TEGUH

1338 Words
"Teguh!! Ayok sekolah!" Teriak Bina dari depan gerbang rumah Teguh. Seperti biasa kakeknya Teguh menghampirinya. "Duh cucu kakek, Teguh cepet ini cucu kakek udah nunggu dari tadi!" Teriak kakek Teguh sembari mengelus rambut Bina. Bina hanya tersenyum, keluarga Teguh memang sangat ramah padanya sampai-sampai terkadang Teguh terkena marah karena ulah Bina, keluarganya tahu bahwa itu salah Bina, tapi tetap saja yang terkena omelan adalah Teguh. Kakek itu memberi uang pada Bina. "Sut, jangan bilang bilang Teguh ya." Ucap Kakek itu. Bina hanya mengangguk antusias. Tak lama Mamahnya Teguh keluar dari rumah dan memanggil Bina. "Ada apa tante?" Tanya Bina, Mamah Teguh berjongkok didepan Bina dan menyentuh pundaknya. "Tante boleh minta tolong?" Bina pun mengangguk cepat. Mamah Teguh pun mulai mejelaskan apa yang harus Bina bantu. Bina hanya menelan ludah saat mendengar penjelasan wanita paruh baya itu. "Tolong ya.." Mohon Mamah Teguh padanya. Bina pun mengangguk ragu. Tak lama Teguh pun muncul dari dalam rumah. Setelah berpamitan, mereka pun berjalan menuju kesekolah. Sekolah mereka cukup atau bisa dibilang sangat dekat dari rumah mereka, jadi dengan jalan kaki pun mereka bisa sampai tepat waktu. Selama perjalanan, Bina hanya diam mencoba mencerna kalimat demi kalimat yang tadi Mamahnya Teguh minta padanya. "Eh, Bina emang mau pindah sekolah?" Tanya Teguh. Tubuhnya menegang seketika, ia segera menoleh kearah Teguh yang ada disamping kirinya lalu mengangguk. Teguh yang melihat respon Bina itu pun menampakan lesung pipitnya. Ia segera menggenggam tangan Bina karena akan menyebrang jalan. Sesampainya disekolah, semua murid seperti biasa melihat kearah mereka berdua. Apalagi Teguh masih belum melepas genggamannya dari Bina. "Teguh kok mau sih sama Babon?" Cetus salah satu murid laki-laki itu yang diikuti tawa dari hampir semua siswa. Teguh tidak menanggapinya, ia segera menaruh tasnya dan tas Bina dibangku mereka lalu mereka duduk dibangku mereka. Tanpa Teguh sadar, air mata Bina terjatuh perlahan dan tangannya yang satunya lagi mengepal hebat. "Udah gak usah didengerin, Bina cantik buat Teguh." Ucapan manis itu sedikit membuat Bina terhibur. Namun, itu tidak menurunkan kadar rasa kesal dan dendam dalam dirinya. Untungnya tak lama guru pun datang dan pelajaran pun dimulai. Di tengah jam pelajaran, wali kelas mereka memanggil Teguh keruangan kepala sekolah. Bina tau pasti mengapa Teguh di panggil keruang kepala sekolah. Tanpa sadar ia meremat rok merahnya. *** -FLASHBACK ON- "Tante minta tolong ya, kalau Teguh nanya kamu bakal pindah sekolah apa enggak, kamu bilang iya, ya? soalnya Teguh harus pindah sekolah kata papahnya. Tapi dia gak mau kalau gak sama kamu. Bina bisa kan bantuin tante?" Kalimat itu membuat Bina menelan ludah. -FLASHBACK OFF- *** Kini sudah jam istirahat dan Bina masih tetap duduk dibangkunya menunggu Teguh yang tidak kunjung kembali. "Heh babon!" Panggil seorang siswa yang tadi menghinanya. Bina sebenarnya ingin sekali membunuh siswa itu. Siswa itu menghampiri Bina yang berusaha menahan emosinya. Sialnya, siswa itu terus-terusan melontarkan kalimat hinaan. Bina yang sudah tidak tahan lagi itu segera berdiri, tubuh Bina lebih besar dan jauh lebih tinggi dari siswa itu. Bina melihat kearah siswa itu dengan mata yang berapi-api. "Apa? mau pukul? apa mau nangis?" Ledek siswa itu yang diikuti tawa dari kedua temannya. Bak psikopat, Bina menyunggingkan bibirnya dan memukul siswa itu tepat diwajahnya. Siswa itu terjatuh dan hidungnya mengeluarkan darah. Namun, siswa itu masih bisa bangkit dan membalas pukulannya pas diwajah Bina. Bina yang merasa tertantang itu segera memukulinya tanpa ampun sampai seorang pembersih sekolah melerai mereka. Semua mata kini tertuju padanya. "MAJU LU ANJING!" Teriak Bina. Ia sudah sangat lelah dengan olok-olok mereka selama dua tahun ini. Ia bisa saja menghambisi mereka dari awal, tapi pasti ibunya akan sangat marah. Dan sekarang ia sudah pasrah, tidak perduli ibunya akan marah atau bahkan membencinya. Untung aja pembersih sekolah itu dekat dengannya, jadi Bina tidak di bawa kekantor guru, melainkan dibawa ke sebuah warung yang terletak cukup jauh dari sekolah. Pembersih sekolah itu memberikan Bina sebotol air dan sebuah obat oles untuk ujung bibirnya. "Terima kasih." Ucap Bina. "Neng ada ada aja sih, masih kecil juga udah berantem-beranteman aja. Mana neng kan cewe." Ucap pembersih sekolah itu. Bina sangat kesal jika ada orang yang membawa soal gender kesebuah peristiwa. Katakan saja pikiran Bina dewasa sebelum waktunya, karena ia terlalu banyak bergaul dengan kakak-kakaknya yang jauh lebih tua darinya. Kedua kakaknya itu suka sekali menceritakan harinya pada Bina, dan terkadang ada cerita yang membuat Bina tahu tentang buruk dan baiknya dunia orang dewasa. Bina hanya terseyum pada pembersih sekolah yang bernama pak Hasan itu. Setelah menghabiskan airnya, ia segera berpamitan karena ia harus kembali ke kelas. Ia tahu, walau sekarang ia selamat, pasti nanti saat sampai disekolah ia terkena masalah, karena pasti siswa sialan itu melaporkannya. Saat sampai dikelas, ternyata guru belum masuk. Bina bernafas lega, namun saat ia masuk. Ia melihat Teguh yang duduk dibangkunya dan menatap kearahnya. Perlahan Bina berjalan menuju bangkunya dan duduk disamping Teguh. Bina sangat terkejut saat Teguh tanpa aba-aba memeluknya. Bina tahu itu akan menjadi pelukan terakhir mereka, karena ia yakin pasti Teguh akan sangat marah padanya saat ia berbohong soal pindah sekolah. "Nirbina Poetry!" Panggil seorang guru dari arah pintu. Mereka pun melepas pelukannya. Bina tahu ia dalam masalah sekarang. Ia menghampiri guru itu dan benar saja, guru itu membawanya keruang guru. Sesampainya diruang guru, Bina bisa melihat siswa yang babak belur karenanya itu duduk disamping seorang wanita paruh baya yang sepertinya adalah ibunya. Bina di persilahkan duduk oleh gurunya. "Saya panggil Ibu dan Ayahmu ya." Ucap kepala sekolah. Bina hanya mengangkat bahu. Ia tahu orang tuanya tidak akan mengangkat telfon dari kepala sekolah itu, karena mereka sedang sibuk dengan pekerjaannya. Bina menatap kearah siswa itu dengan tatapan ingin membunuh, ibunya yang ada disebelah siswa itu menatap Bina dengan tatapan kesal. Bina hanya menampilkan Smirk nya. "Orang tua kamu sibuk ya?" Tanya gurunya. Lagi lagi Bina hanya mengangkat bahu tanda tidak tahu. Ibu siswa itu terlihat sangat kesal dengan sikap acuh seorang Bina. "Heh! Kamu cewe cewe gak ada etikanya banget mukulin anak saya!" Ibu itu membentak Bina. "Tunggu... kayanya yang gak punya etika anak ibu deh." Jawab Bina yang membuat ibu itu makin kesal. "Ibu tahu gak dia disekolah ngapain? dia suka ngebully orang dan ngelecehin murid perempuan." Lanjut Bina. Ibu itu terlihat terkejut dan menanyakannya pada siswa itu. "Ya... kalau ibu gak percaya, bisa tanya aja ke anak-anak yang ada dikelas." Ucap Bina lagi, lalu dengan lancangnya ia berdiri dan keluar dari ruang guru. Guru yang tadi memanggil Bina pun mau tidak mau mengejarnya. Sesampainya dikelas, seluruh mata langsung tertuju padanya. "Yang merasa di ganggu Nofal angkat tangan!" Teriak Bina, Guru yang tadi mengejar Bina sudah ada didepan pintu. "Cepetan!" Bentak Bina, hampir setengah dari murid ada dikelas iti, termasuk Teguh mengangkat tangan. Guru itu pun segera memanggil anak-anak yang mengangkat tangan itu ke ruang guru untuk memberikan kesaksian. Sebelum keluar, Teguh mengacungkan jempol pada Bina. Bina yang tadinya seperti preman itu berubah menjadi tersenyum malu-malu. *** Setelah sidang yang menegangkan, akhirnya Nofal, siswa yang berkelahi dengan Bina tadi. Dikenakan skors satu minggu. Kini Bina dan Teguh sedang berjalan pulang, mereka hanya diam selama perjalanan. Hanya tangan mereka saja yang berinteraksi. Tak lama mereka sampai didepan gerbang rumah milik Teguh, tapi Teguh masih tetap berjalan dan akhirnya berhenti didepan gerbang rumah Bina. Mereka saling berhadapan sekarang. "Maaf ya." Ucap Bina. Lalu ia memeluk erat pujaan hatinya itu. Teguh hanya diam, dia bingung. Cukup lama mereka berpelukan akhirnya Bina melepas pelukannya. "Maaf buat apa?" Tanya Teguh. Bina hanya tersenyum dan segera masuk kedalam rumahnya meninggalkan Teguh dengan pertanyaannya. *** Sepi, seperti biasa. Bina sendirian, Kedua kakaknya sedang kulian dan sekolah. Sedangkan Ibu dan Ayahnya sedang bekerja. Mungkin ini juga menjadi faktor mengapa Bina dewasa sebelum waktunya. Ia biasa melakukan segalanya sendiri, untuk ukuran anak umur sembilan tahun itu terkadang sangat berat baginya. Ia sebenarnya ingin sekali berbincang bersama seluruh anggota keluarganya dalam satu ruangan. Namun, Ibunya berangkat pagi pulang sore, Ayahnya berangkat subuh pulang malam. dan Kedua kakanya memiliki kehidupnya sendiri yang membuat mereka jarang berbincang. Jadi hanya Teguh yang bisa ia gunakan untuk bersandar dan menceritakan keluh kesahnya, ia tidak tahu apa yang akan terjadi jika persahabatan mereka itu kandas begitu saja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD