Satu

1731 Words
Dastan:  ~~~~~  Dalam hubungan jarak jauh, kalau fase pernikahan sudah terlampaui, artinya pasangan LDR yang bersangkutan bisa dinobatkan sukses menjadi pejuang LDR. Seperti yang gue alami. Namun perjuangan gue nggak berhenti sampai disitu, man. Setelah menemukan jodoh a.k.a istri tercinta, gue kembali menjalani perjuangan hubungan jarak jauh yang lebih ekstrim lagi dari LDR dengan si Mbak mantan pacar. Level kami kini naik satu tingkat dengan rintangan yang lebih berat yaitu menjadi pejuang LDM alias Long Distance Marriage.  Nggak pernah gue bayangkan kalau kehidupan rumah tangga gue berjalan seperti ini. Ekspektasi gue dulu, istri adalah rumah tempat gue pulang setelah seharian berkelana mencari penghidupan. Dan realita yang terjadi sama saja seperti saat masih bujangan. Setiap malam gue harus 'bobo' sambil meluk guling, bikin kopi pagi sendiri, pulang kantor apartemen dalam keadaan gelap, masih sama seperti saat ditinggal pagi hari. Lebih menyesakkannya, pas lagi 'butuh' harus sabar menunggu sampai jadwal ketemuan yang sudah gue dan istri sepakati tiba.  Mungkin gue terlalu berani berspekulasi soal pernikahan.  Gue dan Kiara sepakat untuk membuat jadwal ketemuan yang hanya bisa diterima oleh akal para pejuang LDM seperti kami. Tiga minggu setelah pertemuan terakhir Kiara yang mengunjungi gue ke Jakarta, jadwal berikutnya dua minggu setelah pertemuan terakhir gue yang ke Jember. Begitu seterusnya. Kalau nggak dibuat jadwal seperti itu gue yakin semuanya bakal jadi amburadul.   Jadwal berkunjung pertama adalah giliran Kiara. Tiga minggu setelah acara penyelenggaraan pernikahan kami di Jakarta, Kiara mengunjungi gue. Kiara berangkat dari Jember hari Jumat sore dan kembali ke Jember hari Minggu sore. Kenapa giliran gue dua minggu setelah pertemuan terakhir? Karena gue baru bisa meninggalkan Jakarta hari Sabtu sore. Artinya pertemuan kami jauh lebih singkat di pertemuan terakhir kan. Sampai di sini paham kan? Pahami sajalah, gue capek kalau mesti dituntut menjelaskan dengan detail. Intinya gue masih kangen jadi mesti cepet-cepet ketemu bini gue lagi. That's it.  Namun saat tiba giliran Kiara ke Jakarta, Kiara dinyatakan positif hamil. Gue nggak mungkin setega itu membiarkan istri gue yang sedang hamil muda melakukan perjalanan jauh. Jadilah gue yang mengalah dan setiap tiga minggu sekali mengunjungi Kiara ke Jember.  Jakarta-Jember itu jauh saudara-saudara. Kalau naik bus atau kereta api, makan waktu 21 jam perjalanan. Itu kalau lancar. Kalau pesawat memang lebih cepat, hanya sekitar 2,5 jam sudah sampai bandara Jember, tapi harga tiket pesawatnya lumayan bikin dompet jerit-jerit seandainya doi punya mulut.  Lelah dan berat diongkos sudah mulai melingkupi tubuh dan kehidupan gue, tapi gue tetap menjalani dengan sabar dan selalu berharap, semoga akan ada titik terang untuk persoalan yang satu itu. Doa gue terkabul, gue masih diberi kemampuan supaya tetap kuat melalui LDM, selama hampir 200 malam. Iya setiap malam gue menghitung, ini sudah masuk malam keberapa gue menjalani pernikahan yang anti mainstream ini. Apalagi pas moment di mana seharusnya, kehadiran gue menjadi orang yang selalu siaga mendampingi istri yang lagi menjaga calon penerus gue, malah gue nggak ada di sampingnya. Nyesek banget, gue merasa menjadi laki-laki nggak berguna. Iya Kiara saat ini sedang mengandung, kira-kira usia kandungannya sudah masuk enam bulan. Gue pribadi juga nggak bisa seenaknya nyuruh-nyuruh dia berhenti kerja, terus diam di apartemen ngurusin gue? Gue jaga perasaan Mamanya jugalah, orang tuanya yang mati-matian menyekolahkan dia supaya anaknya bisa punya pendidikan, pekerjaan dan hidup dengan layak sebelum ketemu gue, lah trus gue datang-datang maen suruh dia resign. Mama mertua pernah memberi wejangan sama gue sebelum menikah, beliau meminta tolong banget sama gue supaya nggak menyuruh Kiara resign. Biarkan Kiky sendiri yang memutuskan kapan mau resign, gitu kata Mama. Memang, gue bisa dan punya hak sebenarnya menyuruh seperti itu, gaji gue cukup kalau cuma untuk kasih penghidupan yang layak buat istri dan calon anak gue, tapi gue nggak mau dicap sebagai suami egois, otoriter, dan tukang ngatur. Gue biarkan dulu mengikuti arus, gue tunggu sampai di mana Kiara mampu bertahan dengan hubungan jarak jauh ini. Pernah sekali gue coba minta dia untuk resign, tapi yang terjadi, gue didiemin berhari-hari. Mending kalau deketan, ngambek dikit bisa dipeluk, dicium. Nah...ini jauhan, gue malah menyiksa diri sendiri namanya. Ya sudahlah, gue nggak mau mengulang lagi kesalahan yang sama. "Gimana, Pak? Udah bener 'kan laporannya? Gue mau cabut nih. Woy, Dastan!" Suara Fandi berhasil membuyarkan semua lamunan gue. Entah kenapa, dua hari ini gue kepikiran Kiara terus, selain kangen, perasaan gue juga nggak enak banget. "Taruh situ aja, nanti gue periksa." "Kenapa lo?" tanya Fandi. "Nggak kenapa-napa. Biasalah lagi kangen bini." "Elah..., baru juga seminggu yang lalu lo balik dari Jember ini." "Dia lagi hamil, nggak tega gue, kepikiran terus bawaannya." "Telepon aja, mungkin dia juga lagi mikirin lo, makanya lo gelisah gini." "Tumben lurus pikiran lo. Biasanya juga, lo ngasih sarannya nyeleneh." "Abis ketiban batang kayu sengon. Eh, Alvin sering banget ngilang ya sekarang." "Ijinnya sama gue mau pulang kampuang. Entahlah kampuang yang mana. Kampung dia beneran atau kampung akal-akalannya si Alvin supaya dapat libur buat traveling." "Sering banget dia sekarang pulang kampuang nan jauh di mato, lebaran aja jarang pulang ini. Jangan-jangan mau dikawinin tuh monyet." "Biarin ajalah. Dia juga kayak lagi suntuk gitu bawaannya tiap hari. Lo juga, kalo ngomong kayak tadi di depan Alvin, gue yakin bakal ditenggelamkan sekarang juga di Selat Sunda." Fandi cuma menjawab dengan tertawa membahananya, sambil meninggalkan ruang kerja gue. Seperti saran Fandi, gue akan coba telepon Kiara saat telah berada  di apartemen. (***) "Assalamualaikum."  "Waalaikumsalam. Sudah pulang kerja, Kia?"  Gue melempar jas, dasi ke sembarang tempat. Ini kalau ada Kiara, gue main buang barang sembarangan, dia pasti akan ngomel sepanjang jalan kenangan. Kiara yang nggak banyak omong akan mendadak cerewet kalau sudah menyangkut kerapihan dan kebersihan. Doi memang seperfect itu orangnya. Ngetik typo aja dibahas, man.  "Udah, baru aja nyampe nih. Masih belum ganti baju." "Kia sayang, jam berapa ini? Kamu baru pulang kerja jam sembilan malam?" tanya gue terheran-heran. Ini Kiara kerja di bank apa perusahaan kompeni, menyiksa karyawan banget jam kerjanya.  "Tadi ada meeting sama orang Kanwil Malang. Kamu di mana? Sudah makan?" tanya Kiara dengan suaranya yang tegas tapi bikin hati adem. "Baru sampai apartemen. Tadi udah makan di kantor." "Junkfood lagi pasti?" "Ya mau makan apa lagi, Kia? Lagi males makan jauh-jauh, jadi cari yang paling dekat kantor. Dan adanya cuma itu." "Kan ada ojek online, atau bisa pakai jasa catering kalau pengen lebih hemat." "Aku maunya kamu yang masakin, bukan ojek online apalagi tukang katering, Kia." "Jangan mulai deh, aku lagi capek banget ini, males debat." "Maaf…, aku bukannya mau ngajak debat, sayang. Surat mutasi kamu tuh sudah turun belum sih?" tanya gue dengan nada sedikit menyindir. Emosi gue mudah terusik akhir-akhir ini kalau menyangkut LDM. Dan Kiara sepertinya menyadari itu.  "Ya jangan emosi gitu. Aku kan cuma nyaranin ini. Belum turun, masih ngantri. Yang ngajuin udah dari setahun yang lalu aja, belum di acc, apalagi aku yang baru ngajuin beberapa bulan yang lalu. Sabar ya," jawab Kiara, dengan tutur katanya yang lembut dan intonasi bicara serendah mungkin, sedang mencoba meredam emosi gue. "Jadi maksud kamu, aku harus nunggu setahun lagi gitu? Nggak sekalian aja sepuluh tahun lagi, Kia." Gue gampang frustrasi kalau sudah membahas surat mutasi Kiara yang nggak kunjung mendapat persetujuan itu. "Namanya juga kerja ikut orang, ya harus siap jadi kacung dong, kalau bos belum kasih perintah, mana bisa kita bergerak. Kamu mestinya juga ngertiin soal itu dong." "Kurang ngertiin kayak apa lagi aku? Gimana kalau aku aja yang pindah ke Jember? Di sana juga ada pabrik cabang." "Eh, jangan. Kalau kamu balik ke pabrik lagi, downjob dong? Jangan ya, karier itu kan sudah payah kamu rintis bertahun-tahun, aku nggak mau cuma gara-gara aku sampai melepas karier kamu." "Aku pengin ada di samping kamu, apalagi dengan kondisi kamu lagi hamil kayak sekarang. Aku pengin jadi suami siaga." "Sabar ya. Kamu tenang aja. Insya Allah kami akan baik-baik saja kok, Papa." "Ya sudah, kalian istirahat ya, sayang. Aku juga mau istirahat." "Iya. Asalamualaikum." "Walaikumsalam. Aku sayang kamu." "Aku juga." (***) Pagi ini gue nggak bisa konsentrasi selama meeting dengan seluruh staff perusahaan. Untungnya bukan meeting penting, hanya membahas kinerja perusahaan selama pertengahan bulan ini. Pikiran gue nggak bisa berhenti memikirkan kondisi Kiara. Mana tadi pagi sebelum dia berangkat kerja bilang kalau perutnya nggak enak terus bawaannya. Saat didesak soal kondisinya dia terus berkilah dan mengatakan kalau dia baik-baik saja. "Namanya juga orang lagi hamil, yang namanya perut pasti nggak enaklah bawaannya." Begitu yang dia katakan tadi di telepon. Semoga nggak terjadi apa-apa pada istri dan anak gue. Ponsel ketinggalan di ruangan gue lagi, jadi nggak bisa menghubungi Kiara lagi untuk mengobati kekhawatiran ini. Agak siangan, setelah presentasi dari divisi yang dipimpin oleh Alvin, gue meminta Nurmala balik ke ruangan gue, untuk mengambil ponsel gue yang ketinggalan. "Ini, Pak. Dari tadi dering terus, dari istri bapak."  "Oya, terima kasih, Nurma." Menerima ponsel dari Nurmala, gue pamit keluar dari meeting room, untuk menghubungi Kiara. Ada apa ini? Kenapa perasaan gue semakin nggak nyaman gini. Ada beberapa kali panggilan tak terjawab dari kontak ponsel Kiara, Andra dan Mama. Nggak biasanya Kiara jadi orang nggak sabaran, biasanya kalau sudah sekali menelepon, trus gue nggak menerima panggilan teleponnya, dia pasti cuma menunggu gue telepon balik. Ini juga, orang rumahnya kenapa pada menghubungi gue, sepertinya urgent banget. Belum sempat gue masuk ke kontak Kiara, dia terlebih dahulu menghubungi gue. "Assalamualaikum, Kia." "Mas, ini Andra. Mbak Kiky masuk rumah sakit. Kata teman kantornya pendarahan." "Trus sekarang gimana keadaan Kiara?" "Masih diperiksa dokter. Saya sama Mama sekarang yang nungguin." "Ya udah, titip Kiara ya, Dra. Kalau ada apa-apa tolong hubungi saya." "Ya Mas, pasti." Gue segera mengakhiri meeting ini, dan meminta Nurmala untuk memesankan tiket pesawat. "Pak, yang kayak biasanya full booked semua. Ini adanya yang tarif normal." "Ya udah itu aja. Langsung Jember atau Surabaya?" "Surabaya. Yang ke jember kosong, Pak." Shit, semesta nggak kompromi banget sama dompet dan kondisi gue. "Astaga. Ya udah itu aja. Sama tiket keretanya sekalian, Nurma." "Baik, Pak." Setelah pemesanan tiket online selesai, gue minta supir kantor mengantar ke bandara. Alvin yang melihat gue tergesa-gesa keluar dari lobi, menawarkan diri untuk menemani. Gue nggak sempat balik ke apartemen, karena tiga jam lagi gue mesti check in di bandara. Jadilah gue hanya membawa diri aja ke Jember, masih pakai pakaian kerja lengkap pastinya. Gue nggak peduli seperti apa rupa penampilan gue. Yang terpenting saat ini, gue bisa sampai Jember secepatnya. Gue bersyukur karena nggak ada hambatan berarti, no delay, no macet yang sampai membuat emosi jiwa. Ya Tuhan, lindungi istri gue.Di dalam hati, gue  merapalkan doa apa saja yang gue bisa sepanjang perjalanan. ~~~ ^vee^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD