Bismillah

506 Words
HIDDEN Alia masih berfikir keras tentang kejadian satu minggu lalu, meski Alia sudah memiliki jawaban apa yang harus di berikan pada Rafa dan Fatma. Namun tetap saja, hati Alia merasa kalau keputusan yang akan di ambilnya salah. Entah mungkin hanya akan menyakiti Alia nantinya. Cintanya pada Rafa buta, Alia tak bisa menjelaskan betapa senang hatinya yang berkelana jauh, mulai memikirkan kehidupan berdua dengan Rafa yang begitu indah. Namun Alia segera menyadarkan diri, pernikahan ini bukan atas dasar cinta. "Al." Thomas menepuk bahu Alia, menyaksikan Alia yang hanya melamun sejak tadi tanpa menyantap sup jagung yang Thomas buatkan membuat Thomas makin khawatir, adiknya sakit sejak hari pengusiran itu. Thomas mengijinkan Alia untuk tinggal di apartemennya untuk sementara, bahkan mungkin untuk selamanya. Thomas tak masalah. Karena umur Alia dan Thomas hanya berjarak satu tahun, keduanya tidak bisa hanya dibilang kakak dan adik, namun lebih dari itu Alia bisa menjadi apapun bagi Thomas. "Makan supnya Al, nanti dingin." Alia mengangguk. Kembali meraih sendok dan mulai memasukan sup jagung buatan Thomas ke mulutnya, Alia tersenyum, menatap Thomas "Selalu kelebihan garam Thom." Thomas terkekeh "Mau apa lagi, syukur aku masih bisa bedakan gula dan garam." Alia ikut tertawa "Kalau kata orang dulu, entah daerah mana. Kalau masakan selalu kelebihan garam. Itu tandanya orang itu sedang kebelet nikah." Thomas menggeleng "Aku sedang tidak memikirkan hal itu Al." "Umurmu sudah cukup matang Thom." "Biar saja. Aku masih sibuk. Lagian bagaimana denganmu, bukankah umurmu juga sudah matang, untuk ukuran wanita dewasa kau sudah seharusnya menikah." Thomas duduk disebrang meja makan, meraih satu cangkir kopi yang tadi dibuatnya, sementara matanya menelisik, menangkap gerak-gerik Alia yang mulai kembali melamun. Thomas merasa aneh sebenarnya jika berhadapan dengan Alia, ia seperti tidak bicara dengan Alia, karena Thomas hanya bisa melihat mata Alia saja. Namun lama kelamaan Thomas terbiasa. "Thom, ada yang ingin aku ceritakan." Alia berdehem, meletakan sendok yang sejak tadi dipegangnya. "Kamu masih ingat Kak Amira, anaknya tante Fatma. Dulu menjadi tetangga kita saat kita tinggal di Semarang." Thomas mengangguk, ia masih ingat. Sosok Amira yang selalu mengenakan hijab besar, sangat anggun dan ketika berucap suaranya lemah lembut, tidak pernah sekalipun berani menatap Thomas. "Ingat juga tidak, Kak Rafa. Senior SMA ku dulu. Yang mengantar aku ke rumah waktu hujan deras?" Thomas mengiyakan, ingat betul betapa dulu Alia sangat tergila-gila pada lelaki bernama Rafa itu, besoknya Alia bahkan tak pernah absen menceritakan tentang sosok Rafa pada Thomas. Pada akhirnya Thomas tau Alia cukup kecewa pada kenyataan bahwa agama mereka bertolak belakang "Mereka sudah menikah Thom." Thomas terkekeh"Kau tak rela?" Alia menggeleng, gadis itu menghembuskan nafasnya kasar "Kak Amira sudah meninggal, waktu melahirkan bayi pertama mereka." Thomas diam, menghentikan leluconnya "Aku turut berduka. Lalu, apa masalahnya?" Alia menatap Thomas lekat, ia sudah menahan diri untuk tidak menceritakan masalah gila ini dengan Thomas "Bagaimana kalau Kak Amira memintaku untuk menikah dengan Kak Rafa sebelum kematiannya?" Thomas berdecak "Jangan mengada-ada Al. Itu aneh sekali, anganmu kejauhan." "Aku serius. Mereka bahkan menemuiku seminggu lalu, di airport mengatakan semuanya. Aku sangat bingun. Aku mencari cara untuk mengatakannya padamu, namun rasanya sangat sulit." Thomas diam membisu, cukup tau kalau Alia sangat serius. Tapi apa yang baru saja Alia katakan amat sangat gila. Thomas tidak mau adiknya menikah dengan duda, meski mungkin saja Alia masih mencintai Rafa setengah mati, bukan hanya duda, Thomas juga tidak mau adiknya menikah hanya karena amanat dan tidak menemukan kebahagiaan dalam kehidupan rumah tangganya nantinya. Hanya Thomas yang tau betapa banyak rintangan yang Alia lalui selama ini. Thomas menyaksikan semuanya. Thomas belum siap jika Alia kembali sakit karena pernikahaan aneh itu. "Tidak Al." Thomas menolak tegas, suaranya menggema, memastikan Alia tidak bisa membantah. Thomas kembali menatap Alia lekat, mulut Alia hampir terbuka, siap membantah. "Aku tau kau akan membantah. Kau masih mencintainya kan?" Thomas menggeleng "Tidak Al, aku yakin dilubuk hatimu. Kau pun tak yakin dengan pernikahan ini. Dia pasti masih mencintai mendiang istrinya." "Aku tau Thom, tapi rasanya..." Tatapan Thomas melembut kali ini "Aku mohon Al, kau tidak sekuat itu untuk menanggung sakit lagi. Sudah cukup." "Thomas, aku sangat mencintai Kak Rafa." Thomas tercekat, Alia sudah meneteskan airmatanya. Thomas paham, bertahun-tahun Alia mencintai pria itu, mengambil keputusan terbesar dalam hidupnya, berpindah agama dan dibenci oleh seluruh anggota keluarganya. Thomas tau Alia merasa sangat senang ketika kesempatan menikahi Rafa datang bagai takdir dari sang pencipta. Seolah meyakinkan keduanya memang layak bersama. Thomas mengusap rambutnya, frustasi. "Jika dia berhasil mengambil restu Mama dan Papa. Maka kalian berhak menikah. Namun jika tidak, turuti aku Al, jauhi dia." Alia hampir lupa, Thomas memberinya persyaratan yang sulit. Orang tuanya merestui pernikahannya? Alia saja sudah didepak dari rumahnya. Namun Thomas benar, sebuah pernikahan tanpa restu orang tua. Tidaklah sah. Alia mematut dirinya dicermin, mengikat tali niqab berwarna peach nya kebelakang. Alia tidak pernah tau jalan apa yang disiapkan Allah untuknya setiap Alia melangkah. Namun Alia percaya, Allah tak akan pernah mengujinya diluar batas kemampuan Alia. Alia yakin rintangan dan cobaan yang selama ini Alia hadapi karena Allah telah menyiapkan pelangi di ujung jalan yang Alia pilih. Maka Alia ucapkan Bismillah. Alia siap bertemu Rafa hari ini. Fatma menyarankan dirinya untuk datang ke apartemen Thomas, namun Alia menolak, tidak ingin membawa fitnah bagi yang melihat. Fatma juga menyarankan Alia untuk datang ke rumah mereka, namun Rafa menolak, katanya tidak baik seorang perempuan datang ke rumah seorang pria. Highligh Cafe, sebuah kafe dengan nuansa tenang, dengan alunan musik klasik yang menenangkan. Didalamnya cukup ramai, Alia menunggu bersama Thomas. Awalnya Alia ingin pergi sendiri. Namun Thomas menolak, mengomel pada Alia. Tentu saja, Alia bukan anak sebatang kara, ia masih punya Thomas untuk mengurus sebuah khitbah. Meski Thomas tidak mengerti apapun tentang khitbah jika saja Alia tidak menjelaskannya selama di perjalanan tadi "Khitbah itu ketika pihak lelaki mengungkap keinginan untuk menikahi seseorang perempuan. untuk nanti dibicarakan dengan pihak yang terlibat Thom," Begitulah kalimat yang Alia jelaskan pada Thomas, meski setelahnya banyak sekali pertanyaan yang muncul diotak Thomas, Alia duduk dengan anggun, sementara Thomas duduk disamping Alia, menjadi perwakilan dari keluarga Alia. Dari kejauhan Alia dapat melihat sosok Rafa yang mengenakan kemeja hitam, menenteng jas berwarna abu miliknya, dasinya sudah tidak terlalu rapi, begitupun rambutnya. Nampaknya, Rafa sedang sangat sibuk namun memilih menyempatkan diri untuk menemui Alia, sementara Fatma berjalan lebih dulu, mendahului Rafa. Fatma memeluk Alia erat, menatap Thomas dengan pandangan mengingat-ingat. "Astaga nak Thomas, ini kamu ya? Iya kan!" Fatma menepuk bahu Thomas, lebih tepatnya memukul. Thomas berniat mengaduh, sebelum Alia memberinya pelototan, meminta Thomas untuk menerima saja perlakuan Fatma. "Eh iya tante. Tante apa kabar?" Thomas berusaha tersenyum, nampak bahagia. Alia tertawa. "Baik, Alhamdulillah. Kamu gimana. Ganteng banget ya kamu sekarang?" "Udah nikah ya?" Thomas menggeleng, tersenyum pelan. Fatma kembali nampak heboh "Mau tante jodohin. Sama anak temen tante, cakep lho. Mau kan?" Rafa berdehem "Bun, lebih baik pesan dulu. Sebelum memborbardir orang dengan acara jodoh menjodohkan." Fatma cemberut, kesal sekali. Belakangan ini Rafa menjadi sosok yang sangat serius. "Yasudah, Bunda pesan dulu ya. Kamu mau apa Raf?" "Kopi saja Bun. Terimakasih." Fatma berlalu, memilih memesan. Rafa menyampirkan jasnya disandaran kursi, memilih duduk berhadapan dengan Thomas. Tidak mau tiba-tiba menjadi canggung kalau nanti menatap mata Alia, belakangan ini Rafa berfikir keras, mata Alia nampak tak asing diingatannya. Mata berwarna coklat madu yang sangat cerah. "Maaf ya, Bunda memang suka sekali menjodohkan orang." Thomas terkekeh, menggeleng kaku "Tidak apa, maklum. Ibu ibu kan suka begitu." "Apa kabar, Al?" Alia gelagapan, Rafa tidak memandangnya sama sekali, Rafa bertanya karena ia tidak mau merasa canggung. "Alhamdulillah. Al baik-baik saja Kak." "Apanya yang baik Al, kamu sakit berhari-hari." Alia mendelik, menatap memelas pada Thomas. Kadang Thomas memang suka sekali keceplosan. "Kamu sakit?" Rafa tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya. "Em iya. Cuma demam." "Lain kali jaga kesehatan." Alia mengangguk, merasa seperti anak kecil yang dimarahi. Thomas merasa sangat gemas dengan interaksi keduanya, mereka tak saling menatap. Alia benar, Rafa adalah laki-laki yang sangat langka. Bukan karena Thomas menyukai Rafa. Tapi sebagai lelaki, Thomas tau, seorang laki-laki pastinya akan sangat susah untuk tidak memandang keindahan bernama perempuan. Namun Rafa sangat menjaga pandangannya. Memuliakan Alia. Bahkan Thomas tau kenapa Rafa lebih memilih untuk duduk berhadapan dengan Thomas ketimbang Alia, semata-mata hanya untuk menjaga pandangan mereka. Beberapa menit berlalu, mereka lebih memilih untuk makan tanpa sepatah kata, Rafa adalah tipe orang yang memilih untuk tidak berbicara atau mengobrol ketika makan. Fatma tau itu. Padahal Rafa tidak memakan apapun, hanya kopi saja, begitupun yang lain. Namun mereka lebih memilih diam, menikmati acara makan mereka. "Bismillah Al, saya ingin tau jawaban kamu tentang khitbah saya." Semuanya diam, mendadak suara ramai tak terdengar. Alia gugup, dan entah kenapa Thomas dan Fatma pun sama. "Biar Kakak saya, Thomas saja yang menjelaskan." Thomas berdehem "Maaf sebelumnya, tidak ada maksud menolak. Tapi kami sedikit punya masalah keluarga." Alia tidak tau apa harus menceritakan masalah keluarga mereka, namun Alia serahkan semua ke Thomas. "Dalam keluarga kami, Alia adalah satu-satunya yang beragama Islam, kami sekeluarga beragama Kristen. Orang tua kami, tidak menerima keputusan Alia yang berpindah agama. Namun entah apa alasannya, Alia kekeuh memeluk agama Islam. Keluarga kami sudah tidak menganggap Alia sebagai bagian dari keluarga sejak hari dimana Alia memeluk agama Islam." Thomas tercekat menunggu reaksi Rafa yang masih diam. "Sebuah pernikahan, tidaklah sah tanpa restu dari orang tua." Rafa menarik nafas panjang "Saya akan meminta ijin untuk menikahi Alia kepada orang tua kalian." Thomas dan Alia diam, tidak menyangka Rafa akan berinisiatif sendiri untuk meminta restu tanpa perlu Alia jelaskan lagi. Jika memang pernikahaan ini akan terjadi, maka Alia yakin bahagianya adalah bersama Rafa. Selama apapun itu Alia akan menantinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD