Berbeda

1176 Words
Pandu hanya diam, tidak banyak bicara. Selain malas dengan godaan yang dilontarkan mamanya, Pandu juga malas dengan Tari yang seakan menikmati semua permainan ini. “Sayang, Tante angkat telepon dulu ya.” kata mama Pandu saat mengobrol dengan Tari, dan Tari pun mengangguk sambil tersenyum setelahnya. “Ya? ... okey ... deket-deket kok dari sini ... iyaaaa ... da-da.” mama Pandu terlihat mematikan ponselnya, “Mama turuni di depan ya, temen Mama telepon mau ngajak ngobrolin soal arisan.” pinta mama Pandu setelah menoel pundak putranya. Pandu hanya mengangguk, malas mau menjawab apa. “Trus, Tante? Tari gimana?” Tari tidak enak kalau harus semobil dengan Pandu saja. “Biar nanti dianterin sama Pandu, ya, Sayang?” Pandu pun mengangguk kembali merasa menolak pun juga akan percuma. “Maaf.” ucap Tari setelah mama Pandu turun dan beralih duduk di samping Pandu. “Buat apa?” tanya Pandu cuek. “Aku rasa tante sengaja deh, bikin kita semobil.” Pandu diam. “Aku jadi gak enak sama kamu.” Masih diam. “Aku cuma mau tante segera sehat aja, aku tahu kamu sudah punya cewek kok, mungkin tante kurang suka.” Tetap diam. “Aku turun di depan aja, aku pulang naik taksi, kamu repot kan?” Cittttt. “Astaga!” Tari terpental ke depan meski tidak sampai melukai dirinya karena sabuk pengaman yang bekerja dengan sempurna, semua karena Pandu mengerem mobil dengan sangat dalam dan spontan. Pandu menoleh dan menatap Tari tajam, “alamatmu mana?” “Jalan, jalan seruni nomor 27.” jawab Tari dengan jantungnya yang berdebar mau copot, Pandu bisa membuat Tari mati berdiri rasanya. Pandu pun melajukan mobilnya kembali dan bersikap biasa saja, seakan tidak terjadi apa pun. Mengendarai mobil yang biasa dia bawa ke mana pun itu dengan pelan dan nyaman, tapi Tari tetap mengambil napasnya panjang dan dalam selama beberapa kali, sangat terkejut dengan kejadian yang baru saja terjadi itu. “Terima kasih.” ucap Tari setelah turun dari mobil Pandu, dia berada di depan rumahnya saat ini. 'Tin.' Tidak ada jawaban lain selain klakson yang hanya berbunyi sekali dari mobil Pandu, berputar dan pergi dari rumah Tari. “Dasar orang aneh.” gerutu Tari sepeninggal Pandu, merasa dirinya bisa mati kapan saja kalau benar-benar bersama dengan Pandu. Pandu kembali ke rumahnya, semua karena dia tidak punya rencana untuk ke mana pun hari ini. Bertemu dengan Rizky pun juga tidak akan asyik kalau masih siang seperti ini. Pandu berpikir nanti sore akan ke kafe Rizky dan membicarakan masalah ini. “Mama?” tanya Pandu sesampainya di rumah. Mama Pandu pun nyengir melihat putranya, “kok cepet? Kamu langsung anterin Tari pulang? Gak maen dulu?” Pandu mendengus, “entahlah, Ma. Pandu ke kamar dulu.” berjalan dengan malas ke kamarnya karena merasa hidupnya sebentar lagi akan jungkir balik setelah ini. Sinar mentari sudah berganti dengan cahaya hangat sang rembulan. Pandu yang sudah bersiap dengan pakaian santainya, turun dan memeluk mamanya. Meski semarah apa pun tidak akan pernah bisa dirinya marah dengan mamanya itu, “Ma, aku mau ke kafe Rizky.” lirihnya sambil mencium pipi mamanya. “Jangan pulang malam, atau pulang bawa cewek gak pa-pa, asal cewek baik-baik.” pinta mamanya itu. Pandu terkekeh, “kalo Papa minta dibawain apa?” ejek Pandu dengan permintaan mamanya itu. “Samain aja, Papa pengen punya cucu.” Papa Pandu mengangkat tangannya dan tos dengan istrinya yang duduk di sebelahnya itu. Pandu pun mendengus, “ya, nanti aku bawain lima.” “Heleh. Satu aja belom dapet kamu.” jawab mama Pandu. “Kalo dapet lima, hotel yang di Bali, langsung Papa balik jadi nama kamu.” kali ini papa Pandu yang meledek putranya itu. Pandu menjadi terkekeh, papa dan mamanya ini sangat kompak kalau soal beginian, “Pandu berangkat dulu, cari mantu.” “Jangan ngomong aja.” Papa dan mama Pandu mengatakannya dengan kompak untuk mengompori putranya itu, dan di balas gelengan oleh Pandu. “Hey, Bro.” sapa Pandu sambil menepuk pundak Rizky, melihat sahabatnya sedang menghitung entah apa di layar laptopnya. “Tumben malem, ngajak dugeem?” tanya Rizky. Pandu pun terkekeh, “tiap malem gitu? Lemakmu kapan bagusnya?” “Badanmu bagus gak pernah kamu tampilin ke cewek, buat apa?” Rizky memang tahu kalau Pandu menyukai olah raga dan bisa dipastikan ada sesuatu yang bagus di balik kemeja itu, berbeda dengan perutnya yang sedikit buncit. Tapi dia tetap mensyukuri bagai mana pun badannya. “Ngeledek, Lu.” Pandu menonyor punggung sahabatnya itu. “Sayang... .” Pandu dan Rizky menoleh, dengan Rizky yang tersenyum dengan ceria sedangkan Pandu merasa malas bertemu dengan Tari juga di kafe malam ini. Tari pun segera memeluk Rizky dan mengecup pipinya juga, memang dia biasa melakukan itu saat bertemu dengan Rizky. “Sudah makan?” tanya Rizky. “Belum. Kamu masak apa?” Tari tahu kekasihnya itu adalah koki terbaik, itulah kenapa dia sangat mencintai pemilik kafe yang sebagian besar adalah menu buatannya sendiri itu. “Steak? Sama kentang?” tawar Rizky. Tari pun mengangguk, sangat suka jika kekasihnya sudah menawarkan makanan itu. Rizky pun berdiri dan segera menuju ke dapur kafenya, lebih suka memasak sendiri jika orang spesial yang ingin menyantap di kafenya ini. “Kamu ngapai ke sini?” tanya Tari. “Ngomongin masalah kita.” jawab Pandu cuek. “Apa?!” ulang Tari sedikit memekik, “kamu mau bunuh aku? Jangan!” “Terus? Mau kamu apa?” “Aku janji cari jalan ke luar yang lebih baik, tapi jangan bilang sama Rizky.” Pandu terkekeh, “kamu mau pacaran sama Rizky? Terus kalo di depan mama pacarannya sama aku? Aku gak mau tanganmu yang habis megang Rizky kamu buat untuk megang aku.” Tari pun berdiri berkacak pinggang dan melotot ke arah Pandu, “aku bukan cewek seperti itu ya, asal kamu tahu ...“ sedikit berjalan dan berniat mendekati Pandu untuk memakinya, tapi naas kakinya malah keplicuk oleh sandal hak tinggi yang dia kenakan sendiri, “akh!” pekiknya saat tubuhnya malah roboh dan menubruk Pandu. Pandu tentu saja menangkap Tari karena refleksnya yang tidak mungkin membiarkan Tari terjatuh ke tanah jika dia tidak menangkapnya. Saat netra mereka bertemu dan sangat dekat, Pandu merasakan hal yang lain. Tari terlihat lebih cantik dan ada nada manis di wajahnya, matanya besar dan hidungnya juga mancung, ada tahi lalat di ujung hidung itu, membuat Pandu merasa Tari sangat lucu, pasti akan menyenangkan jika memencet hidung itu saat Tari marah atau cemberut. Pandu merasa Tari mampu menyedot kewarasannya, entah di bagian mana tapi Pandu suka. Masih terlalu dini untuk mengartikan ini perasaan apa, tapi Pandu mulai berpikir, mungkin mengikuti permainan yang disarankan oleh Tari akan menyenangkan. Tari pun juga sama. Saat netranya bertemu seperti saat ini, Pandu terlihat lebih memesona. Tangannya yang memeluk pinggangnya erat seakan sangat menjaganya dan mengisyaratkan takut jika sampai tubuhnya ini jatuh ke tanah. Tari melihat bola mata Pandu yang berwarna kebiruan, sangat menarik perhatiannya, hidung mancungnya, rahang tegasnya. Pahatan itu lain dibanding dengan milik Rizky, kekasihnya. “Tari!” teriak seseorang membuyarkan pikiran ke duanya. 'Plak.' Satu tamparan mendarat tepat di pipi Tari.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD