Minggu bukan menjadi alasan untuk bermalas-malasan, bagi Rama. Lelaki itu seakan sudah ditempah oleh papinya untuk kuat menghadapi apapun, makanya dia bisa sukses dibidang akademik dan olahraga, menjadi atlet lari dan mengharumkan nama sekolah dikancah internasional adalah prestasj tertinggi yang pernah ia raih selama 9 tahun menjadi atlit lari.
Hari ini, Rama berada di stadion. Dia telah mendapatkan pekerjaan. Ya...walau gajinya tidak sebanyak jajannya sebulan. Tapi, bisalah untuk tambahan tabungannya, mempersiapkan diri ketika tamat nanti.
Ujian akhir juga telah didepan mata, walau pikirannya terpecah antara menjadi pelatih lari dan ujian akhir, ia sudah terbiasa dengan hal seperti itu.
"Woi, Rama...!!!" Sapa Harry. Teman seperjuangannya, yang membuatnya bisa menjadi pelatih lari.
"Hoi....daritadi, gue tunggui lo..." kata Rama, sambil menyambut tangan Harry yang duduk disebelahnya.
"Ckckckck...gak nyangka gue orang kaya lo mau kerja beginian. Gajinya gak sebanyak hadiah yang lo terima waktu menang itu..." jelas Harry.
"Ya...kan udah lo jelasin..." kata Rama, sambil membetulkan kacamatanya.
"Kenapa lo masih mau? Butuh duit banget lo ya? Ehm...gue tahu, lo ngehamilin anak orang ye?" Tanya Harry asal. Namun berhasil buat Rama terdiam.
"Kok...."
"Hehehe becanda gue..." katanya, sambil memukul pelan bahu Rama. "Mana mungkin orang kaya lo ngehamilin anak orang kan ye..." sambungnya.
"Maksud lo?"
"Heleh...maksud gue, lo kan anak baik-baik.... baperan amat lo..." jelas Harry.
"Anak baik-baik juga bisa khilaf kali..." ucapnya pelan. Namun berhasil buat Harry syok.
"Beneran? Lo hamilin anak orang? Siapa? Gila lo....gak nyangka gue..."
"Ada deh...."
Rama menjadi pelatih bagi anak-anak sd, usia 15 tahun kebawah. Ternyata, banyak peminat untuk olahraga lari seperti ini. Dia sedang, dihari pertama melatoh ada banyak kejadian yang dia alami. Dari mulai, sang anak nangis karena ditinggal orang tuanya di lapangan sampai nemenim anak kecil buang air besar. Bahkan Rama harus rela nyebokin tuh anak karena tiba-tiba pas dicariin orang tuanya menghilang.
Mengingat kejadian itu, Rama tersenyum tipis. Kini dia sedang dalam perjalanan pulang. Senja telah menghiasi langit, letihpun tak terbendung, tapi Rama bahagia. Dia bahkan tak sabar bertemu dengananak-anak itu lagi minggu depan.
Di atas motor, Ketika sedang berhenti Rama melihat sosok familiar yang sedang akan menyebrangi jalan. Dengan kaos abu-abu lengan panjang dan celana jeans serta sepatu kets perempuan itu tampak sangai menyebrang tanpa peduli sekitar. Matanya tertuju pada perut perempuan itu, yang sedari tadi ia lindungi dengan tangannya. Tak sadar, Rama tersenyum tipis. Manis sekali...
Dia sangat fokus pada sosok Ranum yang tengah menyebrang jalan, hingga tak sadar lampu lalu lintas telah berubah. Kendaraan lainpun mulai membunyikan klakson dan menyadarkan Rama.
Sosok itu menghilang, padahal dia ingin menemuinya. Beberapa kali Rama melewati jalan yang dilalui Ranum tadi, hingga dia memarkirkan motornya hanya untuk bertemu Ranum. Entahlah, entah apa yang ada dipikirannya, dia juga tidak tahu apa yang akan dikatakan saat bertemu Ranum nanti. Tapi, dia sangat ingin.
"Dooor...!!!" Kejut Ranum, saat Rama sudah kembali kemotornya dan akan memakai helm.
"Astaga..." Rama benar-benar syok, bayangkan saja disaat dia benar-benar keliwengan dan letih mencari Ranum, tiba-tiba saja dikejutkan.
"Ranum...!!!" Sambungnya, dia tak percaya melihat sosok yang dicari-carinya sedaritadi ada didepan mata.
"Ngapain kamu disini?" Tanya Ranum.
"Aku....baru pulang latihan." Jawab Rama.
"Ooo...kalau gitu, bareng ya pulangnya..." Ranum langsung naik keatas motor Rama. "Ayo...cepat!!!" ajaknya sambil menepuk-nepuk jok motor Rama.
Rama bahagia melihat Ranum tidak semenyedihkan beberapa bulan lalu. Dia tak bisa tidur memikirkan Ranum, bagaimana sikap Ranum padanya setelah kejadian malam itu. Ingatannya kembali pada malam itu, malam yang mengubah hidupnya.
Motor vespa matic warna merah itu melaju dengan lambat, Rama menikmati waktu berdua dengan Ranum. Entahlah, selama mereka berteman sudah sangat sering seperti sekarang ini tapi...kali ini beda, ada rasa ingin melindungi dan tak ingin melukai.
"Num, laper?" Tanya Rama.
Ranum yang sedari tadi melamun tentang aroma tubuh Rama yang mengingatkannya tentang kejadian malam itu, langsung tersadar.
"Hah? Lapar? Hmm...iya nih" jawab Ranum.
Ada sedikit jarak diantara mereka, Ranum tak memeluk Rama. Sudah kebiasaan.
"Sate?" Tanya Rama, dia tahu Ranum suka makanan itu.
"Ehmm....lagi gak pengen" jawab Ranum, entahlah saat memikirkan sate dia mendadak mual. Tiba-tiba saja dia kepikiran pasta, oglio aglio.
"Aku mau pasta..." sambungnya. Mendengar hal itu, Rama langsung menelan ludah, makan pasta? Di restoran favorit Ranum? Pasti mahal. Padahal dia sedang dalam proses menabung. Tapi...
"Ayo deh..."
-
-
-
Melihati Ranum dengan lahap menghabiskan pasta miliknya, membuat Rama tersenyum. Lelaki itu hanya memesan lemon tea, yang paling murah.
Rama sadar, waktu dia semakin dekat. Sedangkan banyak yang harus diurus, membeli s**u untuk Ranum, membayar sewa rumah, dan lainnya. Dia tahu, papinya pasti tidak akan mau ikut campur, memang jadi bertanggungjawab itu menyusahkan.
"Kamu gak lapar?" Tanya Ranum, disela makannya.
Rama hanya menggeleng, sepiring pasta harganya delapan puluh ribu, ditambah pajak, belum lagi minuman. Bisa kewalahan dia kalau pesan makanan juga, walaupun sangat ingin.
"Nih..." Ranum, menyodorkan garpu berbalut pasta kepada Rama. Lelaki itu tak bisa menolak, dia langsung melahapnya. "Lagi?" Tanya Ranum.
Rama mengangguk cepat, Ranum kembali menyuapi Lelakinya.
"Kalau lapar bilang kali...." kata Ranum, dia sedikit kesal. Karena pastanya habis dilahap Rama. Padahal katanya tidak lapar.
"Pesan lagi deh...mbak!!" Panggil Ranum. "Tenang, aku bayar kok..." sambung Ranum.
Setelah puas dengan pasta sebagai makan malam, sejoli itu memutuskan untuk pulang. Sebab, esok senin dan sekolah menanti. Padahal mereka sudah suami istri namun terasa biasa saja, bahkan Ranum lupa kalau dia telah menikah.
Senin kembali datang, upacara bendera tak bisa dihindari. Seperti biasa. Semua murid akan berbaris dan dipaksa menikmati basa-basi yang membosankan. Rama kali ini menjadi pemimpin upacara, dia memang berprestasi.
Ranum suka, ketika Rama menjadi pemimpin upacara dan berteriak didepan sana. Kalau Rama sudah jadi pemimpin upacara, pasti Ranum akan berada dibarisan paling depan. Apapun yang terjadi, dia ingin melihat Rama.
Seperti hari ini, walau matahari dengan menyengatnya bersinar tak menggoyahkan Ranum melihati Rama yang tampak gagah didepan sana. Sesekali dia tersenyum ke Rama saat lelaki itu melihatnya. Namun, hari ini berbeda. Ranum terjatuh dan mendadak lemah. Dia pingsan.
Rama menyaksikan kejadian itu, tepat didepannya. Namun, dia tak bisa berbuat apa-apa. Syukurlah ada Kevin yang langsung membawanya ke uks.
Kesal dan cemburu menggerogoti, Rama tahu. Kevin suka Ranum. Sial, dia menjadi tidak fokus. Saat membayangkan apa yang mereka lakukan di UKS. Berkali-kali dia menepis, namun cemburu tak bisa dihindari.
Disisi lain, Kevin masih asik memberikan teh hangat pada Ranum yang baru tersadar dari pingsannya. Dia tak pernah selemah ini, mungkin efek dari kehamilannya. Berkali-kali Ranum menepis pemikirannya tentang hal buruk yang akan terjadi pada kandungannya sebab pingsannya tadi.
"Udah Num...minum dulu teh nya..." kata Kevin, yang sedari tadi melihati Ranum menangis.
"Kamu mah...." kesal Ranum. Seandainya lelaki ini tahu apa yang terjadi pada diri Ranum.
"Lagian kamu, pingsan doang nangis. Gak usah malu lah..." kata Kevin.
Ranum memanyunkan bibirnya, tangannya mengelus pelan perutnya yang semakin membuncit namun tidak terlihat karena tertutupi seragam sekolah.
"Num...!!!!" Saat Kevin sedang asik membujuk Ranum untuk diam, Rama muncul dengan ngos-ngosan.
"Eh, Rama...udah selesai upacaranya..." tanya Kevin santai.
Rama hanya mengangguk dan segera masuk kedalam menemui Ranum. Dia terlihat ngos-ngosan, berlari dari lapangan menuju uks yang jaraknya cukup jauh.
"Tenang aja...gak usah panik gitu, Ranum baik-baik aja kok..." jelas Kevin menenenangkan Rama, yang mengobservasi Ranum dari atas sampai bawah. Gadis itu menangis sambil memegangi perutnya, jelas saja Rama takut bukan main.
"Aku takut......" keluh Ranum, sambil memberikan kode pada perutnya.
"Iya,iya,iya....Vin, lo bisa keluar bentar gak?" Tanya Rama.
"Kenapa? Lo mau ngapain sama dia?" Tanya Kevin penasaran. "Oke deh..." sambungnya, setelah melihat kondisi Ranum yang tertunduk. Dia rasa Rama bisa mengatasinya, mereka kan teman dekat.
*klek
Pintu tertutup, Kevin pun sudah keluar. Rama yang duduk di depan Ranum yang masih asik menangis, bingung mau melakukan apa. Dia ingin memeluk Ranum, namun takut. Ah, bodo amat!
Rama menarik tubuh Ranum, masuk kedalam pelukannya. Tak menyangka, Ranum mendadak berhenti menangis. "Pulang sekolah nanti kita cek ke rumah sakit..." kata Rama dingin. Dia mendadak gugup, jantungnya berdegup kencang, tak terkontrol. Saat wajah Ranum terbenam didadanya, dia merasakan sesuatu yang tak pernah dirasakan sebelumnya.
"Gimana kalau kenapa-napa?" Tanya Ranum, pertanyaan yang berhasil membuat Rama melepaskan pelukannya. Dia melihati wajah Ranum yang kucel akibat menangis. Matanya bengkak, kenapa perempuan ini jadi doyan nangis ya.
"Ehm....." apa lagi yang bisa dikatakan Rama? Dia juga bingung. Semoga saja tidak kenapa-napa.
*toktoktok
"Rama...." pintu diketuk dan bu Siska, wali kelas Rama memanggilnya.
"Bu?" Sahut Rama, dia bingung bagaimana bisa gurunya itu menenukannya, di UKS.
"Kamu dipanggil kepala sekolah, ke ruangannya sekarang ya...." kata bu Siska.
-
-
-
Seribu pertanyaan berputar-putar didalam pikirannya, perjalanan menuju ruangan kepala sekolah mendadak menakutkan. Dia tak pernah segugup ini untuk bertemu kepala sekolah.
Siswa berprestasi sepertinya, memang sudah sering bertemu kepala sekolah, setiap kali dipanggil pasti akan mendapat pujian dan penghargaan, namun kali ini beda. Dia yakin, bukan pujian yang akan didapatnya. Apa mungkin....
"Rama, saya mau minta tolong sama kamu...untuk mengisi acara sewaktu perpisahan kalian bulan depan..." ucap Kepala Sekolah.
Rasanya tak ada hal yang paling menyenangkan, saat mendengar kalimat itu dari kepala sekolah. Ingin berlari sekencangnya karena bahagai, sebab hal yang ditakutkan tidak terjadi. Berkali-kali Rama bersyukur, dia hanya takut masalahnya diketahui oleh kepala sekolah, entah bagaimanapun caranya.
Rama berjalan menyusuri koridor, sekolah yang penuh dengan kenangan ini akan segera ditinggalkannya. Ada banyak kisah yang terjadi selama hampir tiga tahun. Dia tidak percaya, kalau setelah ini hidupnya tidak akan semenyenangkan di SMA.
Langkahnya menyusuri koridor terhenti, saat melihat Ranum dibawa beberapa orang siswa dalam keadaan lemah tak berdaya, menangis sesenggukan dan....keluar dari dari atas roknya. Sial!