19. TERALIH

971 Words
Halo.... Wah.... ngebaca komen teman-teman aku jadi semangat! Senyum-senyum sendiri..... -selamat membaca-  Keadaan yang dibenci semua orang, ketika yang tersayang harus terkulai lemas tak berdaya, diatas ranjang dengan alas berwarna putih dan tergelang dengan indah dipergelangan tangan identitas diri.  Rama, lelaki pintar dan tampan itu melihati anaknya, yang tertidur dengan nyenyaknya. Sudah hampir satu jam dia menemani bayi 3 bulannya, berdua. Hanya dia dan Rara.  Ibu mertuanya, sudah pulang bersama sang istri yang mendadak enggan menyentuh bayi mereka. Rama merasa aneh dengan sikap istrinya itu, namun apa mau dikata, dia harus lebih memikirkan anaknya daripada istrinya saat ini.  Ranum, perempuan yang wajahnya dihiasi dengan jerawat-jerawat kecil nan manis juga menggemaskan itu, mendadak takut melihat bayinya. Seakan seluruh dunia menghakiminya ketika dia membanyangkan bahkan melihat anaknya sendiri, anak kandungnya.  Semua bertanya-tanya dengan sikap Ranum, termasuk ibunya. Dia kesal sekali pada putri sematawayangnya itu, tapi syukurlah...Ram bisa menenangkan hingga tak terjadi pertengkaran antara ibu dan anak di IGD tadi ketika Ranum menolak untuk menggendong bayinya.  "Permisi..." tiba-tiba saja, pintu kamar rawat inap vip itu terbuka sedikit, dan muncul sosok pria paruh baya yang memberikan senyum ramah pada Rama yang sedang duduk disebelah ranjang bayinya.  "Ya...." jawab Rama, ketika melihat sosok pria berjas putih dengan stetoskop yang melingkar dilehernya.  "Dengan Rara?" Tanyanya, sebelum benar-benar masuk ke dalam. Coba meyakinkan kalau bayi Rama adalah pasien barunya.  "Iya dok..." jawab Rama, berusaha bangkit dari duduknya menyambut sang dokter.  "Baiklah, saya dokter Ilham spesialis anak sebagai dokternya Rara selama dirawat disini..." jelasnya, ketika sudah berada didepan Rama, tepat disamping ranjang Rara.  "Iya...saya ayahnya Rara dok...." Rama memperkenalkan diri.  Percakapan mulai terjalin diantara dua pria itu, dokter Ilham menjelaskan kalau keadaan Rara baik-baik saja. Namun dia harus mendapat perhatian khusus terlebih usianya masih sangat rentan, demam yang dialaminya sebenarnya bisa menganggu fungsi otak Rara, karena demam yang terlalu tinggi. Namun sejauh ini, dilihat dari tanda-tanda vitalnya tak ada masalah.  Dokter Ilham juga mewanti-wanti, mungkin saja pertumbuhan Rara akan terganggu. Selain karena demamnya yang terlalu tinggi, kelahirannya yang prematur juga berpengaruh. Tapi, siapa kita? Hanya manusia. Cukup sekedar mendiagnosa, tak bisa menentukan apa yang akan terjadi dimasa yang akan datang. Lebih baik, beri perhatian yang lebih pada Rara.  "Ibunya mana?" Tanya dokter Ilham, setelah panjang lebar menjelaskan tentang kondisi Rara.  "Hmmm....." Rama tampak bingung.  "Peran ibu sangat penting, apalagi ASI yang diberikan sangat mempengaruhi kesehatan dan pertumbuhan sang bayi...." jelas sang dokter.  "T-tapi....Rara tidak menyusui dok..." jelas Rama.  Sang dokter mengerutkan dahi, berpikir yang tidak-tidak. "Kenapa? Menyusui itu tidak hanya menguntungkan sang bayi, namun sang ibu juga...."  "Dokter kandungan bilang, kalau air s**u istri saya gak bisa keluar dok, sebab sesar dok...." jelasnya.  "Apa pengaruhnya? Belum pernah dicoba? Saya ingin bertemu dengan istri kamu...." terdengar penekanan disana.  "Iya, nanti saya bawa kemari dok...." Ucap Rama, menggaruk-garuk temgkuknya. Dia merasa sangat bodoh saat ini.  Ini sangat rumit, mungkin karena kurangnya pengetahuan dan perhatian dari kedua orang tua mereka. Menyebabkan ini semua terjadi, benar...Rama baru menyadari kalau Ranun tak pernah mencoba untuk menyusui Rara. Dia benar-benar sudah menyerah lebih dulu karena samg dokter mengatakan bahwa dia tak bisa menyusui tanpa penjelasan apapun dan bodohnya lagi mereka tidak bertanya lebih jauh tentang hal itu.  *drrrrrrtttttttt Tiba-tiba ponsel Rama berdering, saat dia coba menghubungi istrinya.  "Papi?" Ucapnya.  Rama syok, ada panggilan masuk dari ayahnya yang kini berada di Belanda. Jantungnya berdegup dengan kencang, takut ayahnya berkata yang tidak-tidak.  "H-ha...lo..???" Ucapnya, takut.  Berbagai macam hal berputar-putar didalam kepalanya, dia takut dengan ayahnya yang sangat diktator.  "Halo Rama, papi dapat kabar kalau kamu lulus beasiswa ke Belanda...." tanpa basa-basi sang penelpon diseberangsana menghujani Rama dengan kalimat yang menurutnya menyebalkan.  "Papi mau, kamu jangan ambil....!!!" Terdengar seperti bentakan.  "Maksudnya pi?" Tanya Rama bingung.  Pasalnya, sang ayah sangat ingin Rama berkulaih ke Belanda, tepatnya di fakultas kedokteran disana. Dan kini, Rama berhasil mewujudkan keinginan sang ayah, namun tiba-tiba pria itu melarang anak lelakinya untuk mengambil kesempatan yang didambakannya.  "Kamu jangan ambil beasiswa itu, jangan ke Belanda. Urus keluarga mu...urus anakmu.... bisa-bisanya bayi sekecil itu masuk rumah sakit....." ocehan sang papi, entah kenapa kali ini menenangkan Rama. Dia seperti mendapat dukungan dari sang ayah. Seperti, inilah jawaban dari pertanyaannya selama ini.  Iya, selama ini dia masih bimbang. Tentang beasiswa ke Belanda itu, walau sudah memberitahu Ranum dan istrinya itu tak masalah. Tapi, tetap saja dia masih ragu.  "T-tapi...."  "Ssssshhhh....jangan membantah!!!! Kamu mau jadi lelaki gak berguna? Ohya, segera berhenti dari pekerjaanmu yang sekarang. Papi punya kenalan, entar papi kirimin nomornya ke kamu dan hubungi dia segera...." perintah papi.  Rama mematung, dia sangat tidak percaya dengan semua ini. Dia tahu, ayahnya baik dan perhatian padanya. Namun, dia tak pernah mengorbankan impiannya untuk orang lain, dan kini...dia telah melakukannya.  "Halo....???halo....??? Rama??? Kamu dengan papi???" Tanyanya, sedikit berteriak.  "Iya pi....iya pi....iya pi....."  "Bagus! Jadilah suami yang bertanggungjawab. Jadilah pria dewasa dan kirim salam sama istri dan anakmu...."  "Iya pi..."  *tuttutut Sambungan terputus begitu saja, tanpa Rama mengucapkan terima kasih atau yang lainnya. Dia tersenyum sambil melihati ponselnya. Mengalihkan pandangannya pada sang bayi, meraih tangan mungil Rara dan mengelusnya.  Tak berapa lama, ibu Rama datang. Membawa makanan dan membiarkan anak lelaki yang palinh disayanginya itu menyantap makanan kesukaannya dengan lahap.  Satu hal yang baru Rama ketahui adalah, sang ayah selalu menanyakan kabarnya.  Setelah menyantap habis masakan sang ibu, Rama memutuskan untuk pulang ke rumah. Dia ingin bertemu dengan istrinya, memeluknya dan memberitahu bahwa semuanya akan baik-baik saja. Dia akan selalu bersama istri dan anaknya.  - - - "Kamu....gak bakal ke Belanda?" Tanya Ranum, melepaskan pelukannya. Menatap Rama bingung, dia takut...jangan-jangan keputusan Rama ini, disebabkan oleh dirinya.  Lelaki itu mengangguk mantap, "tenang....ini memang kemauan aku Num. Mana bisa aku tanpamu...." ucapnya.  Ranum tersenyum lebar, "nah....gitu dong....gak sedih lagi.... setelah ini kita ke rumah sakit ya....!!!" Ajak Rama.  Mengingat rumah sakit dan Rara, perempuan itu kembali murung. Rama menyadarinya.  Diapun membungkukkan dirinya, mendekatkan wajahnya pada Ranum, menyentuh bibir istrinya dengan bibirnya. Dia menciumnya. TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD