Dia

1087 Words
“Mampus aku.” lirihnya saat netra Pandu yang sedikit mengantuk itu bertemu dengan pemilik yang akan meruntuhkan dunianya. “Sayang? Ngapain di sana? Sini! Kenalin ini Tari, anak teman Mama. Sengaja Mama suruh datang ke sini supaya bisa bikinin Mama kue sarang semut, dia ini pinter banget bikin kue, iya kan, Sayang?” tutur mama Pandu dengan tawanya yang renyah dan bersemangat. Gadis bernama Tari itu hanya nyengir dan mengangguk canggung ke arah Pandu. Pandu pun mendekat, mengulurkan tangannya sebagai rasa hormatnya dengan mamanya, “Pandu.” ucapnya memperkenalkan diri. “Tari.” Pandu tersenyum masam mendengar nama itu lagi. “Duh! Anak Mama manis banget.” Mama Pandu pun menarik tangan Tari dan membawanya ke dapur untuk membuat kue yang tadi sempat dia bicarakan. Tidak peduli dengan putranya yang sedari tadi mencuri pandang ke arah anak temannya karena sepertinya rencananya berhasil saat ini. Pandu berjalan pelan ke dapur, membuka lemari pendingin dan mengambil air minum dari dalam sana, sebuah apel, dan berlalu ke ruang olah raga yang memang ada di rumah besarnya itu. Sebenarnya minum air dingin juga bukan kebiasaannya, hanya saja dia ingin melihat Tari lebih dekat, bahwa itu memanglah Tari yang sama dengan Tari yang pernah dia temui. Air minum dingin dan buah apel itu pun hanya digeletakkan oleh Pandu, dan dia segera naik ke alat yang bergerak lambat hanya untuk berjalan santai melemaskan otot-otot kaki dan juga seluruh badannya. Hingga tubuhnya memanas dan dirinya menjadi berlari untuk mendapatkan keringat setelah bangun tidur hari ini. Sampai sendinya sedikit lemas dan keringatnya yang bercucuran. Pandu mematikan mesin itu dan berganti mengangkat beban sedikit berat untuk menambah masa otot lengan dan juga perutnya agar tidak menggelambir. Pandu suka melihat tubuhnya yang terlihat sempurna saat berkaca, itulah yang membuatnya mencintai olah raga. 'Ceklek.' Pandu menoleh mendengar pintu ruang olah raganya seakan sengaja terbuka, dan berakhir dengan mengacuhkan seseorang yang masuk dengan membawa entah apa sambil tersenyum ke arah Pandu. “Hm ... kuenya baru matang, aku pikir sedikit makanan manis tidak akan membuat perutmu buncit.” Pandu menaruh barbelnya dan menoleh, “kamu tahu kenapa kamu ada di rumahku?” Sosok itu mengangguk mantap. “Tahu kalau itu artinya kita akan dijodohkan?” tanya Pandu dan tetap dijawab anggukan juga, “lalu? Rizky?” Pandu sengaja menanyakan itu di awal pertemuan ini karena tidak mau persahabatannya hancur hanya karena seorang wanita saja, itu akan sangat memalukan. “Aku masih mencintai Rizky,” jawab Tari, “tapi aku juga tidak bisa menolak permintaan bundaku. Kupikir kita bisa sedikit bersandiwara di depan orang tua kita.” imbuhnya lagi. Pandu terkekeh merasa gadis di depannya ini sangat licik dengan permainannya, “silakan bersandiwara. Aku tidak ikut.” Pandu pun segera berdiri dari duduknya, berniat meninggalkan ruang oleh raga itu. “Tapi kita harus, Mamamu kena kanker dan umurnya tidak lama lagi.” 'Deg.' Ucapan itu sukses membuat Pandu berhenti sempurna, bagai mana mungkin mamanya menyembunyikan semua ini darinya dan malah memberi tahukannya pada orang asing. “Kamu mau membohongiku?” tanya Pandu sambil berbalik dan mendekati Tari, dia tidak suka ada orang yang mempermainkan kesehatan mamanya seperti saat ini. Tari beringsut, Pandu yang terlalu dekat membuat jantungnya berdebar. Meski sangat sadar jika Pandu adalah sahabat pacarnya, yaitu Rizky, tetap saja tubuh yang terpahat sempurna di depanya ini membuatnya menelan ludah. Tonjolan otot di balik kaos basah yang dikenakan dan mendapatkan cetakan keringat itu pun, membuat Tari ingin menyentuh, apakah otot itu juga liat dan keras, atau empuk seperti roti kasur buatannya? “Melihat apa? Tatapanmu liar sekali.” ejek Pandu yang tahu Tari sedikit gugup. Tari pun sadar, mungkin tatapannya tidak sopan ke Pandu, “mamamu memberikan suratnya ke pada bundaku.” jawab Tari pelan, takut salah dan akan membuat Pandu lebih marah lagi. Pandu pun merasa ucapan itu bukan sebuah dusta, dia pun memutuskan untuk ke luar dan meninggalkan Tari sendirian di ruang olah raganya, dan akan menanyakan ke mamanya perihal kebenaran surat yang Tari ceritakan itu, dan soal Rizky, Pandu memutuskan akan mengurusnya nanti saat kebenaran penyakit mamanya sudah terkuak. Tari menghela napasnya panjang dan dalam, “kenapa bisa seperti ini? Kalau Rizky tahu dia pasti akan membunuhku.” monolognya sendiri. Tari pun mengambil kue yang tadi ingin dia berikan ke Pandu tadi tidak jadi, dan tidak sengaja menemukan botol minum yang permukaannya sudah mengembun, dan juga buah apel yang masih utuh seakan tidak tersentuh, atau bahkan memang Pandu tidak berniat memakan dan meminum semua ini tadi. Tari segera memungutinya dan membawanya kembali ke dapur, rasanya sangat sayang jika harus membuang makanan yang masih cukup layak ini. “Sayang? Kok kuenya masih utuh?” tanya mama Pandu ke Tari. Tari pun yang baru saja memasukkan botol minuman dingin kembali ke kulkas, juga apel yang masih utuh itu, sedikit terkejut meski berusaha bersikap biasa saja, “anu Tante, Pandu sudah gak di ruang olah raga, mungkin mandi karena kata bibi baru saja ke luar dari sana.” dusta Tari. “Tumben? Biasanya dua jam di dalam sana. Ya sudah, kamu taruh sana saja, habis ini kita ke luar ya? Kamu harus mau Tante ajak belanja bahan kue setelah ini, Tante mau pinter bikin kue kayak kamu sama bundamu.” ajak mama Pandu. “Iya, Tante.” Tari pun segera membereskan semuanya dan segera duduk di ruang keluarga untuk menunggu mama Pandu yang mungkin sedang berganti baju. Sedangkan mama Pandu malah ke atas, ke kamar putranya itu dan menyelonong masuk saat pintu kamar putranya itu tidak terkunci, “Sayang? Sudah selesai mandinya?” Pandu yang sedang memilih pakaian yang akan dia kenakan hanya tersenyum saat menoleh dan mendapati mamanya di kamarnya. “Cepet ganti bajunya, habis ini antar mama belanja, kan hari minggu, kamu juga gak ke kantor kana bantu papa.” “Papa ke mana? Biasanya Mama sama papa?” tanya Pandu yang kini tengah menyisir rambutnya dan memakai lotion di kaki dan juga tangannya. Pandu sengaja memakai celana pendek dan kaos santai karena merasa hanya akan bersantai di rumah seharian nanti. “Papa main golf. Sudah jangan banyak tanya, Mama tunggu di bawah, okey?” mama Pandu pun segera ke luar dan berpikir akan menunggu putranya di bawah saja bersama dengan Tari. Pandu yang baru saja menyelesaikan semua ritual agar penampilannya terlihat sempurna menurutnya, segera menyambar ponsel dan juga kunci mobilnya yang semalam dia bawa ke kamarnya, dan turun untuk mencari mamanya. “Itu Pandu, ayo Sayang kita berangkat.” kata mama Pandu dan segera menarik tangan Tari. Sedangkan Pandu hanya memutar bola matanya malas karena merasa ini adalah salah satu rencana mamanya untuk mendekatkannya dengan Tari.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD