Pepaor

1696 Words
"Kalo sayang, kok yang dikencani semua cewek ya hmm," sindir Nafla lagi. "Elo gak mulai ngeraguin gue kan, Naf?" "Gue gak tahu. Tapi, apa elo gak aneh kalo gue biasa aja ngeliat cowok yang jelas-jelas menjabat sebagai pacar gue, jalan sama cewek lain?" "Kita udah sering bahas ini kan, Naf?" Mereka memang sering membahas masalah ini saat terjadi pertengkaran kecil. Namun tidak pernah diselesaikan secara tuntas. Selalu menggantung di tengah jalan. Nafla hanya diam tak menjawabi ucapan Galih. "Kalo gue minta elo buat gak jalan lagi sama cewek lain, elo mau turutin?" "Elo cemburu?" Galih balik bertanya. "Anggap aja iya," balas Nafla ketus. "Cemburu atau enggak? Iya apa enggak? Gak bisa anggap-anggapan." "Iya, gue cemburu! Puas!" Nafla masuk rumah setelah sedikit membentak Galih. Galih hanya terkekeh senang karena memang itu tujuan Galih, ingin Nafla mengakui perasaan cemburunya. Selama mereka berpacaran, Nafla selalu mengelak jika dituduh Galih cemburu pada cewek lain. Kalau ada apa-apa juga Nafla tak pernah mengungkapkannya. Nafla terlalu tertutup walau dengan pacar sendiri. "Gue sayang elo, Nafla Aqiu!" ucap Galih sedikit berteriak. "BERISIK! UDAH MALEM! PULANG SANA!" Galih terkekeh lagi. Ternyata Nafla mendengar dari dalam. ---CRAZIER--- "Hai, Tetangga," sapa El yang sudah berseragam tidak rapi menghampiri Nafla. Bajunya dikeluarkan, tak berdasi, tasnya pun terlihat tak berisi. Mungkin isinya hanya buku sebiji. "Hm," sahut Nafla tak menoleh sedikit pun. Nafla sedang sibuk mengikat tali sepatunya seraya menunggu Galih menjemput di teras rumahnya. "Elo gila?! Elo anak baru, Ridho Rhoma! Rapiin seragam lo!" Nafla terbelalak setelah mendongak melihat penampilan El. "Biasa aja, Tetangga." "Matamu muncrat, biasa aja! Elo mau sekolah apa tauran? Kalo gini, mending elo pake sarung kayak semalem. Adem gue liatnya." "Gue cuma nyesuain sama situasi. Di saat gue mau sholat ya gue pake sarung sama peci. Di saat gue sekolah, ya gue kayak gini. Gue emang kayak gini, Naf. Kalo elo nyuruh gue buat pakek seragam rapi, pake dasi, elo nyuruh gue jadi orang lain. Gue ya kayak gini." "Udah?" tanya Nafla malas. "Udah, Nap." "Cebok, kalo udah." El tertawa ngakak mendengarnya. Sementara Nafla masih memasang wajah malas. "Kita berangkat duluan aja, Nap. Gue bawa motor. Malih kayaknya gak dateng," ajak El setelah melihat jam di pergelangan tangannya yang menunjukkan pukul 06.45. "Gue telepon dulu," ucap Nafla seraya meraih ponselnya di dalam saku baju seragamnya. Ia pun mulai menelepon Galih. "Lama, Nap!" cetus El yang lelah menunggu dari tadi. Sementara Nafla masih sibuk dengan ponselnya. "Ayo! Gue gak mau telat," putus Nafla. Ia sudah berkali-kali menelpon Galih namun Galih tak kunjung menjawabnya. Mereka pun berangkat bersama tanpa menunggu Galih datang. Selama di perjalanan menuju sekolah, berbagai u*****n keluar dari mulut Nafla. Mulai dari kata-k********r sampai kata halus kasar---jadi inget SD disuruh nulis huruf sambung di buku halus kasar. El melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Untung saja lampu merah tidak diterobosnya. Kalau tidak, bisa dipastikan Nafla akan menjadi setan perawan karena mati tergencet kendaraan lain. Lagi-lagi Nafla menyesal karena sempat suka sama cowok bersarung seperti El. Sampai di parkiran sekolah, semua mata tertuju pada mereka. Mungkin lebih tepatnya bukan pada mereka, tapi, pada El. "Sekali ini aja gue bareng elo. Gue masih mau kawin." Nafla melepaskan helm dan menyerahkannya ke El. "Elo kan bisa ngomong pelanin bawa motornya." El tidak menghiraukan tatapan orang lain. Hal ini sudah biasa baginya. Ia menerima helm dari Nafla dan menyimpannya di atas motornya. "Gue udah ngomong, Ridho Rhoma! Elo aja yang gak denger." Nafla merapikan rambutnya yang acak-acakan akibat tertiup angin. "Kalo gue gak ngebut, kita telat, Jenap! Elo gak liat ini udah jam berapa. Tapi, gue gak ngebut lagi deh, janji!" "Bodoamat!" Nafla berjalan duluan meninggalkan El. Ia risih ditatap dengan tatapan orang-orang yang mengarah kepadanya. "Tunggu, Jenap! Gue kan gak tahu sekolah ini." El berjalan cepat mengejar Nafla. Setelah berhasil menyamakan langkahnya, mereka berjalan beriringan. Kemudian Nafla mengantar El ke ruang guru, ia tidak tega membiarkan tetangganya---yang sudah rela memberinya tumpangan walaupun ngebut---hilang diculik cabe gatal sekolahan. Sebelumnya Nafla menyuruh El untuk merapikan pakaiannya dulu. "Seenggaknya jadilah anak baru yang keren. Besok kalo mau acak-acakan juga gapapa. Serah lo." Nafla memakaikan dasi ke kerah baju El. Beruntung Nafla punya dasi cadangan. Tentu saja El diam menurut diperlakukan spesial oleh Nafla seperti itu. "Yaaah," keluh El. "Kalo gini, gue gak janji kalo gak jatuh cinta sama elo." Mendengar kalimat yang keluar dari mulut El, Nafla mengencangkan ikatan dasi ke leher El. "Ampun, Jenap!" El nyaris tercekik karena perlakuan Nafla. Karena tidak tega, Nafla pun mengendurkan ikatannya. "Itu baju mau gue yang masukin apa masukin sendiri?!" El cepat-cepat memasukkan bajunya ke dalam celana. Ia takut khilaf jika Nafla yang melakukannya. Bisa-bisa terbang beneran---merk celananya. "Gue ke kelas duluan. Baek-baek di hari pertama lo." Nafla menepuk pundak El. "Iya, Jenap." Nafla meninggalkan El di kantor untuk menghadap kepala sekolah. Dalam hati Nafla berharap tidak sekelas dengan El. Cukup El menjadi tetangganya, jangan jadi teman sekelasnya karena akan ribet urusannya. Memang penampilan bisa menipu. Awalnya Nafla mengira El itu anak sholeh yang kalem. Ternyata kebalikannya. Tapi ada satu kelebihannya, walaupun begitu, ia adalah anak remaja yang rajin sholat ke masjid bahkan saat adzan belum berkumandang. Nafla masuk kelas dengan langkah gontai. Sejujurnya, ia masih memikirkan Galih. Mengapa Galih tidak mengabarinya kalau ia tidak bisa menjemput. Memang semalam terjadi pertengkaran kecil, tapi bukankah itu sudah biasa. Nafla ingin ke kelas Galih tapi diurungkannya. Biarkan Galih menjelaskannya sendiri nanti, pikirnya. "Tuh muka ngapa dilipat gitu kayak kotak martabak!" ejek Maemunah yang melihat Nafla datang dan langsung duduk di sebelahnya. Maemunah adalah sahabat sekaligus teman sebangku Nafla. "Gue lagi pingin ngecangkul Galih!" Maemunah bergidik ngeri mendengarnya. "Widih, Sequel Eno cangkul haha. Ada masalah apa?" "Gak usah tanya-tanya! Lu kata ask.fm!" "Awas ya kalo ada apa-apa curhatnya ke gue," Maemunah mengerucutkan bibirnya. "Mae?" panggil Nafla. "Jangan kayak gitu lagi, ya." "Kayak gitu gimana?" tanya Maemunah bingung. "Monyongin bibir, jelek ih!" "b*****t!" Braaaaaak "Astaghfirullaahaladzim," ucap Nafla yang kaget mendengar gebrakan meja. "ADA MURID BARU! GANTENG!" teriak Cilla yang tak lain tak bukan si penggebrak meja tadi. Cilla ini bisa disebut Lambe Turah sekolah. Kalau ada gosip yang hot, dia pasti tahu lebih dulu. "Gue akui ganteng kalo mirip Harry!" celetuk Maemunah. "Nah itu! Mirip Harry 1D. Harry Tanoesodibjo!" jawab Cilla yakin. "Harry Styles, b**o! Gini nih kalo pas bayi sering terhempas!" timpal Nafla tak rela Harrynya dinistakan. "Gue curiga otak Cilla beneran jelly!" "Otaknya pada rotasi ke dengkul. Sumpah." "Cil? Otak lu di tenteng ya? Bukan di tempurung? "Otak dia kerendem banjir kayaknya." "Kok jadi bully Cilla? Cilla kan bawa kabar baik. Anak barunya masuk kelas kita," papar Cilla semangat. Dan detik itu juga Nafla merasa hidupnya terancam. Tiiiiiiiiiiiiiiiiiiitttttttttttttttttt Bel pelajaran pertama pun berbunyi. Sebelum memulai pelajaran, para murid mengaji selama lima belas menit, karena memang sudah menjadi peraturan di Sekolah ini. Selesai mengaji, mereka berdoa dipimpin oleh ketua kelas. Berdo'a agar banyak jam kosong, berdo'a agar gurunya rapat, berdo'a agar semua do'anya terkabul. Hanya beberapa detik kelas terasa sunyi. Setelahnya, para murid ribut kembali. Ada yang menyanyi, ada yang joget, ada yang menari, ada yang dancing, ada juga yang bergoyang. Suasana kembali hening ketika Pak Mahpudin masuk bersama anak baru yang mereka gosipkan tadi. Pak Mahpudin itu wali kelas mereka, sudah tua tapi tetap ganteng. Jika kalian membayangkan Pak Mahpudin itu killer, berkumis tebal, menyeramkan, kalian salah. Pak Mahpudin kebalikannya. Kalau diibaratkan artis, Pak Mahpudin itu seperti Anjasmara. "Assalamu'alaikum, anak-anak," sapa Pak Mahpudin ramah. "Pagi, Bapak Ganteng!" jawab murid kompak. Salam Pak Mahpudin sudah dijawab dalam hati masing-masing. "Tebak, Bapak bawa apa?" Lihat saja, belum apa-apa Pak Mahpudin sudah ngajak main tebak-tebakan. Pak Mahpudin memang tipekal Guru yang suka bercanda. "Bawa nyawa." "Bawa diri." "Bawa kenangan." "Bawa mantan." "Bawa Harry Tanoesodibjo!" Tentu saja itu celetukan Cilla. Dan ucapannya itu dihadiahi sorakan oleh teman sekelasnya. "Udah, diem. Bapak bawa teman baru untuk kalian. Semoga kalian senang, ya. Perkenalkan diri kamu, Nak," ucap Pak Mahpudin ramah kepada cowok yang datang bersamanya. "Nama gue El. Panggil aja El. Gue dari SMA N 1 Palembang. Gue tetangganya Nafla dan gue jomblo." Nafla berdecih mendengar perkenalan El itu. Sementara teman-temannya yang lain heboh sendiri. "ALHAMDULILLAH REJEKI NOMPLOK!" "EL, ELO JOMBLO? GUE JOMBLO? KENAPA KITA GA PACARAN AJA?!" "MENDING PACARAN SAMA GUE. KAN SAYANG GANTENGNYA MUBAZIR." "GUE SEBAGAI JOMBLO SENIOR SIAP MENDIDIK ELO BIAR GA JOMBLO LAGI, EL." "Sudah-sudah! Kenapa jadi ribut," lerai Pak Mahpudin yang pusing mendengar berbagai teriakan dari anak muridnya. Murid-murid lantas terdiam, mereka sibuk memanjatkan do'a di dalam hati agar bisa menjadi pacarnya El. "Elo kenal, Naf?" Nafla mengangguk menjawab pertanyaan Maemunah. "Kenalin ke gue nanti." Nafla hanya mengiyakan, tak mau ambil pusing. "Yaudah, kamu boleh duduk. Cari bangku yang kosong." "Saya mau sebangku sama Nafla, Pak," ucap El tanpa dosa. "Teman sebangku Nafla itu Maemunah. Kamu duduk di sana sama Mamat!" kata Pak Mahpudin karena hanya bangku di sebelah Mamat yang kosong. "Maemunah, kamu duduk sebelah Mamat. El duduk di sebelah Nafla," tegas Pak Mahpudin setelah dibisikkan sesuatu oleh El. Entah jurus apa yang dipakai El sehingga bisa mengubah keputusan Pak Mahpudin. Dasar, Guru Labil! Setelah selesai memperkenalkan anak baru itu, Pak Mahpudin izin ke kantor untuk rapat. Alhamdulillah do'a murid sholeh dan sholehah terkabul. Anak kelas pun pestapora melakukan apa saja semau mereka. "Oi, Tetangga!" Itu suara El yang sudah duduk di sebelah Nafla. Sedang Nafla sibuk membaca novel, tak memperdulikan El. "Hm." "Kita sekelas!" seru El. "Udah tahu!" "Gue mau minta izin, boleh?" Nafla menutup novelnya kemudian beralih menatap El, "izin apa?" "Izin buat terus ngerecokin hidup lo!" El tertawa sendirian. "Ga lucu, Ridho Rhoma!" Perbincangan mereka diintrupsi oleh suara ketukan pintu. Toktok "Ada Kak Nafla?" Cewek berambut lurus dibonding datang menghampiri Nafla setelah mengetok pintu. Dari gayanya dan caranya menyebut 'Kak' sepertinya dia adik kelas. "Kak Nafla?" Nafla mengangguk. "Gue mau nitipin coklat ini buat Kak Galih." Cewek itu tersenyum tanpa beban menyodorkan coklat silverqueen. "Otak lo gak dipakek atau otak lo kopong atau otak lo ikut kebonding sama rambut elo yang lurus tapi kaku itu? Elo gak mikir ngasih coklat ke Galih tapi lewat Nafla?" potong Maemunah geram yang entah sejak kapan sudah berada di sebelah Nafla. Sementara Nafla diam saja melihat tingkah adik kelasnya itu, menarik napas terus membuangkannya perlahan. Ia berusaha mengontrol emosinya. "Dasar, Pepaor! Perebut pacar orang!" tambah Maemunah lagi. Baiklah itu singkatan terlihat maksa sekali. "Diem, lu, Bontet!" balas cewek itu. Emosi Maemunah sudah di ubun-ubun mendengar cacian dari cewek itu. Maemunah memang tidak langsing, tapi ia tidak gendut. "Kak Nafla aja B aja ... Gue cuma mau ngucapin makasih karena Kak Galih udah repot-repot jemput gue tadi dan ngajakin berangkat bareng. Gue udah nyari Kak Galih ke seluruh sekolah ini, tapi, gak ketemu." Cewek itu sengaja menekankan kata berangkat bareng sehingga membuat Maemunah ingin menerkamnya saat ini juga, namun ditahan Nafla. "Ntar gue sampein." Nafla merampas secara kasar uluran coklat dari cewek itu dan buru-buru pergi ke luar kelas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD