1. Tekad untuk Merantau

1618 Words
Cowok itu berjalan gontai dengan pikiran yang dipenuhi oleh sejumlah pertanyaan. Pertanyaan mengenai apa, kenapa dan bagaimana bisa Tita yang notabenenya merupakan kekasih sekaligus calon istrinya sampai tega hati melakukan perbuatan senista itu? Lalu, apakah hal tersebut baru perempuan itu lakukan satu kali atau malah sudah sering tanpa sepengetahuan dirinya selama masih tinggal di kobong pesantren? Bagaimana bisa ia setega itu? Bukankah selama ini Tita sangatlah mencintai dirinya? Bahkan, perempuan itu pun telah bersedia menerima pinangannya meskipun baru hanya ditanyai melalui pesan percakapan bukan? Lantas, kenapa sekarang Tita mendadak berubah pikiran. Padahal, ia sudah sangat senang ketika dirinya dinyatakan lulus dari sekolah pesantrennya dengan nilai tertinggi dan meraih juara utama. Rencananya bahkan sudah matang, setelah lulus sekolah, ia mau meminang Tita sebagai pendamping hidupnya kelak. Mengenai nafkah, ia bahkan sudah berencana untuk ikut mengelola petakan sawah yang dimiliki oleh leluhur ayahnya selama ini. Malah, orangtuanya pun sudah setuju dan bersedia untuk menikahkan dirinya bersama sang kekasih. Sayang, saat dirinya sudah memiliki ide untuk memberikan kejutan pada Tita, justru yang terjadi malah dirinya sendiri yang dikejutkan oleh perlakuan Tita. "Tita mau kita putus, Alvin...." Begitulah perempuan itu berkata. Refleks, cowok berambut agak gondrong dengan warna hitam lebat itu pun lantas mendesah kasar. "Salahku sama kamu apa sih, Tita. Dengan sengaja aku ingin nikah sama kamu, eh malah aku dikhianatin!" gumamnya meratapi nasib. Di tengah hatinya yang hancur, ia pun terus melangkah tak tentu arah. Bahkan, cowok itu pun sudah mengayunkan kedua kakinya menjauhi rute menuju rumahnya sendiri. "Alvin! Hoy, Alvin!" Tiba-tiba, sebuah suara terdengar memanggil namanya. Sontak, hal itu pun membuat cowok berwajah ganteng itu lantas menoleh ke sumber suara. "Anjrit, beneran Alvin ini?" teriak seorang pemuda bertubuh tambun tersebut. Sambil memamerkan cengiran lebarnya, ia pun kini sudah berlari kecil menghampiri sosok yang dipanggilnya barusan. "Waduh, aku pikir kamu bukan si Alvin. Tapi ternyata beneran si Alvin Sanusi. Apa kabar?" lontar pemuda tambun itu spontan memeluk tubuh Alvin. Mengingat tubuhnya lebih gemuk dari dirinya, ia pun hampir terjengkang seandainya ia tidak pandai-pandai menahan topangan kakinya yang menyentuh tanah. "Gimana sekolahnya? Sudah lulus?" tanya si tambun seusai puas memeluk tubuh kurus Alvin. Untuk sesaat, Alvin terdiam. Alih-alih menjawab, ia pun hanya menatap pemuda tambun tersebut dengan kernyitan di dahinya. "Tunggu, tunggu. Kamu siapa sih?" tanya cowok itu menatap aneh pada sosok yang ada di hadapannya kini. Mendengar Alvin yang tak mengenalinya, si tambun pun memelotot horor. Sontak, ia bahkan memukul lengan Alvin seraya berkata, "Lo lupa lagi sama gue hah? Gue Agus. Zaman dulu aku sama kamu itu temen sepermainan. Hanya semenjak kamu masuk pesantren, langka sudah aku gak pernah ketemu sama kamu!" Sementara itu, Alvin masih tak merespon. Diam-diam dia pun mengamati wajah si tambun yang baru saja mengaku bernama Agus tersebut. "Tunggu, tunggu. Maksudnya, kamu Agus Tarmidi? Anaknya mendiang Paman Oleh Tarmidi?" lontar Alvin begitu rinci. "Nah itu kamu inget!" seru Agus memukul lagi lengan Alvin. Saking kuatnya pukulan Agus, Alvin pun sampai meringis dan lekas mengusap-usap bagian yang terkena pukulannya. "Gimana pesantrennya? Lulus?" tanya Agus lagi mengulang. "Alhamdulillah, Gus. Baru aja kemarin aku diwisuda," ujar Alvin memberi tahu. "Wah, hebat dong. Selamat ya selamat!" sorak Agus sambil menyalami. Kemudian di tengah obrolan mereka, seorang wanita paruh baya pun muncul menghampiri keduanya. "Agus, ada di sini ternyata kamu!" lontarnya begitu nyaring. "Eh iya Bu, ini kebetulan saya ketemu sama temen. Gimana Bu, ada yang perlu dibantu?" sahut Agus mendadak berbicara lembut. "Banyak tuh di warung. Buruan! Sudah dicari sama si Bang Buloh," ujar wanita itu menginformasikan. "Siap, Bu. Sekarang saya ke sana. Mau pamitan dulu ke temen...." balas Agus begitu sopan. Kemudian, setelah mengangguk mengiyakan, wanita itu pun kembali melengos meninggalkan Agus dan temannya. "Duh, Vin. Bukan gak kangen aku sama kamu tuh. Tapi, berhubung aku harus beresin warung yang sudah menjadi tanggung jawabku, mau gak mau aku pamit dulu ya!"" tutur Agus benar-benar berpamitan. "Oh iya oke, Gus. Lain kali kita ngobrol-ngobrol ya," sahut Alvin memberi izin. "Siap lah bisa diatur. Kalo gitu, aku pamit ya, Vin. Assalamualaikum!" seru Agus sembari mengangkat satu tangannya. "Walaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh," balas Alvin melakukan hal serupa. Selepas itu, Agus pun melengos pergi meninggalkan Alvin yang kembali seorang diri. Untuk beberapa saat, Alvin hanya berdiri di posisinya saat ini. Tanpa disadari, rupanya ia sedang berada di pinggir sawah. Entah bagaimana caranya ia sampai bisa berada di sana, padahal seharusnya, Alvin hendak berjalan menuju pulang setelah meninggalkan rumah Sarip tadi. Mengingat nama Sarip, tiba-tiba Alvin pun mengumpat. "Keparatt!" Cowok itu mendecak kesal. "Gara-gara kelakuan si Sarip sama si Tita yang kayak setan, gue jadi nyasar ke sawah. Untung si Agus datang dan manggil, kalo enggak ... Ada kemungkinan jatuh kali gue ke sawah!" gerutunya misuh-misuh. Sejurus kemudian, ia pun memutar balik arah tujuannya sambil mengembuskan napas kasar di tengah langkah penuh entakannya. *** "Alvin, kenapa sih kamu tiba-tiba mau ke kota?" tegur Wati. Dia adalah wanita--berusia kurang lebih 40 tahunan--yang sudah melahirkan Alvin ke dunia ini. "Gak apa-apa, Ambu. Mau merantau saja Alvin tuh. Sekalian mau cari kerjaan aja di kota," ujar Alvin menjawab pertanyaan ibunya. Lantas, kini pun Deris menimbrung. Tampaknya, dia baru saja pulang dari mesjid. Terlihat dari sarung dan kemeja koko yang melekat di tubuhnya. "Bukannya kamu mau nikah sama si Tita? Kenapa tahu-tahu sekarang minta izin mau ke kota. Gak lagi oleng kamu?" lontar Deris geleng-geleng kepala. "Ah mau dibatalin aja nikahnya, Bah...." tutur Alvin memutuskan. Sontak, ucapannya pun membuat pasangan suami istri itu menoleh kompak dan menatap kaget ke arah anak sematawayangnya tersebut. "Batal? Kenapa sih kamu. Minggu kemarin buru-buru minta dilamarin ke orangtua Neng Tita. Kenapa sekarang tiba-tiba mau dibatalkan? Sakit beneran kamu?" ujar Deris tak habis pikir. Selain Deris, Wati pun kini beringsut mendekati putranya. "Vin, ada apa? Ayo cerita sama Ambu. Jangan membingungkan Ambu sama Abah. Ayo jujur yang sebenarnya. Ada apa sampe kamu membatalkan gitu?" urai Wati bertanya-tanya. Alvin diam. Dia bisa saja mengutarakan segala hal yang ia lihat di rumahnya Sarip kepada kedua orangtuanya. Tapi jika dipikir ulang, Alvin tidak mau jika sampai mereka syok setelah tahu perbuatan Tita seliar apa. Alvin tahu, memendam dan menyembunyikan fakta yang ia lihat dengan mata kepalanya sendiri itu tidaklah benar. Akan tetapi, Alvin merasa ini adalah keputusan yang sangat tepat untuk saat ini. Biarlah kedua orangtuanya menganggap Alvin labil dan tidak konsisten, yang penting, Alvin hanya ingin pergi dari desanya demi meninggalkan semua kenangan buruk maupun bahagia yang selama ini sempat dilaluinya. "Alvin mikir lagi, Ambu, Abah. Alvin ini masih muda. Berasa aneh kalo tiba-tiba aja Alvin nikah. Memang, kemarin-kemarin Alvin tergila-gila sama cinta Alvin ke Tita. Tapi setelah dipikir lagi, ternyata Alvin masih muda. Seharusnya usia segini tuh digunakan untuk mencari pengalaman yang banyak, bukan malah terburu-buru menikah. Itu sebabnya banyak yang cerai itu karena apa. Karena ya itu, main belum kenyang tapi nikah sudah dilakukan. Alvin gak mau jika sampai seperti itu, Ambu, Abah...." papar Alvin panjang lebar. Membuat kedua orangtuanya lantas saling berpandangan penuh keheranan. Alvin tahu, mereka pasti tidak akan percaya dengan begitu mudahnya. Akan tetapi, mau bagaimana lagi? Toh Alvin pun belum bisa menceritakan alasan yang sesungguhnya. Maka dari itu, lebih baik Alvin menghindar saja terlebih dahulu. Setelah siap dan tiba saatnya, Alvin pun akan bercerita kepada kedua orangtuanya tersebut. *** Keesokan harinya, Alvin sudah siap dengan ransel berisi beberapa potong pakaian dan sejumlah barang yang wajib dibekalnya. Setelah tadi malam berupaya membujuk ibu dan ayahnya, pada akhirnya mereka pun memberikan izin kepada Alvin. Dengan catatan, Alvin harus datang dulu ke rumah Tita dan berbicara pada orangtua gadis itu tentang tekadnya yang sudah bulat ini. Tentu saja Alvin setuju. Sebagai lelaki sejati, ia tidak akan pergi begitu saja tanpa berpamitan pada orangtua sang gadis walaupun ia sudah tahu bahwa Tita bukanlah seorang gadis lagi. "Permisi, Assalamualaikum!" seru Alvin mengucap salam. Untuk sesaat, ia pun menghentikan gerakan tangannya yang mengetuk pintu sembari menunggu seseorang datang membukakan pintu untuk dirinya. "Assalamualaikum!" ulang Alvin lebih kencang. Ia harap, salah satu dari penghuni rumah segera muncul dan menjawab salam yang Alvin ucapkan. Hingga tak lama kemudian, harapan Alvin pun dikabulkan. Ia mendengar suara langkah kaki dari dalam sana. Setidaknya, Alvin akan berbicara langsung pada intinya. Ia hanya butuh berpamitan dan mengemukakan alasannya saja bukan pada kedua orangtua Tita. Setelah itu, barulah Alvin bisa benar-benar pergi dari desa tempat tinggalnya tersebut. "Walaikumsal-Alvin?" pekik seseorang yang baru saja muncul dari balik pintu. Melihat Tita yang ternyata membukakan pintunya, seketika Alvin pun terkejut. Dalam hatinya, Alvin meratap, kenapa harus Tita yang membukakan pintu? Kenapa tidak langsung dengan ayah atau ibunya saja agar Alvin tidak harus banyak berbasa-basi terlebih dahulu. Sedangkan Tita, dia tampak jauh lebih percaya diri. Seakan tak mempunyai dosa, ia berdiri angkuh sambil melipat kedua tangannya di d**a. "Ada apa kamu ke sini?" tanya Tita menatap sinis. Sejenak, Alvin pun berdeham. "Kalo Ibu sama Bapak, ada?" tanyanya berusaha terlihat tenang. Tapi meski begitu, tetap saja Alvin tak bisa menyembunyikan perasaannya. "Mau apa cari Ibu sama Bapak?" balas Tita malah bertanya balik. "Ada perlu. Ada tidak?" "Gak ada. Lagi ke rumah Bi Sari. Mau apa sih? Serius amat kayaknya," tukas Tita begitu sewot. "Oh iya deh kalo gitu. Salam ya sama Ibu dan Bapak. Bilangin kalo sudah pulang, Alvin mau ke luar kota. Mau cari pekerjaan biar banyak uang kayak si Sarip," ujar Alvin setengah menyindir. Sontak, hal itu pun membuat Tita tertohok untuk beberapa saat. Lalu, di sela Tita yang belum merespon, Alvin pun kembali berkata, "Semoga langgeng ya sama si Sarip. Maaf, Alvin gak bisa kasih harta dan benda kayak si Sarip. Semoga selalu bahagia. Cuma hati-hati, karma akan selalu ada bukan? Saat waktunya karma datang, Alvin titip sama Tita, yang kuat dan intropeksi diri. Hanya itu! Alvin pamit ya. Assalamualaikum...." papar Alvin menyudahi. Sedetik kemudian, ia pun lekas melenggang meninggalkan Tita yang masih berdiri termangu dengan wajah yang berubah tegang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD