Prolog

571 Words
Pintu di hadapannya telah ia buka dengan paksa. Menimbulkan bunyi debuman khas yang cukup berhasil mengejutkan sepasang manusia tak berbusana di atas ranjang sana. Sementara itu, pemuda jangkung yang kini tengah berdiri di ambang pintu kamar tersebut pun hanya mampu mematung tanpa bisa berkata-kata. Dengan mata kepalanya, ia melihat kekasihnya sedang berc*mbu liar bersama teman karib yang selama ini selalu dipercayanya. "Alvin!" seru suara perempuan yang sedang berada di bawah kungkungan lelaki lain itu. Seakan tak merasa malu apalagi menyesal, si perempuan justru malah dengan santai menarik diri dari posisinya setelah si lelaki beranjak dari atasnya. "Sarip," geram pemuda bernama Alvin itu menatap tajam. Lalu tanpa diduga, ia pun kini telah beringsut mendekat sekaligus menerjang teman karibnya tersebut tanpa mengenal ampun. "Astaga, Alvin! Apa-apaan sih kamu?" jerit si perempuan menggunakan bahasa daerahnya. Selepas melilitkan selimut di sekujur tubuhnya, ia pun segera bergegas untuk menghalangi Alvin yang hendak kembali meninju Sarip. "Lo udah berani khianatin gue, Sarip! Gue bunuh juga lo sekalian," lontar Alvin penuh emosi. Akan tetapi, saat baru saja ia hendak menghantamkan kepalan tangannya ke muka Sarip, dengan cepat si perempuan pun menjadikan dirinya sebagai tameng tepat di hadapan Sarip. Refleks, Alvin pun menghentikan gerakan tangannya yang menggantung di udara. Untuk sesaat, pandangannya pun beradu dengan sepasang iris mata cokelat gelap milik si perempuan. Tanpa sadar, ia pun mulai mengenang beberapa momen indah nan sederhana yang sempat dilaluinya dulu bersama sang kekasih. Sayang, kekasihnya telah berkhianat dan Alvin tidak bisa terima akan perlakuannya itu. "Ngapain kamu halang-halangin aku, Tita?" tegur Alvin dengan mata yang memerah. "Kamu yang ngapain? Kenapa harus main pukul sih?" balas perempuan bernama Tita itu menatap berani. Dalam sekejap, Alvin pun menurunkan kepalan tangannya yang tadi sudah siap ia layangkan ke wajah Sarip. Sialnya, justru Tita malah membela cowok itu dibanding dirinya yang notabene adalah kekasihnya sendiri. Dalam beberapa detik, suasana terasa sepi dan begitu tegang. Alvin yang melihat Tita yang sedang memberikan perhatian pada Sarip pun hanya bisa menghela napas gusar di sela kesakitan hatinya yang mendera. "Apa yang sebenernya terjadi sama kamu, Tita?" gumam Alvin bertanya. Setelah mencoba untuk mengendalikan dirinya, kini Alvin pun menatap Tita dengan sorot sendunya. Awalnya Tita tak menjawab. Tapi di detik berikutnya, sebuah gumaman pun tercetus nyata dari mulutnya. "Tita mau kita putus, Alvin...." Dalam sekejap, jantung Alvin pun serasa dicopot paksa dari tempatnya. Membuat air mata meluruh begitu saja dari sudut matanya tanpa bisa dicegah. Jangan hujat Alvin hanya karena dia adalah seorang lelaki. Memangnya kenapa? Lelaki juga manusia yang bisa tersakiti dan menangis bukan? Lalu, apa salah jika Alvin sekarang sedang meluapkan kesakitan hatinya dengan cara menangis? "Ya, Alvin ... Tita mau kita putus. Tita sayang sama Sarip, dan Tita hanya akan nikah sama Sarip," celetuknya menyakitkan. Lagi-lagi menyebabkan d**a Alvin seakan baru saja dilempari bongkahan batu tak kasatmata. "Lo denger sendiri kan apa yang udah diomongin sama si Tita? Udah deh, Vin ... Mending lo balik sana! Gangguin aktivitas gue aja lo dateng-dateng," ujar Sarip mengusir. Lalu, ia pun lekas menggiring Tita untuk pergi dari kamar tersebut dengan melewati tubuh Alvin yang masih membeku di tempatnya. "Apa ini, Tuhan? Rasanya begitu sakit sekali hatiku. Tita yang aku bangga-banggakan ternyata malah memilih si Sarip? Kenapa? Mentang-mentang si Sarip kaya raya gitu? Duh Ya Tuhan, memangnya harta akan dibawa mati?" racau Alvin dalam kesedihannya. Sejurus kemudian, ia pun memilih untuk pergi melengos meninggalkan rumah Sarip yang menjadikan titik awal dari hilangnya kepercayaan Alvin terhadap seorang wanita dan teman dekatnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD