Tak berkata, tak bersuara. Semuanya berlangsung begitu cepat, seakan waktu menghentikan geraknya dan membiarkan kejadian itu berlangsung begitu saja dan membiarkannya tak berbuat apapun.
Ranum berbaring diranjang, menatapi langit-langit kamarnya. Kamar yang biasanya terasa hangat, kini dingin menakutkan. Ranum sendirian, dia tahu suaminya ada dimana. Namun, enggan untuk memintanya kembali menemaninya atau menanyakan kabar.
Rama, lelaki itu kini berada di rumah sakit. Menjaga anak sematawayangnya, sebab sang ibu mendadak tak mau menyentuh bayinya. Ini aneh, Ranum terlihat begitu trauma ketika bersama bayinya, dia mendadak seperti orang gila. Menahan diri untuk tak menyentuhnya. Bukan...dia tak benci anaknya. Dia membenci dirinya.
Siapa lagi yang mau dibencinya? Selain dirinya? Dia hanya takut, kejadian yang sama, kejadian yang membahayakan bayinya terulang kembali jika dia menjaga Rara.
Tangannya bergetar, rahangnya mengeras, wajahnya memerah, berkeringat dan ekspresi penuh ketakutan. Dia risau. Merasa gagal menjadi ibu.
Sedari tadi ponsel Ranum berdering, panggilan dari ibu. Tapi, dia abaikan. Ranum hanya ingin sendiri, seakan tak ada yang bisa mengerti dirinya. Kecuali Rama. Iya, hanya Rama.
Suaminya itu, langsung mengambil alih semuanya dalam urusan merawat Rara di rumah sakit, selama masa perawatan bayi mereka. Entahlah, mungkin karena dia mulai tak percaya kalau Ranum bisa menyelesaikan semuanya. Tak bisa diandalkan. Atau.... dia merasa istrinya sedang kalut dan dalam masalah. Untuk saat ini dia tak bisa menemaninya, lebih baik membiarkannya sendiri tanpa membebankan apapun.
Ranum bangkit dari baringnya, dia berjalan menuju pintu kamar ingin menuju dapur. Namun langkahnya terhenti saat mengingat satu hal. Kejadian traumatis yang membuat anaknya harus berada di rumah sakit saat ini. Ranum berjongkok diambang pintu, menenggelamkan wajahnya dan menangis.
Dia malu, pada semuanya. Terutama pada Rama. Merasa gagal dan tak berguna. Isakan tangis mulai terdengar semakin kencang. Wajahnya mulai basah dan tak tertahankan. Rasanya berat sekali, saat seperti ini dia tak punya siapa-siapa. Seakan seluruh dunia menjauhinya.
Tiba-tiba saja dirasakannya tangan besar, hangat dan menenangkan mengelus lembut punggungnya. Sontak, Ranum langsung mendongakkan kepala dan mendapati Rama sedang berjongkok sama sepertinya tepat didepannya.
Tak mampu berkata, Ranum hanya mampu terisak dan sangat terkejut dengan kehadiran Rama.
"Kenapa belum mandi?" Pertanyaan aneh Rama membuat isakan Ranum semakin menjadi.
Tak mendapat jawaban dari Ranum, lelaki itu memutuskan untuk menyeka wajah istrinya dengan kedua ibu jari. Menatapinya dengan cermat. Memperhatikan wajah letih wanitanya, dia tahu ini semua tak mudah bagi Ranum. Dan seharusnya dia tak bertindak egois, meninggalkan istrinya sendiri hanya untuk menyegarkan pikirannya.
"Kamu....kenapa disini?" Tanya Ranum. Dia mulai tenang, ketika jemari Rama mulai menyentuhnya. Seakan mengatakan semuanya baik-baik saja, suaminya ada disampingnya.
"Rara dijagain sama ibu...." jelas Rama. "Aku kangen kamu...." sambungnya.
Jantung Ranum berdegup kencang, dia mendengar kata itu dari Rama. Mungkin, sikap Rama padanya selama ini selalu bisa membuat jantungnya bergedup kencang. Namun, kali ini berbeda. Keadaan tak sama, dia fikir Rama akan membencinya atau apapun itu. Tapi, kehadiran Rama saat ini dengan sikapnya....membuat Ranum jadi percaya diri.
"Yuk....." lama Rama menatapi istrinya, membuat dia tersadar kalau dia tak bisa tanpa Ranum, begitupun sebaliknya. Lelaki itu mengajak Ranum untuk berdiri, membantunya dengan memegangi lengannya.
"Sekarang kamu mandi ya, kucel banget...." canda Rama.
Lagi-lagi Ranum tak bersuara, dia hanya diam tak bergeming. Bahkan saat Rama berusaha menarik tangannya membawaya menuju kamar mandi, dia mematung menahan diri.
"Kenapa Num...?" Tanya Rama, bingung.
"Apa kamu gak berniat untuk mandi bersa...mmma...." Ranum tampak ragu. Dia juga bingung kenapa berpikiran seperti itu.
Seperti mempunyai pikiran yang sama, Rama kembali menarik tangan istrinya menuju kamar mandi, kini tak ada tahanan apapun. Hanya kerelaan yang dirasakannya.
-
-
-
Wajah Ranum memerah, saat jemari Rama bermain-main ditubuhnya. Tubuh yang hampir polos itu serasa tak tahan dengan sentuhan Rama. Jemari yang menari-nari ditubuhnya seakan sangat bahagia.
Rama masih sibuk berada dibelakang tubuh Ranum, membuka pengait bra yang dia sendiri belum ahli membukanya. Sesekali dia menghirup aroma tibuh istrinya, yang menenangkan.
*klek
Terlepas, Rama berhasil menelanjangi istirnya sendiri. Ini pertama kalinya mereka mandi bersama, d**a Ranum naik turun, dia semakin gugup saat Rama memutar tubuhnya agar mereka bisa saling berhadapan. Kini, giliran Rama yang akan ditelanjangi oleh Ranum.
Setelah mereka berhasil saling berhadapan, Ranum yang masih menunduk memgangi ujung kaos Rama. Lelaki itu mengamati istrinya, memegang wajah Ranum dan mengangkat kepalanya. Ia ingin melihat wajah wanita kesayangannya, wanita yang berhasil mengubah dunianya.
"Giliranmu..." ucap Rama lirih. Ia baru menyadari, alasan mengapa Ranum menunduk. Karena kini ia menyadarinya.
Giliran Rama yang memerah wajahnya. Saat perlahan tapi pasti Ranum dengan gugupnya membuka kaos Rama, pastinya dengan bantuan dari Lelaki tinggi itu.
Rama telah bertelanjang d**a, tinggal celana training yang menutupi tubuh bagian bawahnya terlepas, ia akan sama seperti istrinya.
Ranum, meletakkan kedua telapak tangannya pada karet celana Rama, dia akan menurunkan celana suaminya itu, namun...tangannya kembali naik, pada perut rata Rama. Sepertinya dia lebih tergoda dengan itu. Dia merabanya, melingkari tangannya pada perut Rama dan memeluknya erat.
Wanita berambut panjang yang kini telanjang itu, memeluk erat suaminya. Menenggelamkan wajahnya pada Rama dan tak ingin lepas. Lelaki itu menyukainya, dia suka dengan apapun perlakuan Ranum padanya, selalu begitu sejak dulu.
"Maafkan aku....telah menjadi ibu dan istri yang gak berguna..." ucap Ranum, semakin mempererat pelukannya.
Tak ada kata terucap dari Rama, saat mendengar kalimat istrinya. Diapun ikut memeluk Ranum, mempererat pelukannya seakan tak ingin lepas. Lega rasanya ketika berada diposisi seperti ini, berdua dan....berdua.
Lama tak ada kata diantara mereka, hanya tarikan nafas sesekali yang terdengar. Pelukan yang menenangkan itu benar-benar menyamankan mereka berdua. Hingga....Keluar kalimat yang membuat Ranum terkejut bukan main tak percaya.
"Aku gak jadi ambil beasiswanya Num...." ucap Rama, yakin.
TBC