17. PILU MEMBIRU

1261 Words
Senin pagi yang cerah disibukkan dengan para  pengejar yang berlomba dengan waktu, seakan waktu menuntut untuk dikejar. Jalanan diramaikan dengan penikmat kemacetan dan kesibukan benar-benar tergambar jelas, senin pagi ini.  Rama kini sudah siap dengan kaos putihnya dan celana panjang kaos hitam serta sepatu lari kebanggaannya. Dia tengah berada didalam angkutan, berdempetan dengan para pejuang lainnya dihari senin.  Hari ini dia tidak akan pergi ke coffeshop, dia ingin menikmati harinya di lapangan, meski ini sudah bukan waktu yang pas lagi untuk berolahraga. Matahari sudah terbit, walau berlum berada diposisi nyamannya.  - - - Sudah lima putaran mengelilingi stadion mini tempat Rama mengajar para anak-anak lari, dia sudah dipenuhi peluh dan tenggorokan sangat kering. Rambutnya basah membuat dia terlihat keren, baju putih nya ikut basah dan menjadi transparan sehingga mampu memaerkan bagin tubuhnya, perut ratanya yang membuat dia terlihat seksi. Tapi tak masalah, stadion kali ini sepi. Mungkin yang lainnya sedang sibuk bekerja, beda dengan Rama.  Dia duduk dan meluruskan kakinya, meneguk minum dan sendirian. Menarik nafas berat dan cepat. Seketika, pikiranya melayang pada Ranum dan Rara, yang ditinggalkannya tadi sedang sibuk mandi dan bersiap-siap akan jalan-jalan pagi.  "Hoi....!!!" Tiba-tiba saja Rama dikejutkan oleh tepukan dipundaknya.  "Oi....Ry" sapa Rama, saat mendapati Harry sudah duduk disebelahnya.  "Tumbenan lo disini? Ngapain?" Tanya Harry, lelaki yang juga pelatih lari sama seperti Rama.  "Gak....lagi pengin aja...." katanya.  "Halah....yakin gue lo berantem sama istri lo...." kata Harry, yakin. Dia adalah orang yang pertama tahu kalau Rama sudah menikah dengan sahabatnya sendiri. "Kagak.....gue lagi kepikiran aja, gimana kalau nanti ke Belanda. Istri sama anak gue bakal ditinggal...." jelas Rama.  "Iyalah bakal lo tinggal, kan ada nyokap sama mertua lo....."  "Tapi gue gak yakin...."  "Yaudah lah, lo masih muda juga. Jangan kubur impian lo hanya karena itu..."  "Hanya? Ini bukan sekedar 'hanya'. Masa depan istri dan anak gue ditangan gue...."  "Yaelah...lo masih 18 tahun juga....pikiran lo udah dewasa banget. Terserah lo deh... kan tujuan lo ke Belanda untuk memperbaiki nasib. Ya...lo harus egois sedikit lah...."  "Sialan lo....!!!"  "Hahaha...."  Kedua lelaki itu sibuk mengobrol tentang apapun yang bisa mereka obrolkan. Memang mereka baru dekat, tidak lama. Sekitar satu tahun lalu, saat Rama mengikuti kejuaraan lari diluar kota. Mereka berdua sama-sama dikirim untuk mengikuti lomba lari estafet. Namun, entah mengapa Rama lebih nyaman ngobrol dan terbuka dengan Harry ketimbang teman SMA nya, Kevin.  "Jadi, setelah ini lo mau kemana?" Tanya Harry.  "Pulanglah...."  "Ehm....gimana kalau lo ikut gue...."  "Kemana?"  "Ada deh...."  - - -               "Halo....ibu...???" "Ranum? Ada apa sayang? Pagi-pagi nelfon?"  "Bu...Ranum takut....."  "Kenapa Num?"  "Hikshikshikshiks.......ibu bisa datang ke rumah sakit?"  "Rumah sakit? Rumah sakita apa?"  "Mitra sejati bu...."  "Ok...."  Ranum tak habis pikir, kejadian yang menimpanya terjadi begitu cepat. Hingga rasanya dia belum sempat untuk bernapas. Tubuhnya lemah tak berdaya, berdiri disudut ruangan, bersembunyi dari keramaian. Dia malu, merasa jadi ibu tidak berguna.  Rasanya air mata sudah habis, sedari tadi dia menagis. Nyawa Rara kini berada diujung tanduk, karena ulahnya. Bayi yang baru berusia 3 bulan itu kini tengah berada di IGD, sedang ditangani oleh tim perawat dan dokter. Kejadian pagi itu, pasti tidak akan pernah dilupakan oleh Ranum. Ketika dia sedang asik menyuapi anaknya bubur, mendadak Rara keselek dan kesulitan bernafas. Ranum ketakutan, kebingungan. Beruntungnya dia berhasil diselamatkan oleh ibunya sendiri. Namun, beberapa saat setelah dia terbebas dari keseleknya, bayi kecil itu mendadak kejang. Ranum takut, dia tak berani menelfon Rama. Malu.  Segera dia membawa bayinya ke rumah sakit terdekat, dia sangat takut. Dan kini sudah setengah jam Rara ditangani, belum juga dapat kabar baik. Ranum tak berani melihat apa yang terjadi, dia memutuskan untuk keluar.  "Num...???" Panggil ibu, bingung melihati wajah anak sematawayangnya yang sembab.  "Bu......." melihat kedatangan ibunya, Ranum langsung memeluk.  Ada perasaan lega disana, mendadak damai. Pikirannya yang berkecamuk reda untuk sementara saat merasakan pelukan ibu.  Ranum menceritakan semua yang terjadi, dia merasa gagal sebagai ibu. Ini kesalahannya, seharusnya dia bisa lebih teliti ketika membuat bubur. Lagipula, Ranum terlalu gegabah dia memikirkan kesenangannya sendiri, padahal dia tahu usia Rara masih belum wajib menerima bubur. Namun karena penasaran, ingin membuat bubur bayi seperti yang dilihatnya diinternet, dia mencobanya dan memberikannya pada Rara. Hingga tak semua buburnya halus dan membuat Rara keselek. "Bu....." Ranum menahan ibu, saat melepaskan pelukan. Namun tak berhasil, pelukan terlepaskan dan ibu masuk ke dalam IGD untuk melihat cucunya.  Ibu mencari-cari dimana Rara, akhirnya dia menemukan cucunya yang sedang ditemani seorang perawat, Rara terlihat baik-baik saja. Dia sangat bersyukur akan hal itu, setidaknya Ranum tidak merasa bersalah sekali. Bisa terlihat tadj, bahwa anaknya itu sangat ketakutan atas apa yang terjadi pada Rara.  "Gimana keadaan cucu saya mbak?" Tanya ibu, sambil melihati cucunya dengan bahagia. Dia baru menyadari bahwa cucunya sangat mirip dengan Ranum, namun juga mirip Rama.  "Ooo ibu keluarganya si adek?" Tanya perawat.  "Iya, cucu saya...."  "Sebentar ya bu, ada yang akan dijelaskan okeh dokter. Namun keadaan cucu ibu saat ini baik, tadi kita sudah berikan penanganan...."  "Baik...." ucap ibu, sembari melihati kepergian perawat dari tempat tidur Rara.  Tak berapa lama, tim dokter datang. Menjelaskan apa yang terjadj dan penanganan apa yang telah diberikan.  Dokter menjelaskan bahwa Rara, kejang tidak ada sangkut pautnya dengan keselek yang terjadi, justu tindakan Ranum yang segera menolong anaknya tanpa panik, ketika keselek adalah hal yang tepat, wajar memang keselek terjadi pada bayi. Namun kejang yang terjadi, diakibatkan demam tinggi yang dialami oleh Rara.  "Demam bu?" Tanya Ranum, disela-sela penjelasan ibu pada Ranum tentang apa yang dikatakan okeh dokter tadi.  "Iya" ibu mengangguk.  "Ranum gak tahu kalau Rara demam. Iya sih, semalaman dia nangis terus, tapi Ranum gak ngeh kalau dia demam...." jelas ibu muda berusia 18 tahun itu.  "Ya, lain kali kamu harus belajar gimana cara tahu kalau anak itu sedang demam. Satu lagi, Rara harus diinapkan disini terlebih dahulu. Sampai keadaan membaik, maksudnya....demamnya turun dulu. Takut-takut dia kejang lagi...." jelas ibu panjang lebar.  Ada hal yang ibu takutkan, tentang kondisi cucunya dikemudian hari. Kejang yang terjadi kemungkinan bisa menganggu fungsi otaknya, dia bisa mengalami keterlambatan dalam tumbuh kembang. Namun, doakan saja yang terbaik dan lakukan yang terbaik.  "Num......" suara yang dikenal tiba-tiba menggema. Ranum yang tadinya berdiri menghadap ibu dan membelakangi keramaian. Sontak berbalik, mencari sumber suara. Ditemukannya Rama yang terlihat ngos-ngosan.  "Rama...." panggil ibu.  "Ibu, gimana keadaan Rara?" Tanya Rama, khawatir.  "Anak kalian baik-baik aja...." kata ibu, memberi kode dengan matanya untuk tidak banyak tanya karena Ranum yang sedang tak baik-baik saja.  Rama mengangguk seakan mengerti maksud ibu, "Rama masuk dulu ya bu. Ngelihat Rara..." ucapnya, kemudian meninggalkan ibu dan Ranum.  "Bu, kenapa Rama bisa tahu? Ibu telfon dia?" Tanya Ranum  kesal.  "Iyalah Num, kamu fikir dia gak boleh tahu?" Tanya ibu.  "Ck, nanti dia marah sama aku bu...."  "Ya ampun, kamu masih kekanakan sekali sih. Ingat, udah punya anak...." kata ibu.  "Apaan sih bu...." Ranum manyun, kesal.  "Udah, ayo sekarang kita urus registrasinya dulu. Biar Rara dipindahkn ke ruangan...."  "Iya bu...." - - - Segala hal sudah diurus, tiba saatnya Rara akan dipindahkan ke ruang rawat inap. Ranum sudah berani melihat Rara, sedari tadi dia belum ada bicara dengan Rama. Dia yakin, suaminya itu pasti kecewa dan marah padanya.  "Karena bayinya mau dipindahkan, ibunya bisa duduk di kursi roda gendong si adek..." jelas perawat, yang sudah membawa kursi roda.  "Cepatan Num..." kata ibu.  Sejenak Ranum terdiam, melihati anaknya. Kembali muncul kejadian tadi, mendadak dia gemetar dan tangannya berkeringat. Pikirannya pun juga menjadi acak-acakan.  Ranum menggeleng, "enggak deh...ibu aja..." kata Ranum.  Mendadak semua yang ada disitu menatapi Ranum bingung, "loh kenapa? Kamu dong sebagai ibunya...." kata ibu.  Ranum tak bergeming, dia diam. Rama pun bingung dengan sikap istrinya. Dia juga menjadi aneh, sepertinya ada sesuatu yang terjadi pada Ranum.  "Rama aja bu...."  - - - TBC 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD