bc

Tell Me What You See

book_age16+
378
FOLLOW
1.5K
READ
brave
tragedy
no-couple
mystery
male lead
highschool
secrets
whodunnit
special ability
school
like
intro-logo
Blurb

Sagara Yasawirya (16 tahun), Kecelakaan yang menimpanya, tak sekadar merenggut penglihatan hingga dunianya berubah gelap. Tapi juga anggota keluarga yang akhirnya tewas dalam kecelakaan tragis tersebut. Membuat Gara menjadi sebatang kara.

Beruntung, ada keluarga Pamannya yang bersedia menerimanya.

Baru saja mencecap hangatnya kelurga baru. Sebuah peristiwa kembali merenggut tawa Gara.

Daniel, sepupunya, ditemukan tewas.

Pihak sekolah menyatakan, jika Daniel terpeleset dan akhirnya jatuh. Sayang, saat dilarikan ke rumah sakit, nyawanya tak lagi bisa terselamatkan.

Sebuah surat wasiat milik Daniel ditemukan. Pemuda itu ingin kedua matanya di donorkan untuk Gara.

Tapi, setelah Gara kembali bisa melihat, ada banyak peristiwa janggal yang menimpanya.

Terutama, saat Gara akhirnya bersekolah di sekolah Daniel. Setiap melihat tempat-tempat tertentu di sana. Tiba-tiba ada bayangan tentang Daniel yang menghantam pikirannya.

Sepupunya seolah memberi petunjuk, dan menceritakan, melalui penglihatan Gara yang kini memiliki matanya. Tentang masa-masa kelam yang di hadapinya di beberapa tempat di sekolah.

Hal yang kemudian membuat Gara bertekad, akan menguak misteri kematian Daniel. Apa benar hanya kecelakaan? Atau justru ... Sebuah kesengajaan?

chap-preview
Free preview
Prolog
BUK! "Aduh!" Gara mengerang, terkejut sekaligus merasakan sakit diperutnya yang terasa berat ditindih sesuatu. "ABANG ... BANGUN!"  Astaga ... Membuka mata secara paksa, Gara menelan kesal, saat mendapati cengiran lebar dari bocah perempuan yang menduduki perutnya. Dua gigi atasnya yang tanggal terlihat jelas saat gadis kecil itu tersenyum. "Ayo bangun!" Serunya lagi, kali ini sembari menarik-narik kerah baju yang dikenakannya. "Adek, jangan, nanti kausnya melar, diomelin Mama." "Makanya bangun! Tidur terus kayak Aurora. Abang nunggu di cium pangeran ya?" "Idih, sembarangan! Abang nunggu dicium putri dong, Dek." Tanpa memindahkan tubuh sang adik yang masih nyaman duduk di atas perutnya. Bahkan sesekali bergerak-gerak serampangan membuatnya meringis sakit. Gara merubah posisinya yang tadi berbaring menjadi duduk. "Ini hari libur, Abang capek, mau hibernasi. Ngapain bangun pagi-pagi?" Mencebik sebal, gadis kecil itu menyipitkan mata sembari bersedekap tangan. "Jadi Abang lupa?" Tanyanya dengan dagu terangkat tinggi. Alih-alih merasa terintimidasi, Gara justru gemas dan membuatnya mengigit pipi chubby sang adik. "Ih, Abang jorok! Kan belum sikat gigi, nanti kumannya nempel di pipi aku!" "A—aduh! Iya maaf, Dek, lepas! Sakit kepala Abang!" Meringis, Gara berusaha melepaskan tangan-tangan kecil sang adik, yang kini menjambak rambutnya. "Ya ampun ... Ditungguin kok malah sibuk berantem." Gara bernapas lega saat adiknya melepas jambakan. Menolehkan kepala ke sumber suara, ia dapati seorang wanita dewasa yang tengah bersandar di ambang pintu sembari bersedekap tangan. Menggelengkan kepala melihat tingkahnya dan bocah perempuan yang tengah merajuk. "Mama!" Turun dari pangkuan Gara, gadis itu berderap cepat menuju sang Mama yang dengan sigap menangkapnya yang nyaris tersandung.  "Hati-hati, Dek. Jangan lari-lari, nanti jatuh. Kalau jatuh bisa?" "Luka." "Kalau luka, nanti?" "Sakit." Gemas, ia beri ciuman di pipi chubby sang putri. Sebelum kemudian beralih menatap putranya yang masih tampak awut-awutan, menggaruk rambut sembari menguap lebar. "Abang, kalau nguap mulutnya ditutup. Nanti kelelawar lewat bisa masuk." Peringatnya, dengan menyisipkan sebuah gurauan. Meringis, Gara mengangguk sembari meminta maaf.  "Cepetan mandi, abis itu siap-siap sarapan, nanti langsung berangkat. Kalau terlalu siang bisa panas." "Memangnya mau kemana, Ma? Abang absen aja ya? Ngantuk banget, badan juga masih capek abis pertandingan futsal kemarin di sekolah." Terdiam sejenak, Anika tampak berpikir. Sejujurnya, dia memang merasa kasihan pada anak laki-lakinya itu, yang masih kelelahan. Karena terlalu aktif dengan berbagai kegiatan di luar jam sekolah. Dan terbiasa memanfaatkan weekend untuk beristirahat.  Tapi masalahnya ..., Menunduk, Anika mengulum senyum melihat wajah tertekuk putri bungsunya. "Dek, Abang masih capek. Kita bertiga aja ya ke kebun binatangnya. Kan nanti malam makan bareng, buat rayain ultah Adek. Abang pasti ikut kumpul kalau nanti malam." Mengerjap, Gara yang mendengar ucapan sang Mama seolah tersadarkan akan sesuatu.  Astaga ... Bagaimana dia bisa lupa dengan ulangtahun adiknya hari ini? Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang selalu ingin diadakan pesta dan mengundang teman-temannya. Kali ini Lily memilki permintaan lain. Gadis kecil itu ingin pergi ke kebun bintang bersama orangtua dan Abangnya. Berjalan-jalan serta piknik bersama.  Sebenarnya, keinginan itu hadir saat salah seorang teman Lily terus berceloteh, betapa mengasyikkannya bisa berlibur bersama keluarga.  Jadi, bertepatan dengan hari ulangtahunnya hari ini. Lily semalam mengutarakan keinginan untuk pergi ke kebun bintang, lalu berpiknik bersama keluarganya. Gara yang sibuk dengan isi piringnya, tak terlalu memerhatikan celotehan antusias Lily, meski telinganya mendengarkan dengan seksama. Menatap Gara dengan bibir mengerucut dan mata berkaca-kaca. Gadis kecil dengan ikatan rambut yang dikepang dua itu mengangguk tak rela. Oh ... Tentu saja Gara tak tega. Menemukan raut sedih di wajah adiknya. Dan lagi, ia jamin, tak akan bisa tidur nyenyak dengan resah yang terus membayang. Maka dari itu. Beringsut turun dari tempat tidur. Gara mengacak rambutnya yang sudah kusut masai. Melempar cengiran pada sang Mama yang hanya diam sembari menaikan satu alis mata. Seolah menunggu keputusan akhir darinya. "Ma," panggilnya pelan. "Hm?" Menahan kedutan di sudut bibir yang ingin tertarik menjadi senyuman. Anika berdeham untuk mengalihkan keinginannya meletupkan tawa. "Kenapa, Bang?" Mengela napas panjang, dengan bahu merosot, Gara mengangkat tangan kanan, mengelus lembut kepala sang adik. "Abang ikut, tungguin ya?" "Loh, katanya mau tidur?" Tanya Anika yang hanya ingin mengusili sang putra. Merengut, tau jika sang Mama hanya ingin menggodanya, Gara mengedikkan bahu. "Daripada di teror sama hantu kecil terus-terusan nanti." Ucapnya dengan suara berbisik, agar sang adik tak bisa menangkap ucapannya. Gara melempar senyuman pada sang adik yang mendongakkan kepala, seolah penasaran dengan pembicaraan yang dilakukannya dan sang Mama. "Tungguin, Abang siap-siap dulu." Ucapnya, sebelum kemudian berlalu. Meninggalkan Lily yang berjingkrak kegirangan. Selesai mandi dan berpakaian, Gara menyisir rambut di depan cermin. Otaknya tengah berpikir, kado apa yang akan ia beli untuk sang adik?  Boneka? Gara menggeleng, kamar adiknya sudah penuh dengan berbagai boneka. Buku cerita? Tidak, rak buku sang adik sudah penuh dengan koleksi berbagai buku cerita dan dongeng-dongeng princess. Aksesoris? Hm ... Itu pun sepertinya tidak perlu. Ada satu kotak besar berbagai aksesoris yang sering dibelikan sang Mama. Haduh ... Lalu, sebaiknya kado apa yang ia belikan untuk adiknya nanti? Baiklah, mungkin ada baiknya Gara bertanya pada teman-teman perempuannya, atau mungkin ... Mencari tau di internet. Setelah rapi, Gara meraih topi. Mengelilingi kebun binatang seharian di tengah cuaca cerah pasti terasa panas. Jadi dia harus berjaga-jaga. Kalau perlu, mungkin payung pun perlu dibawa. Biarlah dikata lebay. Gara bukannya anti panas. Dia bahkan sering bermain basket atau pun futsal bersama teman-temannya saat cuaca tengah terik. Tapi kali ini, Lily akan ikut pergi. Jadi, dia memikirkan agar sang adik terlindungi. Turun ke lantai bawah, Gara menuju ruang makan, bersiap untuk sarapan. Masih butuh beberapa langkah agar sampai, tapi suara celotehan sang adik sudah tertangkap pendengaran. "Ish! Abang!" Lily menjerit kesal, saat Gara dengan jail menarik kunciran rambutnya. Terkekeh, Gara menempati kursi yang berseberangan dengan sang adik. Karena Mamanya tak membiarkan mereka duduk berdampingan karena takut, jika keduanya lebih fokus bertengkar daripada mengisi perut. "Ke kebun binatang mau ngapain sih? Anterin Lily yang mau tinggal di sana ya?" Merengut, Lily yang kesal, mengambil telur setengah matang kesukaan Gara. Dan diletakkan di piring sang Papa. Membuat Farzan tertawa. Sementara Anika hanya bisa menggelengkan kepala. "Adek, itu jatah Abang." "Abang nakal, nggak usah pakai telur. Makan nasi goreng sama kerupuk aja." "Yaudah, kalau begitu Abang nggak jadi kasih rumah Barbie." Mendengar hal itu, sontak membuat fokus Lily teralihkan dari piringnya. "Abang mau kasih rumah Barbie?" Tanyanya dengan mata berbinar, "mana?!" Gara sebelumnya memang masih bingung mencari kado untuk Lily. Tapi kemudian, dia ingat, adiknya sempat merengek, minta dibelikan rumah Barbie seperti milik anak tetangga yang seusia dengan Lily. Kadang, apa pun yang anak tetangga punya, apalagi gadis itu terkesan selalu memamerkan dan memanas-manasi Lily, membuat adiknya sering sekali merengek ini-itu pada kedua orangtuanya. Dan yang paling baru, adalah rumah Barbie yang tengah gadis itu inginkan. "Nggak jadi ah, Lily nggak sayang Abang, rumah Barbie dibatalkan." "Loh, Dek, kok diambil lagi?" Farzan hampir memotong telur ceplok yang tadi Lily berikan. Tapi tiba-tiba diambil lagi, dan dipindahkan ke piring Gara. Membuatnya hanya bisa terkekeh sembari geleng-geleng kepala. "Itu, telornya udah di piring Abang. Jadi, rumah Barbienya jadi ya? Siska suka pamer rumah Barbienya, tapi nggak kasih Adek pinjem main. Adek juga mau punya." Ucapnya dengan mata mengerjap-ngerjap lucu dan wajah memelas.  Jika sudah begitu, Gara mana tega? Mengelus lembut kepala sang Adik, Gara mengangguk. "Siap, udah Abang pesan online kok, tinggal dikirim." "YEY! ABANG, TERBAIK!" Lily berseru senang, gadis itu kembali berceloteh dengan heboh. Tak sabar rumah Barbie yang Gara janjikan sampai ke rumah. "Sudah-sudah, sekarang waktunya makan. Katanya mau cepat-cepat sampai di kebun bintang? Kalau begitu, segera habiskan sarapannya." Mengangguk penuh semangat, Lily menghentikan celotehannya dan segera menyantap nasi goreng buatan sang Mama. Selesai sarapan, keluarga itu kemudian berangkat menuju kebun bintang. Tempat yang ingin Lily kunjungi di hari ulangtahunnya. Sepanjang perjalanan, gadis kecil itu tampak antusias.  Apalagi setelah sampai di tempat tujuan. Gara hanya bisa pasrah ditarik ke sana-kemari. Berfoto dengan setiap hewan—yang tentu saja dari luar kandangnya. "Abang foto gendong singa ya?" Ucap Lily polos, tapi berefek ngeri untuk Gara yang mendengarnya. "Nggak mau!"  "Loh ... Kenapa? Singanya lucu kayak boneka." Mengela napas, Gara menatap sang adik, "nanti Abang bisa-bisa nggak ikut pulang." "Kenapa? Abang mau nginep di sini?" Iya, lebih tepatnya di perut singa. Gerutu Gara, tapi ia coba tahan dan berusaha mengalihkan perhatian Lily agar berhenti memintanya berfoto sembari menggendong singa. Astaga ... Yang benar saja? "Dek, mau lihat gajah nggak? Tadi belum nemu kan? Lucu loh, ada anak-anaknya juga." Gara tersenyum dalam hati, saat melihat anggukan antusias adiknya. Syukurlah, dia tak harus uji nyali dengan berfoto sambil gendong singa.  Setelah berkeliling dan mengambil banyak foto dengan berbagai hewan, mereka akhirnya beristirahat. Mengisi perut, yang kembali keroncongan. "Adek nggak capek?" Tanya Anika pada sang putri yang sudah memerah wajahnya karena kepanasan. Belum lagi, peluh sudah membasahi kening dan lehernya. Tapi hal itu sepertinya tak menyurutkan semangat Lily. "Nggak Ma. Mau liat jerapah." "Nanti ya, kita istirahat dulu sebentar." Mengangguk, Lily mencoba untuk menyabarkan diri. Membiarkan keluarganya beristirahat, setelah kelelahan mengikuti semua yang dia inginkan. Terutama sang Abang, yang tampak lahap menyantap makanannya. Seharian, mereka mengelilingi kebun binatang. Lelah, tentu saja. Tapi melihat raut bahagia di wajah anggota keluarga terkecil mereka, semua seolah terbayarkan.  Mungkin, karena sudah kehabisan tenaga, Lily akhirnya tertidur dalam gendongan Gara. Membuat Anika memutuskan untuk pulang. Apalagi hari sudah sore.  Meski tadi siang begitu panas, cuaca tiba-tiba berubah. Sekarang, di atas kepala, ada sekumpulan awan hitam menggantung, menutupi sorot matahari. Membuat keadaan menjadi lebih gelap dari seharusnya. Duduk di kursi belakang bersama sang adik yang terbangun dan mencari-cari beberapa boneka hewan yang dibelinya. Gara meregangkan otot-otot. Sejujurnya merasa kasihan pada sang Papa. Pria itu pun pasti lelah. Andai sudah mampu membawa mobil, dia ingin menawarkan diri untuk menyupiri. Baru setengah perjalanan, tapi gerimis mulai riuh menjatuhkan diri. "Ini memangnya masih muat, Dek? Boneka di kamar kamu kan udah banyak, mau taro mana? Bawah tempat tidur?" Tanya Gara sembari memainkan salah satu boneka berbentuk jerapah. "Masih muat Abang, kalau nggak bisa dilemari, nanti di kasur sama aku. Buat temen tidur." "Sumbangin aja boneka kamu yang udah jarang dimainin. Daripada berdebu. Kasihan loh, ingat nggak sama film yang mainannya sedih karena nggak dimainkan lagi? Daripada begitu, mending disumbangkan buat anak-anak yang nggak bisa punya boneka." Lily nyaris menolak keras usul Gara, tapi kemudian terdiam saat memikirkannya lebih lama. Apa yang Abangnya katakan ada benarnya juga. Terlebih, ia pernah melihat anak kecil seusianya di jalanan, sibuk menjajakan jualan sewaktu siang, di tengah terik yang sedang panas-panasnya.  "Iya deh Bang, boleh." Mengerjap, Gara tak menyangka Lily menyetujui usulnya. Padahal, awalnya dia hanya menggoda sang adik. "Serius, Dek?" Mengangguk penuh semangat, hingga dua kuncir rambutnya bergoyang, Lily memperlihatkan senyum lebar, "nanti Abang kasihkan sama anak-anak yang nggak bisa punya boneka ya?" Tanpa menunggu jawaban dari Gara, ia kemudian beralih pada Anika. "Bolehkan, Ma?" Di kursi depan, Anika yang sejak tadi diam mendengarkan obrolan anak-anaknya hanya bisa mengulum senyum, "boleh dong," ucapnya sembari menoleh ke kursi belakang. Sebelum kemudian beralih pada sang suami yang tengah mengemudi di sampingnya. "Iya kan, Pa?" Farzan balas tersenyum, tapi hanya bertahan beberapa detik. Dia tak sempat membalas ucapan sang istri, saat matanya terbelalak, mendapati sebuah truk bermuatan besar yang tampak oleng dan melaju kencang dari arah berlawanan. Truk tersebut hilang kendali, hingga keluar jalur dan justru melesat kearah mobil yang tengah dikendarainya. Dan .... BRAK! Semua terjadi begitu cepat, hanya dalam satu kedipan mata.  Mobil keluarga Gara beradu dengan truk besar yang dengan sekejap, menghancurkan mobil mereka. Tak ada lagi celotehan, berganti jerit ketakutan yang kemudian lenyap. Tertelan senyap yang begitu mencekam. Di tengah hujan yang kian deras, tragedi itu terjadi. 

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Romantic Ghost

read
162.5K
bc

Legenda Kaisar Naga

read
90.5K
bc

Kembalinya Sang Legenda

read
21.8K
bc

AKU TAHU INI CINTA!

read
9.0K
bc

Time Travel Wedding

read
5.4K
bc

Putri Zhou, Permaisuri Ajaib.

read
3.9K
bc

The Alpha's Mate 21+

read
146.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook