bc

The Memories You Made

book_age4+
587
FOLLOW
3.1K
READ
love-triangle
family
friends to lovers
independent
drama
sweet
bxg
first love
friendship
secrets
like
intro-logo
Blurb

Dan dari Juornal of Memory itu, Annora memberitahukanku bahwa aku adalah salah satu impiannya sebelum dia benar-benar pergi, meninggalkan banyak kenangan yang belum sempat kita lakukan bersama, sekaligus membongkar seluruh rahasia di antara kami berdua.

chap-preview
Free preview
1. A Thief
Nobody know about Why and when we are die But, everyone should know that I'm giving my love for you So please don't ever give up Promise me .... Annora Almeta *** "Darka Sagraha!" Suara itu mengagetkanku ketika aku sedang sibuk-sibuknya meringkuk di bawah meja, mengambil pita berwarna biru yang tidak sengaja terjatuh, kepalaku pun akhirnya turut menjadi korban. Untung saja tidak benjol, berdarah apalagi gegar otak. Suara bariton cenderung bass dengan logat suku bugis barusan, memang sudah terdengar familier dan menjadi ciri khas di telingaku beberapa bulan terakhir ini. Dia Boss Benji, nama aslinya Benjamin Saputra, berdarah separuh betawi dan separuh bugis, memiliki aliran fashion ala koboy, dan menjadi boss kesayangan Toko Bunga Dahlia. Jangan pikir bahwa Dahlia adalah nama istri, adik, ibu, anak perempuan atau bunga favorit pria berumur empat puluh tahun itu, karena sebenarnya nama Dahlia diambil karena Boss Benji tidak kreatif dalam menamai sebuah brand. Karina teman kerja di shift malam sekaligus seniorku di sini pernah mengatakan bahwa, dulu istri Boss Benji sempat memberikan banyak masukan nama untuk toko bunga mereka, tapi ditolak begitu saja. "Kamu enggak dengar bunyi telepon yang terus-terusan manggil buat diangkat, eh?!" tanya Boss Benji dengan nada tinggi kurang lebih dua oktaf. Aku enggak tahu, hanya asal ngomong, sejujurnya tidak paham musik dan buta nada, tapi setiap kali berbicara Boss Benji memang selalu memiliki nada khas naik-turun. "Aku enggak bisa bergerak cepat di bawah sini. Boss tahu bahuku lebar, 'kan? Lagian bukannya tadi ada Putri di sana. Dia lagi main Hp, tuh." Sambil memonyongkan bibir ke kanan dekat jajaran ember berisi bunga-bungaan yang di atasnya ditempel meja gantung khusus telepon, aku berusaha membela diri mengatakan bahwa Putri, anak semata wayang Boss Benji memang memiliki posisi lebih dekat dengan telepon. Enggak mungkin 'kan dia enggak dengar? Masalahnya sofa tempat cewek itu duduk juga berdekatan dengan meja telepon. Seenggaknya dia cuma butuh satu lompatan kecil untuk sampai. "Saya enggak ada lihat, kamu kalau mau bohong liat-liat situasi dulu dong. Astaga! Gimana kalau ternyata telepon itu bernilai ratusan ribu atau jutaan rupiah?!" Lagi-lagi suaranya meninggi, pasti bakal menarik perhatian beberapa pelangganku. Jangan sampai mereka mikir kalau aku karyawan enggak becus. "Kalau memang begitu pasti bakalan ada telepon kedua. Dahlia 'kan selalu menjadi toko bunga terbaik dengan pelayanan selaras surga," kataku, sengaja mengucapkan slogan toko yang menurutku berlebihan, tapi lumayan provokatif. Telepon berbunyi lagi dan saat itu senyum bangga mengembang di wajahku. Bagaimana tidak, tebakan asal tadi ternyata benar jadi Boss Benji enggak bakal ngomel-ngomel lagi. Cukup sudah sejak tadi pagi aku dengar ceramahnya karena terlambat datang ke toko, akibat mendapat amanah menjadi panitia pensi di kampus. Semalam adalah puncak sekaligus penutupan acara, jadi terpaksa harus lembur untung Nenek enggak kunci pintu. "Mas karangan bunganya sudah sampai mana?" "Eh, sebentar lagi," kataku hati-hati agar tidak kejeduk kedua kali. Kolong meja ini begitu sempit dan terlalu menjorok ke dalam. Benar-benar enggak sesuai dengan ukuran bahuku, jadi anggapannya aku seperti masuk ke lubang semut. "Tinggal pasang pita ini aja, kok." Pelanggan bule itu tersenyum ramah, masih duduk tenang di kursi depan etalase yang berisi pernak-pernik penghias karangan bunga, persis di depanku. Untunglah kukira dia bakal membatalkan pesanannya, karena kalau itu sampai terjadi Boss Benji bakalan mengomel. Namun, serius, deh! Dilihat-dilihat lagi itu cowok bule keliatan prihatin sama nasibku barusan. Yaiyalah, dia 'kan dengar perdebatan kecil antara karyawan dan boss tadi. Meninggalkan rasa kepo terhadap cowok bule itu, aku kembali fokus dengan kerjaanku. Enggak boleh bikin pelanggan menunggu lama. Itu mottonya yang mana kalau bisa bikin karangan cantik, rapi, dan cepat bakalan dapat tip dari pelanggan, apalagi jika pelanggannya orang-orang bule. Tapi bukan berarti orang lokal pelit, ya. Setelah puas dengan hasil rangkaian buket bunga matahari yang kupikir tidak nyambung warna biru—tapi pelanggan tetap memaksa, aku segera memberikannya kepada mas bule. "Mau dibungkus atau begini aja?" Cowok bule itu menghentikan akitivitasnya secara tiba-tiba. Dia lagi video call sama cewek yang bule juga, mungkin mereka pacaran atau sudah menikah lalu tinggal lama di sini. Bahasa Indonesianya itu, loh, fasih banget. "No, thank you," kata si bule. "Oke, tiga ratus ribu, Sir." Si bule ngeluarin kartu atm lalu meletakkan benda tersebut di atas meja etalase. Aku sempat mengernyit, ya emang Dahlia sudah jadi toko besar, tapi kami belum melayani pembayaran lewat kartu. Boss Benji masih sangat tradisional, bahkan pembayaran lewat pulsa pun dia tolak, padahal lumayan 'kan untuk mempermudah anak-anak muda yang mau pesan online, tingggal beli pulsa sama ibu kantin, tetangga, abang-abang warung kelontongan atau teman tanpa perlu ribet cari mesin atm. Alih-alih aku bisa ikutan bisnis jual pulsa di kampus, sambil promosi ke teman-teman buat beli bunga di Toko Dahlia. Anggapannya dapat untung banyak; untung jualan pulsa, untung dari jasa antar bunga ke kampus, dan gaji dari kerjaanku di toko, belum lagi ditambah kalau ada tip dari pelanggan. Lain waktu aku bakal ngerayu Boss Benji lagi tentang hal itu. "Mohon maaf, kita belum punya layanan kartu. Ada uang—" Kalimatku tiba-tiba terputus ketika melihat salah satu objek bergerak yang masuk ke toko, seperti kucing di pasar sedang cari ikan. Bukan mencari, tapi mungkin .... Ayam buntal! Bukan mungkin lagi, tapi iya. Aku segera keluar dari ruang kerjaku mencoba mengejar si kucing pencuri—alih-alih seorang gadis berambut cokelat karamel, bertubuh mungil—yang dengan lincahnya mencuri beberapa tangkai bunga matahariku. Aku tidak tahu berapa banyak, tapi mungkin seperempat dari bunga matahari yang berada di dalam ember. Pertanda bahwa siang hari dengan kehangatan Kota Bandung, di Toko Bunga Dahlia akan menjadi satu-satunya tempat bernuansa neraka. Boss Benji akan marah besar. Semoga uang gajiku tidak disinggung. Sekilas melirik ke arah mas bule yang tampak kebingungan karena pergerakan tiba-tibaku barusan, ia jadi turut bertanya dengan nada khawatir, tapi pakai Bahasa Inggris dan aku belum mengerti banyak dengan bahasa itu. Alhasil dia jadi terabaikan. Poor cowok bule. Aku tidak punya waktu untuk bertanya tentang apa yang kamu khawatirkan karena masa depanku sedang terancam. Telor jamuran! Badanku tersangkut di pintu keluar yang hanya berupa celah sisa etalase. Terlalu kecil. Bahkan Boss Benji dan Putri pun harus memiringkan badan, sambil mengempiskan perut serta membusungkan d**a serata mungkin demi melewati celah ini. Masalahnya adalah, mengapa pria itu membeli barang tanpa melihat keadaan toko? Begini 'kan aku jadi kerepotan juga, terlebih karena badanku tergolong besar untuk ukuran laki-laki Indonesia pada umumnya.  Sekarang aku jadi sadar bagaimana rasanya tikus-tikus malang di dapur nenek yang terjebak jebakan tikus. Mereka harus empet-empetan supaya bisa bebas dan itulah situasinya sekarang. "Sorry Sir, I need to go!" seruku, sebelum membuka pintu kaca berbingkai kayu, menyisakan bunyi lonceng yang cukup keras. "Emergency!" teriakku lagi, sambil berlari mengikuti si gadis pencuri itu. Larinya memang tidak cepat jika dibandingkan dengan lebar langkah kakiku. Kurang lebih gadis itu hanya berukuran sedada orang dewasa dengan tinggi seratus delapan puluh delapan centimeter (Jangan tanya yang kusebutkan barusan tinggi badan siapa, takut nanti dibilang congkak, tapi silakan mengira-ngira) jadi melihat situasi tersebut aku bisa menyusul dengan mudah. Seriusan deh, sebenarnya gampang banget ngejar cewek pendek berjarak sepuluh meter di depan sana, terlebih sekarang dia mulai melambat. Mungkin kecapean, tapi kalau trotoarnya seramai ini gimana bisa bergerak cepat. Raksasa siput! Aku jadi kesulitan menyelinap di antara orang-orang yang lalu-lalang di trotoar, sambil main Hp. Ini sudah bukan musimnya berburu pokemon, 'kan? Aku kesal, nyaris putus asa dan semakin murka ketika cewek itu menoleh ke arahku, sambil menjulurkan lidah seperti kuda habis makan rumput lalu membersihkan gigi. Dia sungguhan menantang orang yang salah. "Woi! Aku enggak bakal nyuruh kamu berhenti karena ini bukan sinetron, tapi aku pasti langsung nyeret kamu ke—" Sesuatu berhasil menarik perhatianku, hingga harus berhenti berlari dan berteriak. Satu bunga matahari tergeletak di atas bangku pinggir jalan yang diduduki seorang wanita beruban. Dia menoleh ke arahku. Aku tersenyum, sedangkan di waktu bersamaan beliau menunjuk ke arah benda yang sejak awal sedang kuperjuangkan. "Gadis tadi sengaja meletakkannya di sini lalu menitipkan pesan, supaya kamu mencari bunga yang lainnya. Dia akan mengembalikannya secara terpisah seperti berburu harta karun," kata ibu tua, sambil menyembunyikan bibir keriput di balik sapu tangan merah jambu, lalu terbatuk. Aku memutar mata. Siang-siang gini saat perut keroncongan malah dibuat gemas. Apa untungnya, sih melakukan hal ini? Apa dia sengaja modus? Fix pertanyaan terakhir itu jawabannya enggak mungkin. Masalahnya aku bukan artis, populer di kampus pun masih dalam mimpi, jadi kesimpulan dia cuma iseng. Oke, akan kuladeni, daripada Boss Benji ngamuk dan gajiku dipotong. Buru-buru kukatakan terima kasih dan segera menatap lurus ke depan. Gadis itu melakukan gerakan gelombang dengan tangan kiri—seperti tarian layangan putus—sambil tersenyum, kemudian kembali menjulurkan lidah kudanya. Secara terang-terangan dia menyuruhku mengejar, terlihat dari lambaian tangan yang beriringan dengan embusan angin, menerbangkan daun-daun kering plus debu di sepanjang trotoar. "Kalau sampai dapat, bukan cuma bunganya yang kubawa ke toko, tapi kamu juga." Tekadku semakin kuat kemudian segera melangkah lebar, kembali berusaha membelah lautan manusia yang entah ada angin apa jadi doyan jalan kaki. Satu hal yang harus kuingat saat ini adalah, bahwa mas bule pasti akan menjadi salah satu topik omelan Boss Benji selain meninggalkan toko tanpa izin dan membuat beberapa bunga jadi hancur karena dibawa berlari. Aku enggak masalah, selama kucing pencuri yang selincah kuda liar itu bisa kubawa ke toko buat dijadikan tersangka utama.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Because Alana ( 21+)

read
360.6K
bc

Possesive Ghost (INDONESIA)

read
121.4K
bc

Just Friendship Marriage

read
507.8K
bc

BRAVE HEART (Indonesia)

read
91.0K
bc

CUTE PUMPKIN & THE BADBOY ( INDONESIA )

read
112.5K
bc

Mendadak Jadi Istri CEO

read
1.6M
bc

MY DOCTOR MY WIFE (Indonesia)

read
5.0M

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook