bc

DIPAKSA KAWIN LARI

book_age16+
4.6K
FOLLOW
33.3K
READ
family
love after marriage
fated
friends to lovers
drama
sweet
first love
friendship
Writing Academy
like
intro-logo
Blurb

Giva hamil!

Diperkosa oleh Gerry Laskar Prianto, mantan pacar yang sangat terobsesi padanya.

Naas, ia pun kemudian dipaksa kawin lari tanpa ia sadari.

chap-preview
Free preview
Bab 1 Putus
Gerry berdiri dengan kakinya sendiri. Badannya yang tegap dan tinggi nampak gagah diterpa sinar rembulan. Malam sudah hadir dan dia masih berdiri dengan gagah di depan rumah kontrakan milik seseorang yang sangat ia cintai.      Giva!      Suara petir perlahan terdengar. Giva yang berdiri di balik pintu mencelos. Bagaimana jika hujan dan Gerry masih kukuh menunggunya di depan rumah?      “Gi, gue bakal nunggu sampai pagi di sini! Gue enggak peduli bakal ujan atau badai sekaligus yang pasti gue enggak mau putus! Gue mau kita balikan! Titik!” teriakan Gerry terdengar sampai di telinga Giva. Wanita itu mendesah lalu mengintip lewat tirai jendela. Gerry sudah mulai kehujanan.      Ya ampun!      Giva menahan dirinya untuk tidak kasihan terhadap Gerry. Pria itu benar-benar gila. Cinta itu benar-benar buta dan tuli!      Mempertahankan egonya, Giva pun akhirnya beranjak. Pintu kamar terbuka dan ia memutuskan membiarkan Gerry kehujanan di luar sana. Dia tidak menyuruh Gerry melakukan itu. Dia mau sendiri. Jadi bukan urusannya, kan?      Gerry mulai flu. Beberapa kali ia bersin dan matanya benar-benar memerah dan air mata itu jatuh di pipinya. Mengalir bersama air hujan yang membasahi seluruh tubuhnya. Dinginnya air hujan. Dinginnya angin yang ikut bersama hujan. Semua tidak sebanding dengan dinginnya hatinya. Dia tidak akan pernah membenci Giva. Dia cinta!      Matanya terpejam dan kondisi tubuhnya drop. Dia pingsan setelah 5 jam berdiri di depan rumah kontrakan pacar yang baru memutuskannya. Dia pingsan karena lelah berdiri sambil menahan dinginnya air hujan selama 4 jam. Dan, dia benar-benar pingsan karena perasaannya yang ikut tersakiti karena sudah menyakiti hati wanita yang dia cintai.   ***        Gerry tersadar saat merasakan bau yang menyengat di sekitar hidungnya. Matanya terbuka dan tidak tahu siapa yang berada di hadapannya. Pria tua berpeci hitam menatapnya simpati.      “Mas, enggak apa-apa, kan?” tanya ibu-ibu yang berdiri. Kerudungnya yang berwarna maroon terlihat menutupi hampir seluruh bagian atas tubuhnya.      “Saya ada di mana, Pak?” Gerry menahan tubuhnya agar bisa duduk sambil menatap pria berpeci hitam yang ia lihat.      “Kamu ada di rumah Bapak, tadi Bapak lihat kamu pingsan pas mau ke masjid buat shalat shubuh. Kamu semalam kehujanan?”      Gerry tidak menjawab. Kepalanya masih pening. Terpaksa dia membaringkan lagi badannya lalu menjawab hanya dengan anggukan kepala.      “Ya sudah kamu istirahat dulu saja, kamu pasti masih lemas.”      Gerry mengangguk mendengarkan ucapan Pak Taufik, Bapak yang sudah menolongnya tadi.      Ibu Nuaimah beranjak bersama suaminya. Duduk di kursi makan yang ada di dapur. “Ibu kok kayak enggak asing lihat muka anak tadi, Pak?”      “Bapak juga merasa begitu, kayaknya anak itu yang sering main ke rumahnya Neng Giva deh, Bu.”      “Ya bener, yang biasanya pakai mobil mahal itu kan. Yang biasanya di parkir di depan gang.”      “Pantesan berangkat dan pulang dari pasar buat beli bahan buat bubur tadi ibu lihat mobil itu di depan gang.” Ibu Nuaimah mengingat lagi. “Kenapa ya, Pak?”      “Sudah, Bu. Jangan berprasangka buruk mengenai urusan orang! Itu buburnya udah mateng belum?”      Ibu Nuaimah buru-buru beranjak. Mengambil mangkuk kemudian menyendok bubur yang masih panas. Setelah siap, Ibu Nuaimah kembali ke kamar yang ditempati Gerry.      Nampak anak laki-laki berambut hitam yang panjangnya sebahu menyandar di kepala tempat tidur. Sejak tadi Gerry melamun, memikirkan sang pujaan hati. Giva. Dia tidak mau jika harus putus dari Giva.      “Kamu sudah bangun, Nak?” tanya Ibu Nuaimah sambil meletakan mangkuk berisi bubur di atas meja kecil di samping tempat tidur single itu.      Gerry tidak membalas. Mulutnya terasa kaku. Dia hanya memperhatikan Ibu Nuaimah. Merasakan senyuman Ibu Nuaimah membuatnya merasa nyaman.      “Nama Ibu, Nuaimah. Kamu bisa panggil Ibu Nuaimah atau Ibu Imah. Nah kalau Bapak yang tadi itu, Pak Taufik suami Ibu. Kalau nama kamu siapa, Nak?”      “Saya Gerry, Bu. Makasih sudah nolong saya,” ungkap Gerry tulus.      Ibu Nuaimah tersenyum lalu menyodorkan mangkuk bubur kepada Gerry. “Makan dulu, Nak Gerry! Kalau sudah nanti kamu minum obat ini ya?”      Gerry mengangguk. Ibu Nuaimah meninggalkan Gerry saat melihat anak lelaki yang baru dikenalnya itu mulai makan dengan perlahan. Gerry meminum air dan obat yang diberikan Ibu Nuaimah setelah selesai makan. Dia pun kembali tertidur.   ***        Giva duduk di kursi penumpang. Bus yang membawanya menuju ke daerah perkantoran berjalan dengan pelan. Setelah turun dari bus, Giva berjalan sebentar dan masuk ke area kampus yang berada di belakang perkantoran yang tadi dia lewati.      Tania menyapanya. Gadis berambut hitam dan diikat kuncir kuda itu berlari menghampirinya. “Giivaa….”      “Hai, Tan!” Giva menyapa balik. Mereka berdiri saling berhadapan dan beberapa detik kemudian Tania membisiki telinga Giva.      “Gerry lagi di gudang belakang. Dia nyari elu sejak jam 12 siang.”      Giva menatap Tania lalu mengajaknya duduk di tangga yang sedang mereka pijak. “Gue udah putus sama Gerry.”      “What?” Tania kaget bukan main. Kepalanya menggeleng lalu bergumam, “Lu becanda kan, Gi?”      “Buat apa gue bohongin elu, Tan. Gue udah putusin si Gerry. Capek gue jadi mangsa dari fans-fansnya yang kanibal itu.”      “Wait, wait, jadi elu mutusin Gerry cuma gara-gara fans-fansnya Gerry? Ya ampun, Giva oon! Lu gila ya! Lu tuh cewek paling beruntung, udah bisa dapatin Gerry yang prince charming di kampus ini. Dan elu mutusin dia? Bener-bener s***p!”      “Terserah lu mau bilang gue s***p, gila, oon. Pokoknya cukup deh gue berurusan sama Gerry. Gue ke Jakarta buat kuliah. Gue enggak mau pacar-pacaran lagi. Gue harus menstabilkan IP gue. Jangan sampai beasiswa gue dicabut! Ya ampun.”      “Iya sih, Gi. Gue ngerti keadaan lo. Tapi kan kasian Gerry.”      “Kasian gue juga dong!” tukas Giva cepat. Tania mengangguk lalu berdiri.      “Pokoknya temuin Gerry dulu. Lu harus ngomong baik-baik sama tuh anak,” Tania menarik Giva menuju gudang belakang kampus yang cukup jauh dari aktifitas mahasiswa di kampus itu.      Giva akhirnya tidak punya pilihan lain. Tania sudah meninggalkannya dan berlalu menuju kantin. Dengan keberanian yang ia berhasil kumpulkan kembali, dia duduk di lantai, di luar gudang kampus. Di samping Gerry yang duduk di sampingnya.      Giva sangat kaku. Dia duduk dengan jarak 1 meter di samping Gerry. “Nyuruh gue ke sini, ada apa?” tanyanya kemudian.      Gerry melirik sebentar lalu kembali memalingkan wajahnya dari Giva. “Gue enggak mau kita putus,” katanya tegas.      “Ini lagi yang lo bahas?” Giva mendengus kesal. “Gue juga enggak mau kita balikan!”      “Kenapa harus gini sih?” bentak Gerry. Matanya mulai memanas. Dia menatap Giva yang mulai ketakutan. “Gue sayang banget sama lu, Gi. Gue sayang banget!” Perlahan tangan Gerry merengkuh wajah Giva. Mendekatkannya dan menempelkan keningnya pada kening Giva.      Jantung Giva berdebar. Takut sekaligus menguatkan dirinya. “Gue enggak bisa. Titik!”      “Tapi ini masalah sepele. Masa cuma gara-gara ...”      “Gue mohon, Ger. Kalo lo bener sayang gue. Lupain gue! Gue enggak bisa mempertahankan hubungan ini. Gue enggak bisa. Please ngertiin gue. Kali ini aja. Kita bisa temenan!”      “Tapi gue enggak bisa. Gue enggak mau kita temenan. Gue sayang elo, Gi, gue cinta elo, Yang!”      Giva mengerang kesal. Dengan hentakan yang cukup keras dia melepaskan lengan Gerry yang hampir saja memeluknya. “Kita putus. Lo ngerti kata-kata gue, Ger! Bye.” Dengan cepat Giva berlari menjauhi Gerry yang menunduk kesal. Dia tidak mau. Dia tidak mau putus!      “Kalau bukan gue yang miliki lo. Orang lain juga enggak boleh milikin lo, Gi. Lo milik gue. Gue bakal pastiin itu, Gi.” ujarnya penuh dendam.   ***        Giva kembali memfokuskan dirinya pada makanan di depannya. Memakannya malas-malasan lalu beranjak dengan hati panas menuju kamar mandi. Dia duduk di atas toilet dan diam. Menenangkan dirinya atas apa yang terjadi padanya di gudang tadi.      “Tahu enggak? Katanya nih sejak mutusin ceweknya itu Gerry sering clubbing lagi. Awalnya sih gue kira hoax. Eh, pas kemarin gue nemuin dia di kelab malam biasa. Dia gandeng 3 cewek sekaligus,” ujar seorang mahasiswi sambil masuk ke toilet. Berdua. Dengan teman wanitanya yang sama-sama suka bergosip.      “Gila! Kayaknya Gerry bakal balik kayak dulu lagi deh. Pokoknya nanti malam gue mau ngerayu Gerry ah! Bisa aja kan gue jadi pacar barunya gitu.”      Terdengar tawa dari cewek berambut ikal lalu dia membalas, “Matre banget sih lu, Rin. Enggak bisa banget ngelihat cowok tajir!”      Cewek yang dipanggil Rin hanya mampu tertawa. “Gerry super tajir gitu siapa sih yang enggak mau? Oh iya, yang enggak mau cuma cewek miskin b**o itu. Jijik gue ke tuh cewek. Sok suci banget mukanya!”      Giva merasakan debaran yang sangat keras. Dia sedang dibicarakan dan hanya mampu diam. Mendengarkan dan merasakan kekalutan, ketakutan, dan kemarahan itu bercampur menjadi satu. Belum cukupkah bagi dirinya untuk tahu bahwa Gerry sudah berubah? Sekarang bukannya mendapat ketenangan dia malah mendengarkan obrolan basi seperti ini.      “Gue juga enggak ngerti, kenapa sih Gerry bisa suka sama tuh cewek kampung. Pasti pelet dia kuat banget!”      “Pelet apaan, baju aja kayak enggak pernah ganti gitu. Miskinnya pasti kebangetan. Mana mampu dia pakai pelet. Udah yuk ah cabut!”      Setelah yakin orang-orang yang membicarakannya pergi, Giva ke luar dari bilik kamar mandi. Dia mencuci tangan dan ke luar dari kamar mandi.      Langkah Giva terhenti. Terjungkal di lantai karena ada yang menabraknya. “Sorry,” ujarnya pendek sambil mengulurkan tangan.      Giva yang mengenali suara itu mendongak. Gerry!      Tanpa menanggapi uluran tangan Gerry, Giva beranjak dan hendak berlalu pergi. “Tunggu!” Gerry menahan tangan Giva.      “Jangan pegang gue!” bentak Giva sambil menghempaskan tangan Gerry.      Gerry angkat tangan. Dia kemudian menyodorkan kertas berwarna hitam. Kartu undangan pesta ulang tahunnya yang ke-21. “Please datang! Seenggaknya sebagai seorang teman,” Gerry berucap getir di akhir kalimat.      Giva nampak ragu saat menerima kertas undangan itu. “Gue usahain!” Kemudian dia berlalu pergi dengan cepat.      Gerry mendesah tetapi tatap matanya yang tajam terus mengikuti kepergian mantan kekasihnya. Dalam hati sudah berkecamuk sebuah rencana picik, jahat, dan gelap untuk Giva.       Giva harus jadi milik gue! Gue adalah pemilik diri lo, Gi. Gue. Cuma gue!   *** BERSAMBUNG>>>

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

FINDING THE ONE

read
34.5K
bc

Sak Wijining Dino

read
162.0K
bc

Super Psycho Love (Bahasa Indonesia)

read
88.6K
bc

The Naughty Girl

read
101.3K
bc

LAUT DALAM 21+

read
299.7K
bc

CEO and His Cinderella

read
56.7K
bc

Jasmine

read
211.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook