya. Mau minum apa?"
"Air putih aja, tapi kasih sirop dikit, kasih es batu juga boleh."
"b**o. Bilang aja es sirop. Tunggu bentar." Nafla langsung ke dapur membuat es sirop untuk Galih.
Cukup lima menit Nafla datang membawa es sirop yang terlihat pucat tak berdaya. "Nih." Nafla menyodorkan gelasnya.
"Lu emang bener-bener ya, Nap." Galih tak habis pikir. "Ini bukan es sirup, ini air kobokan. Dikit banget siropnya.
"Kata Galihkusayang tadi, sirop sama es batunya dikit," ucap Nafla membalikkan ucapan Galih.
"Gak gini juga kali!"
"Lagian elo! Sama gue tuh gak usah pakek basa-basi haha. Bilang aja yang sebenarnya!" ujar Nafla. "Nih minum. Abisin. Gue udah capek bikinnya."
"Iye." Galih meminum es sirup yang pucat itu dengan terpaksa.
"Pacar yang baik!" puji Nafla.
"Udah puas kenalan sama cogan bersarung?" tukas Galih sambil menghabiskan tetes terakhir es siropnya.
"Udah dong. Makasih, Bibeh." Nafla tersenyum puas.
"Elo memang gak pernah bersyukur. Udah punya pacar ganteng, masih aja naksir cowok lain." Galih meletakkan gelasnya ke atas meja.
"Situ gak ngaca, Mas?" sindir Nafla. "Tiap hari yang gonta-ganti pasangan siapa?" Dibanding Nafla, Galih memang yang paling sering jalan sama cewek lain---walaupun izin sih. Nafla hanya sesekali, itu pun minta izinnya setengah mati.
"Suka-suka gue dong," sahut galih.
"Egois!" bentak Nafla mulai kesal.
"Tapi gue sayangnya cuma sama elo, Nap. Elo tau itu, kan?"
"Kalo sayang, kok yang dikencani semua cewek ya, hmm," sindir Nafla lagi.
"Elo ga mulai ngeraguin gue kan, Naf?"