“Em, biasa satu, ya.” Shandy Gobel berdiri di hadapan Emily yang hari itu bertugas di bagian concessions. Emily paham apa yang diminta oleh Shandy dan langsung mengambil wadah popcorn ukuran sedang lalu memasukkan popcorn asin ke dalamnya.
“Ini, Pak.” Emily menyerahkan popcorn itu.
“Sudah berapa kali kubilang jangan panggil aku bapak? Kamu membuatku terasa sangat tua.” Shandy mengambil setangkup popcorn dan memasukkannya ke dalam mulut.
“Bapak kan memang sudah tua,” sahut Emily lalu tertawa melihat mata Shandy yang membelalak.
Shandy Gobel adalah Direktur Operasional Jocom Group sekaligus sepupu jauh Andromeda. Tugasnya adalah memastikan setiap tenant di dalam mall yang berada di bawah jaringan perusahaan Jocom Group beroperasi dengan optimal. Tidak terkecuali bioskop tempat Emily bekerja.
Shandy yang membantu Emily mendapatkan pekerjaan di bioskop tiga tahun yang lalu. Saat itu ayah Emily baru saja meninggal karena diabetes. Pada suatu acara perusahaan, saat Christof menjemput Andromeda di sebuah hotel, dia tidak sengaja mendengar percakapan Andromeda dan Shandy tentang rencana merekrut karyawan tambahan untuk bioskop mereka.
“Bawa CV-nya padaku besok. Aku akan memprioritaskan dia.” Ujar Shandy saat Christof mengatakan bahwa dia memiliki seorang keponakan yang butuh pekerjaan karena baru saja kehilangan ayahnya.
Shandy Gobel-lah yang mewawancarai Emily dan langsung memintanya bekerja keeskokan harinya. Dia melihat kegigihan dan semangat Emily sehingga tanpa ragu langsung menerima gadis itu.
“Terimakasih banyak, Pak. Aku tidak tahu bagaimana cara membalas kebaikan Anda.” Setelah wawancara dan dinyatakan lulus tes, Emily tampak sangat bahagia.
“Balas saja dengan popcorn asin medium,” sahut Shandy.
“Eh?” Emily tidak begitu paham maksud Shandy ketika itu, namun sejak saat itu setiap kali Shandy melakukan supervisi ke bioskop tempat Emily bekerja, dia akan selalu meminta popcorn asin medium pada gadis tersebut.
Emily mengamati Shandy yang masih asik mengunyah popcorn. Shandy Gobel jelas masih muda. Dia berusia tiga puluh lima tahun, tapi penampilannya yang segar dan ramah membuatnya tampak jauh lebih muda dari usianya.
“Bagaimana kuliahmu, Em?” tanya Shandy membuat Emily sedikit gelagapan karena terpergok tengah mengamati wajah Shandy.
“Tahun depan rencananya aku wisuda. Saat ini sedang susun skripsi,” jawab Emily.
“Wah, hebat sekali! Setelah itu kamu akan jadi seorang sarjana Teknik ya?” Shandy sedang tidak berbasa-basi dengan pujiannya terhadap Emily. Dia mengucapkan itu dengan tulus. Shandy sangat kagum dengan semangat Emily untuk bekerja dan menabung demi membiayai kuliahnya. Emily mengambil kuliah untuk karyawan yang sebagian besar dilangsungkan pada sore hingga malam hari sehingga tidak mengganggu jadwal kerjanya di bioskop.
Emily mengangguk antusias. “Semua ini berkat Bapak Shandy Gobel.” Emily sengaja menekankan kata ‘bapak’ demi melihat Shandy kembali bersungut-sungut.
“Saat sudah sarjana nanti, kamu akan melamar ke perusahaan yang membayarmu lebih tinggi dan bioskop ini akan kehilangan karyawan yang sangat berdedikasi.”
“Ah, Bapak bisa aja!” seru Emily. “Tidak perlu dedikasi untuk bekerja di sini. Hanya perlu tenaga karena sebagian besar tugasnya adalah membersihkan ruang teater.”
Shandy Gobel kembali terbahak mendengar lelucon Emily. “Oke, sampai jumpa ya. Aku mau memeriksa keadaan di dalam dan sekalian bertemu dengan managermu. Sampaikan salamku untuk ibumu dan Rei,” katanya kemudian.
Shandy Gobel telah berbalik meninggalkan Emily, namun gadis itu terus memperhatikan punggung Shandy hingga sosoknya menghilang ke dalam ruangan manager. Emily sangat tersanjung dengan sikap Shandy. Dia adalah seorang petinggi perusahaan, namun dia sangat humble dan mau menyapa pegawai rendahan seperti dirinya. Dia bahkan mengingat nama adik Emily.
“Kamu jatuh cinta padanya. Iya kan?” Seli bertanya dengan nada rendah namun cukup unntuk membuat Emily terlonjak.
“Ya, Tuhan Seli. Kamu bikin aku kaget!”
“Dan Shandy Gobel sepertinya juga tertarik padamu.” Seli, sahabat baik Emily sejak dia bekerja di bioskop, terus berbicara tanpa mempedulikan protes Emily.
“Jangan mengada-ngada!”
“Dia juga salah satu pemilik Jocom Group. Ibunya adalah seorang Jocom.”
Jocom Group adalah perusahaan keluarga yang telah berkembang demikian pesat. Sebagian besar saham perusahaan ini dimiliki oleh keluarga Jocom, sedangkan sebagian lainnya diperdagangkan di pasar saham dan dapat dibeli oleh masyarakat luas. Setiap anggota keluarga memiliki nama Jocom sebagai marga mereka. Sedangkan anak-anak perempuan Jocom yang telah menikah tidak lagi mewariskan marga itu kepada anak-anaknya. Untuk itulah, meski Shandy tidak lagi membawa marga Jocom, dia tentu saja tetap memiliki saham yang cukup besar di perusahaan ini. Ibunya adalah Fahria Jocom, anak perempuan pertama Albert Jocom.
“Kalau kamu searching di google nama Shandy Gobel, maka kamu akan lihat share saham yang dia miliki di perusahaan ini.” Seli mengutak-atik smartphone-nya lalu menunjukkannya pada Emily yang tampak tidak tertarik. “Tapi tentu saja saham terbesar adalah milik Ibu Sofia dan cucu satu-satunya, Andromeda Jocom.”
Emily bagaikan disambar petir saat mendengar nama Andromeda disebut. Dia kah yang dibicarakan oleh Paman Christof tadi malam? Dia kah yang sedang mencari istri?
“Andromeda?” gumam Emily.
“Iya, Andromeda. Astaga. Kamu tidak tahu dia?”
“Tahu kok.” Emily tidak berbohong. Dia sering mendengar nama Andromeda dari mulut pamannya.
“Tapi, apakah kamu tahu mana orangnya? Kamu tidak tahu, kan?”
Emily memandang sahabatnya itu dengan wajah memberengut. Apa pentingnya aku tahu yang mana Andromeda?
Selly memperbaiki letak kacamatanya lalu kembali mengutak atik layar smartphone-nya. “Meet The Most Eligible Bachelor in Town. Andromeda Jocom.” Selly membaca tajuk berita online di smartphone-nya. Lalu mengarahkan layar ponselnya itu pada Emily. “Lihat ini!”
Emily memandang foto seorang pemuda dalam balutan tuxedo yang ada di layar ponsel Seli. Pemuda dengan rahang kukuh dan hidung menjulang. Semua orang yang melihat akan setuju bahwa postur tubuhnya yang sudah proporsional itu dilatih dengan baik oleh pemiliknya. Tidak ada sedikit pun senyum di wajah pemuda itu. Dan menurut Emily yang paling parah adalah sorot matanya yang dingin dan terkesan angkuh.
“Eh, ada apa sih itu di depan sana ribut-ribut?” Emily belum selesai menilai foto Andromeda namun Seli memutuskan untuk memasukkan ponselnya ke dalam saku rok panjangnya. Matanya teralihkan ke arah kerumunan orang di depan pintu masuk bioskop.
Emily mengikuti arah pandang Seli. Tampak kerumunan orang yang didominasi gadis-gadis di dekat pintu masuk. Beberapa di antara mereka ada yang tampak histeris.
“Ada artis datang untuk promosi film mungkin,” gumam Emily yang dibalas dengan anggukan sekadarnya oleh Seli.
Kerumunan gadis-gadis di pintu itu terhalau oleh dua orang pria berbadan besar berpakaian serba hitam yang berusaha membuat jalan bagi orang di belakangnya. Saat kerumunan orang sudah berhasil dihalau, Christof muncul dan membuat Emily terperanjat.
“Paman?” Emily nyaris terpekik. Ada urusan apa pamannya datang ke bioskop? Apakah akan menemuinya? Apa istimewanya pamannya yang sudah tua itu hingga membuat gadis-gadis di bioskop histeris?
Dari belakang Christof, tiba-tiba seorang pemuda muncul menyeruak dari kerumunan diikuti oleh pekik histeria beberapa gadis. Christof tampak berbicara pada pemuda jangkung itu sambil menunjuk Emily di kejauhan. Sementara dua orang laki-laki berbadan besar dan berpakaian serba hitan yang sudah dipastikan adalah bodyguard terus membentengi pemuda tersebut dari usaha gadis-gadis yang mencoba mencoba mendekatinya.
“Astaga. Astaga! Apakah aku bermimpi? Bukankan itu Andromeda Jocom?” Seli tidak dapat menyembunyikan antusiasmenya.
Sementara Emily hanya berdiri terpaku memandang ke arah Andromeda yang balas menatapnya dengan sorot mata dingin. []