Bab 2 Maaf

1816 Words
Bab 2 Maaf   Pesta itu nampak meriah. Hampir separuh anak kampus datang. Meskipun tidak mengenal Gerry mereka diundang dan nampak menikmati pesta yang diadakan oleh Gerry secara besar-besaran di belakang halaman rumahnya yang luas.      Gerry berdiri di samping seorang wanita paruh baya yang tidak lain adalah ibu kandungnya sendiri.      “Jadi cewek kamu yang lagi duduk pakai gaun warna violet itu?” tanya Bunda, ibu Gerry yang bernama lengkap Ira Iriani yang sudah nampak cantik dengan balutan kebaya hitamnya.      “Dia cantik kan, Bun?” Gerry tertawa riang. Bicaranya pelan. Berbisik-bisik. Karena di depannya sedang berdiri teman-teman seangkatannya yang sedang memberikannya selamat atas ulangtahunnya yang ke-21.      “Cantik! Namanya siapa, Ger?”      “Giva. Lengkapnya sih Givani Sandra, Bun.”      “Namanya bagus seperti orangnya. Bunda mau deketin dia ya?” Gerry menahan tangan Bunda saat beliau bergerak pergi. Saat Gerry menggeleng. Bunda mengerti, ia kembali berdiri di samping anak sulungnya. Bersalaman dengan teman-teman Gerry yang menghampirinya untuk mengucapkan selamat ulang tahun.      Giva dengan tarikan kasar dari sahabat terdekatnya, Tania, mulai menghampiri Gerry yang sedang berdiri bersama ibunya. Hanya mereka berdua.      “Selamat malam, Tante,” Tania menyapa sopan lalu mendekati Gerry. Lantas menjotosnya dan mencubit dengan keras pipi Gerry. “Selamat ulang tahun, sohib gue yang makin tua.”      Gerry tertawa lebar lalu mengacak rambut Tania yang dikuncir setengah. “Makasih ya, Tantan.”      Tania mengerling sambil mengacungkan jempolnya. “Gue enggak suka dikasih makasih. Pokoknya besok lu kudu bin wajib traktir gue mie ayam.”      Gerry mengangguk sambil tertawa. Dia berputar dan matanya bertemu dengan Giva yang sedang berbicara dengan suara yang cukup pelan dengan Bunda. Wajah Giva nampak memerah.      “Enggak, Tante. Saya....” Giva berhenti bicara saat tatapan matanya bertubrukan dengan Gerry. “Saya sudah putus dengan Gerry, Tante!” tegasnya.      Gerry menegang, dia memeluk Bunda dari samping lalu tersenyum tulus kepadanya.      “Ger, Giva bilang kalian berdua udah putus!” protes Bunda. Gerry tidak menjawab tetapi lebih memilih menatap Giva dengan dalam.      “Meski udah putus, Gerry masih sayang sama Giva, Bun. Gerry sangat yakin kalau kita berjodoh,” ujar Gerry mantap. Begitu dalam. Seperti doa yang ia panjatkan setiap detiknya.      Byyuuurr....      Tania menyemburkan minumannya ke depan. Membuat Giva, Gerry, Bunda, bahkan yang berada di sekitar mereka menoleh.      “Jorok banget sih lu, Tan!” ejek salah seorang cewek yang sempat terkena semburan Tania.      Tania menggaruk kepalanya lalu mohon diri ke toilet. Malu karena kecerobohannya.      “Saya juga permisi, Tante, Gerry….” Giva pamit dan menyusul Tania yang berjalan di depannya.      “Sebenarnya ada apa sama kalian?” tanya Bunda bingung.      Gerry tersenyum penuh arti lalu memeluk dengan erat ibunya dari samping. “Bunda hanya perlu percaya sama Gerry!”      Bunda hanya bisa mengangguk. Dia yakin pada anak sulungnya itu. Entah apa itu dia yakin apa yang akan dilakukan Gerry pasti sudah dipikirkan masak-masak olehnya.      Acara tiup lilin terjadi dua puluh menit kemudian. Gerry memberikan potongan bolu ulang tahunnya untuk sang ibu, dilanjut untuk sang ayah, dan terakhir untuk Fani, adik bungsunya sekaligus satu-satunya.      Semakin malam rumah Gerry makin ramai. Minuman mulai dikeluarkan dan alunan musik disko mengalun cepat. DJ Jasmine yang terkenal, menjadi dalang pada malam itu. Semua orang tertawa. Sebagian ada yang sudah mabuk dan sebagiannya lagi ada yang sedang menahan dirinya.      Giva bergerak gusar saat melihat Tania sudah mulai gila. Berdiri di depannya dengan tangan yang memegang gelas kosong. Isinya sudah masuk ke dalam mulutnya.      Tania tertawa-tawa sendiri. Dia terus bergoyang menikmati lagu. Giva perlahan mundur dan duduk. Memperhatikan Tania yang kini diajak temannya yang lain berjoget gangnam style.      “Minum?” Suara yang begitu dia kenali menawarkan gelas kecil berisi wine.      Giva menggeleng lalu menahan gelas yang disodorkan oleh Gerry. Yap, siapa lagi?      Gerry meminum wine yang tadi ditolak Giva sekaligus. “Dance yuk!”      Giva belum sempat menolak saat Gerry segera menariknya menuju lantai dansa. Gerry sudah melenturkan tubuhnya dan mencoba mengajak Giva berjoget bersamanya. “Ayolah, Gi! Enggak usah kaku gitu,” tegurnya lembut.      “Gue mau balik aja, Ger!”      Baru saja berbalik, Gerry membalikkan lagi tubuh Giva. Menyentaknya dan membuat tubuh mereka bertabrakan. Gerry bisa merasakan gelayar aneh dalam dirinya. Kembali berdekatan bahkan bersentuhan dengan Giva sepertinya berdampak besar untuk dirinya.      “Temenin gue malam ini! Lu ratunya malam ini, jadi jangan pergi. Gue mau lu di sini!” Gerry setengah menggertak membuat suasana di pestanya tegang dalam waktu beberapa detik.      Giva memperhatikan sekitarnya dan malu sendiri. Akhirnya dia tinggal dan menemani Gerry di lantai dansa buatan itu. “Jam setengah 11 gue balik,” ketus Giva.      Gerry mengedikan bahunya kemudian mengacungkan tangan kirinya. Dia menjentikan jarinya dan alunan lagu yang tadinya beat berubah menjadi slow. Gerry tersenyum tipis lalu merangkul pinggang Giva untuk mengajaknya berdansa.      Giva menahan rasa malunya, tangannya ia angkat dan bertaut di leher Gerry. Mereka seperti raja dan ratunya malam ini.      “Itu siapa yang sama Gerry, Bun?” Ayah Gerry, Adi Prianto bertanya pada istrinya. Mereka sudah meninggalkan pesta anak sulungnya dan lebih memilih memperhatikan dari atas balkon kamar mereka yang berada di lantai atas.      “Kata Gerry, cewek itu pacarnya, tapi kata ceweknya mereka udah putus, Yah. Bunda aja sampai bingung,” tutur Ira sambil menyandarkan kepalanya di bahu Adi. “Kita masuk aja, Yah! Biarkan anak muda menikmati waktu mereka berpesta.”      Ayah setuju dan mereka masuk ke dalam kamar mereka lagi. Membiarkan teman-teman anak sulungnya berpesta.      “Fan, yang lagi dansa sama kakak kamu tuh siapa? Nempel banget mereka kayak dikasih lem besi,” bisik Egi di telinga pacarnya, Fani, yang tidak lain adalah adik kandung kakaknya, Gerry.      Fani menoleh sebentar ke arah mata Egi tertuju. Giva!      “Itu pacar kakak aku, Sayang. Gerry sayang banget sama dia. Namanya Giva. Adik angkatan dia di kampus gitu.”      “Kita seumuran sama dia dong?” celetuk Egi lagi, masih kepo.      Fani mengangguk. “Begitu deh! Udah deh enggak perlu kepoin urusan Gerry.”      Egi setuju, dia mengambil minuman lalu memberikannya pada Fani. Fani pun segera menerimanya dengan senang hati. Mereka melanjutkan pesta yang diselenggarakan Gerry dan larut di dalamnya.      Gerry mengecup kening Giva tanpa persetujuannya sama sekali.      Giva menegang lalu mendongak. Menatap Gerry dengan ekspresi santai luar biasa. “Jangan malu-maluin!”      Dan tanpa disangka sebelumnya oleh Giva, Gerry sudah mendaratkan ciumannya di bibir Giva. Melumatnya sebentar lalu melepaskannya. “Gue sayang banget sama elo, Gi.”      Giva mendorong Gerry lalu berlari mengambil tas yang diletakannya di kursi yang tadi dibawanya. Dia kembali berlari dan ke luar meninggalkan rumah Gerry. Meninggalkan Gerry yang tidak beranjak dari tempatnya.      Gerry masih merasakan gelayar di bibirnya setelah berciuman dengan cewek yang sudah menemaninya selama 6 bulan. Dan, tanpa alasan Giva memutuskannya. Gerry jelas tidak terima. Dia masih sayang pada Giva.   ***        Giva mengurung dirinya di kamar kontrakan setelah acara pesta itu. Itu pertama kalinya bibirnya disentuh oleh bibir pria lain sejak ia beranjak remaja. Padahal saat pacaran dulu Gerry sangat menghargainya. Mereka sering jalan tapi sekedar berpegangan tangan dan saling senyum malu-malu. Tapi apa yang terjadi malam itu berhasil membuat Giva shock berat.      Ketukan pintu depan kontrakannya mau tidak mau membuat Giva beranjak. Dia mengintip sebentar lewat tirai jendela dan matanya membulat melihat tubuh kurus milik Tania bersama tubuh tinggi tegap milik Gerry berdiri di depan rumahnya.      “Ada apa?” Giva membuka pintunya dan bertanya dengan wajah dingin.      Tania maju ke depan dan memeluk Giva. “Sorry, Gi. Lu marah ya ke gue sampai enggak berangkat dua hari ini ke kampus. Gue sama Gerry khawatir banget sama lu, Gi.”      Giva melepaskan pelukan Tania dan menggeleng. “Bukan masalah apa-apa. Gue lagi enggak enak badan aja. Sorry buat lo khawatir,” balas Giva ketus.      “Ini buat kamu, Gi.” Gerry tiba-tiba menyodorkan kantong plastik belanjaan yang cukup besar pada Giva. “Sebelum ke sini aku sama Tania mampir ke mini market depan buat beliin ini, Gi.”      “Udah deh cepet ambil,” Tania merebut plastik itu dari tangan Gerry lalu menyerahkannya pada Giva. “Bilang makasih?” tuntutnya sambil tertawa lebar.      “Makasih,” ketus Giva. Dia mundur dan Tania segera mengajak Gerry masuk ke dalam kontrakan. Mereka pun duduk di ruang tamu.      “Gue bawain ke dapur ya, Gi. Kalian berdua ngobrol dulu aja.” Tania segera beranjak, mengambil kantong belanjaan dan membawanya ke dapur yang letaknya sudah sangat ia hapal.      Giva dan Gerry sama-sama terdiam. Gerry sebenarnya datang ke rumah Giva untuk meminta maaf padanya. Dia baru saja sadar bahwa apa yang dia lakukan pastilah salah hingga Giva bolos ke kampus dua hari.      “Gue mau ke kamar dulu,” ujar Giva, akan beranjak.      “Tunggu, Gi.” Gerry membuka suaranya. “Gue mau minta maaf masalah malam itu. Masalah ciuman itu.”      Giva terdiam sejenak. Dia kembali duduk dan mengerang kesal. “Lupain aja lagi! Anggap aja enggak pernah terjadi.”      Gerry balik menatap mata Giva tajam, “Gue enggak akan ngelupain hal itu.”      “Terserah lo, Ger.” Giva kembali beranjak dan masuk ke dapur. Menemui Tania yang sedang duduk dan bermain gadgetnya. Bunyi BBM bersahutan dan sesekali cewek berkuncir kuda itu tertawa sendirian. “Gila ya?”      Tania terlonjak kaget. Dia melihat Giva dan menyembunyikan gadgetnya ke dalam saku jaket yang ia kenakan. “Gue kaget, Oon!”      “Makanya jangan kayak orang stres. Senyum-senyum sendiri,” ejek Giva dan Tania hanya menjulurkan lidahnya, balik mengejek.      “Lo kok di sini, temenin Gerry sono. Katanya dia mau minta maaf ke elo, Oneng.”      “Udahlah. Lo bisa enggak sih berhenti comblangin gue sama dia. Sekali putus ya putus, Tan.”      “Gerry masih sayang banget ke elo, Gi. Kenapa sih lo enggak bisa berubah pikiran dan balikan lagi aja? Gerry tuh cowok baik yang selama ini bisa jaga lo dengan baik kan, Gi? Ayolah! Kasihan Gerry. Kasih dia kesempatan kedua,” ujar Tania panjang lebar.      Giva mendesah. Jika ditanya bagaimana hatinya, tentu dia akan menolak. Dia bahkan menyesal pernah berhubungan dengan Gerry. Masalahnya bukan sekedar fans-fans cewek Gerry yang sering merecoki dirinya, tapi dia belum juga bisa jatuh cinta pada Gerry. Rasanya hambar. Tidak ada yang spesial. Dia malah tidak nyaman tiap dekat dengan Gerry.      “Gi, lo dengerin gue, kan?” Tania menyenggol lengan Giva, menyadarkan dari lamunannya sendiri.      “Pokoknya gue enggak mau balikan. Gue mau ngejomblo aja,” ketus Giva mantap. Tania menggelengkan kepalanya sambil berdecak lalu membalik badan. Ia ingin membuat es jeruk dari serbuk instan.      Giva membantu Tania membuat es jeruk lalu kembali ke ruang tamu. Gerry sedang bermain ponsel pun mendongak. Lalu menyimpannya ke dalam saku jaket. Tania meletakan es jeruk untuknya dan Gerry sedangkan Giva memegang gelasnya sendiri.      “Thanks, Tan!” Gerry segera meminum es jeruknya lalu duduk menyandar. Menatap dua cewek cantik yang ada dihadapannya. Lebih tepatnya, dia menatap Giva seolah-olah melihat santapan lezat.      “Besok lo berangkat kan, Gi?” Tania bertanya setelah meneguk esnya. Gerry pun hanya bisa menyimak sambil menatap Giva penasaran.      “Besok gue enggak berangkat, Tan. Besok kan enggak ada kelas.”      Tania menepuk jidatnya lalu tertawa. “Gue lupa, tengil! Ya udah besok lo temenin gue jalan-jalan ke puncak aja, yuk!”      “Jalan-jalan ke puncak?”      Tania mengangguk. “Gue ada rencana sama Gerry, adiknya Gerry si Fanila sama Egi, pacarnya, buat ke puncak. Katanya masih dalam rangka ultah Gerry. Ya kan, Ger?”      Gerry mengangguk singkat.      “Kalau gitu gue enggak mau ikut!”      “Kok gitu? Pokoknya lo harus ikut. Titik! Lo sobat gue kan, Gi. Please ikut!”      Giva melirik Gerry yang sedang menatapnya lalu membuang mukanya sambil memjawab. “Gue ikut. Demi elo, Tan!”      Gerry tersenyum tipis. Meskipun demi Tania bukan demi dirinya tapi setidaknya Giva ikut. Itu akan lebih baik. Dia yakin bisa kembali mendapatkan Giva apapun caranya. Lihat saja nanti! Dia akan menunjukkannya pada Giva. Betapa dia mencintainya.[]   *** BERSAMBUNG>>>
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD