Bab 3
Tragedi
Perjalanan menuju puncak akhirnya berakhir. Dua mobil mewah kini memasuki area villa keluarga mereka. Setelah mematikan mesin mobil, mereka berhambur ke luar dari mobil. Tania berteriak saat baru ke luar sambil merentangkan tangannya.
Ega dan Fani tertawa melihat tingkah sahabat baik Gerry. Berbeda dengan Gerry, pria itu hanya memperhatikan sambil berlalu. Menghampiri dua orang berlainan jenis yang berdiri di depan rumah. Pembantu di villa dan tukang kebun yang sudah lama bekerja mengurus villa keluarganya.
“Assalamualaikum, Den Gerry!” Bu Ninih mendekat kemudian bersalaman dengan Gerry.
“Wa’alaikum salam, Bu. Kamarnya sudah dipersiapkan, Bu?” Gerry tersenyum kepada dua orang tua di hadapannya.
“Sudah dong, Den Gerry. Ayo silahkan dibawa masuk temen-temennya!”
Gerry mengangguk. Ia berbalik kemudian berteriak kepada semua orang yang dibawanya. “Masuk, guys! Sekalian bawa sendiri tas-tas kalian!”
“Oke!” Fani dan Egi menyahut. Mereka mulai membuka bagasi mobil dan masuk duluan sambil membawa tas ransel mereka yang nampak besar dan berat.
Gerry menghampiri bagasi mobilnya lalu melemparkan tas milik Tania. Untung saja Tania tangkas, ia menangkapnya lalu tertawa-tawa macam orang gila. Ia pun berlarian kecil masuk ke dalam villa. Gerry tertawa sambil geleng-geleng kepala melihat kelakuan temannya yang unik. Dia melihat ke sampingnya dan menemukan Giva yang masih menunggu tasnya.
“Biar gue aja, Ger!” Giva protes saat melihat Gerry mengenakan tas ranselnya yang pasti sangat berat.
“Gue aja.” Gerry tidak mengindahkan sama sekali protesan Giva. Dia berjalan sambil membawa dua ransel sekaligus.
Giva mendesah. Dia masih tertinggal di belakang, berdiri dengan tangan mengepal. Benar-benar menyesal sudah mau terbujuk rayu untuk datang ke sini bersama Tania.
“Monyong aja sih lu!” Tania mengejek semasuknya Giva ke dalam. Fani, Gerry, dan Egi sudah masuk ke kamar mereka. Fani di kamarnya sendiri sedangkan Gerry sekamar dengan Egi.
“Tas gue mana?” Giva memutar pandangannya. Mencari keberadaan tasnya yang menghilang bersamaan dengan yang membawa tasnya masuk.
Tania merangkul bahu Giva lalu berjalan menuju kamar mereka. “Tas kita udah dibawain Gerry ke kamar.”
“Kita sekamar?”
Tania mengangguk sambil tersenyum lebar. Mereka masuk ke dalam kamar yang berada di lantai atas. Giva hampir menutup telinganya saking terganggunya saat Tania sudah berteriak di dalam kamar. Tania menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur lalu tertawa sendiri seperti orang sinting. Dia melirik Giva lalu tertawa lagi. Kali ini lebih keras.
“Udah deh, Tan, lu kok kayak orgil gini! Ketawa mulu,” ketus Giva sambil membongkar tas ranselnya. Hawa di sekitarnya terasa makin dingin. Dia mengambil jaket lalu menggunakan.
Tok, tok, tok....
Giva membalik badan dan melihat pintu kamarnya yang terbuka menampakan sosok Gerry yang berdiri dengan tegap. “Gi, ikut gue!”
“Udah ikut aja sono!” Tania menyahut membuat Giva mau tak mau menghampiri Gerry yang menunggunya. Dia sedang tidak mau berdebat.
“Kita mau ke mana, Ger?” Giva bertanya saat mereka mulai berjalan ke luar rumah.
Gerry menjawab sambil menunjuk ke suatu arah. “Kebun teh.”
Giva tersenyum. Dia berjalan lebih cepat, bahkan meninggalkan Gerry yang masih berdiam diri. Melihat gelagat Giva yang terlihat senang membuatnya ikut senang. “Pemandangannya indah dan asri banget, Ger!” ujarnya takjub.
“Harusnya aku ngajak kamu kemari sejak dulu ya. Kamu kelihatan suka banget di sini.” tutur Gerry lalu menghampiri Giva yang berdiri di antara ruas jalan kebun teh.
“Thanks, Ger!” Giva tersenyum dan itu sudah cukup untuk Gerry. Dia balas tersenyum lalu menarik tangan Giva menelusuri perkebunan teh.
“Eh, jangan dipetik!” Giva mencegah Gerry yang mulai memetik daun teh. “Kalau ketahuan pekerja teh kita bisa dimarahi, Ger.”
“Enggak akan, Gi. Ini kan perkebunan punya bokap gue.”
Giva terkejut namun hanya mampu diam. Dia membalik badannya, memunggungi Gerry. Dia sadar bahwa dirinya sangat berbeda dengan Gerry. Dia cuma anak orang miskin sedangkan Gerry ... apa lagi yang tidak dia punya di dunia ini? Dia anak orang kaya.
“Gi, kamu baik-baik aja?” Gerry menghadap Giva dan bertanya. Wajah Giva terlihat memucat membuat Gerry begitu khawatir. Pipi Giva didekapnya untuk memberikan kehangatan.
“Gue baik kok, Ger!”
Gerry menahan perasaannya yang bergemuruh. Jangan dikiranya perasaannya tidak sakit saat merasakan penolakan! Saat merasakan tepisan tangan Giva saat tangannya menyentuhnya, ia merasa begitu marah dan sakit hati.
“Kita lanjut jalan?” Giva bertanya kepada Gerry yang masih terdiam. Tanpa saling berbicara lagi Gerry dan Giva mengelilingi kebun teh. Mereka saling terdiam namun hati mereka saling bersahutan. Giva yang marah-marah dan jengkel dengan tingkah Gerry tadi dan Gerry yang makin memantapkan hatinya. Untuk kembali mendapatkan cewek yang sudah membuat dirinya jatuh cinta.
***
Giva dan Tania ke luar bersamaan dari kamar. Mereka menuju ruang makan dan duduk di kursi yang masih kosong. Gerry, Fani, dan Egi sudah siap di tempatnya. Mereka akan makan malam.
“Gi, kamu makan yang banyak!” Gerry menginterupsi saat melihat Giva makan sedikit. Berbeda dengan sahabatnya, Tania, yang makan seperti gembel, yang baru melihat makanan selama tiga hari tiga malam.
“Gue biasa makan segini, Ger!” balas Giva lalu minum air putih. Gerry berdecak lalu bangkit sambil mengambilkan ayam goreng dan sayur mayur untuk diletakan di atas piring Giva yang masih utuh.
“Cepet makan! Jangan dilihatin mulu makanannya, Gi!” Gerry lagi-lagi bicara. Tania yang hanya memperhatikan malah terbengong, berbeda dengan Fani dan Egi yang takjub melihat cowok macam Gerry bisa bersikap manis di hadapan seorang cewek. Setahu mereka Gerry itu tidak acuh, dingin, dan semaunya. Tapi, setelah terdengar berita mereka berdua putus sepertinya Gerry berubah 180 derajat.
Giva bukannya makan malah permisi ke kamar mandi. Ia mencuci tangannya sebentar lalu terdiam melihat cermin. Setelah kembali tenang Giva ke luar dan mencoba bersikap biasa untuk makan malam.
“Lo enggak papa?” Tania bertanya sambil menyantap ayam gorengnya.
Giva yang baru duduk mengangguk sambil memperbaiki posisi duduknya agar nyaman.
“Habis ini kita mau turun cari jagung bakar. Pada mau nitip enggak?” Fani bertanya.
“Beliin aja semuanya. Jangan lupa Bu Ninih sama Mang Diman dibeliin juga!” pesan Gerry. Fani mengangguk lalu dia berbisik di telinga Egi.
“Tan, lo ikut gue sama Egi ya!”
Tania menggeleng keras. “Ogah, gue palingan juga bakal jadi obat nyamuk lo berdua ... Aww....” Tania menjerit kesakitan sakit mendapat ijakan dikakinya. Matanya melotot ke arah Fani yang balik melototinya.
“Aku udah selesai makan. Kamu ambil kunci dan panasin mobil gih, Yang! Si Tania biar aku yang seret pakai tenaga kusendiri.”
“Eh lo apa-apaan sih, gue bisa jalan sendiri! Gi, gue pergi sebentar ya? Bye ... Ger, jagain sohib gue! Duh, Fan. Sabar dong!”
Gerry dan Giva tidak bisa menahan senyumnya saat melihat Fani yang menyeret Tania tanpa perasaan sama sekali. Sepeninggalan mereka, Giva dan Gerry kembali melanjutkan makan. Tanpa saling bicara, lagi-lagi keheningan membuat suasana di antara mereka canggung.
Gerry yang selesai makan lebih dulu beranjak untuk memanggil Bu Ninih agar membersihkan piring-piring makan malam tadi. Giva selesai tepat ketika Gerry dan Bu Ninih menghampirinya. Piring Giva nampak kosong karena dia buru-buru makan sepeninggalan Gerry.
“Ke luar yuk, Gi!” Gerry merangkul bahu Giva dan mengajaknya ke luar villa. Mereka duduk di teras depan lalu terdiam lagi. “Sampai kapan sih kamu mau diemin aku kayak gini?”
“Ger, kita udah putus! Please, ngertiin posisi kita sekarang.” Giva berdecak. Mereka saling bertatapan kemudian Giva membuang mukanya duluan. “Sorry kalau gue keterlaluan.”
Gerry menyentuh bahu Giva lalu semakin mendekatkan tubuh mereka. Membuat jarak di antara mereka tidak terlihat. “Aku ngerti perasaan kamu, Gi. Tapi putus bukanlah hal yang tepat untuk kita. Tolong pikirin lagi, Gi. Kita bisa kayak dulu.”
Giva cepat-cepat menggeleng. Gerry benar-benar keras kepala. “Ger, aku tuh sama sekali enggak sempurna buat kamu. Dengan terus berhubungan aku enggak akan bisa maju. Banyak pertimbangan yang buat aku harus mutusin hubungan kita. Aku cuma anak dari daerah yang beruntung bisa kuliah di PTN besar di Jakarta. Aku cuma anak beasiswa. Aku enggak bisa main-main dengan berpacaran sama kamu. Aku takut gagal dan enggak bisa mempertahankan beasiswaku. Please, ngertiin aku kalau kamu mau aku ngertiin kamu.”
Gerry diam sejenak. “Tapi demi pendidikan, kamu malah korbanin perasaanku, Gi,” bisiknya pelan.
Giva menunduk, dia tidak ada pilihan. “Demi kedua orang tuaku yang berharap besar aku sukses dan bisa punya pendidikan tinggi, Ger. Maafin aku! Kita kan masih bisa berteman. Kita masih bisa sering bareng ke mana pun. Cuma kita kurungi waktu main dan jalan kita.”
“Enggak bisa. Aku mau semua waktu kamu untukku, Gi. Kamu ngerti enggak sih?” gertak Gerry.
Giva mendongak. Kesal bukan main mendapatkan gertakan dari orang yang katanya mencintainya. Menurutnya, Gerry tidak lebih terobsesi padanya. “Kamu enggak bener-bener sayang sama aku, Ger.” Giva pun akhirnya berlari. Meninggalkan Gerry dengan pembicaraan mereka yang lagi-lagi belum usai namun harus terpotong karena kepergian Giva.
“Apa sih salahnya terus berpacaran?” Gerry bertanya pada dirinya sendiri. Obsesi membuatnya lupa bahwa mencintai itu tidak harus memiliki.
Dengan langkah yang lebar, Gerry berjalan menyusul Giva. Memberitahukannya arti kesakitan dan arti dari obsesinya selama ini.
***
Angin malam makin dingin, Fani dan Egi memutuskan masuk ke dalam mobil sedangkan Tania terus menunggu di luar. Di pinggir jalan yang nampak sepi itu terdengar lagu-lagu dangdut dari arah pos ronda.
“Makasih, Bang!” Tania menerima jagung bakar yang sudah dibungkus di dalam plastik hitam itu dari pedagang jagung bakar. Setelah membayar, Tania kembali masuk ke dalam mobil yang langsung gas.
“Hmm, baunya sedap bener.” Tania cekikan sendiri. Fani yang duduk di jok depan memosisikan badannya miring untuk berhadapan dengan Fani.
“Lo mah mikirinnya makanan mulu, Tan. Enggak khawatir lu sama dua sohib lo?”
Tania lagi-lagi tertawa. “Bodo amat. Itu sih urusan mereka. Gue kan cuma bantuin kakak lo yang cinta mati sama Giva buat balikan. Mau mereka ngapa-ngapain urusan mereka. Asal jangan sampai deh si Gerry ngehamilin Giva cuma buat balikan lagi. s***p bener kalau hal itu beneran terjadi!”
Fani dan Egi langsung berpandangan. “Emang Gerry pernah bilang mau ngehamilin Giva, Tan?” Egi bertanya nampak serius. Fani tak kalah khawatir apalagi mereka sedang meninggalkan Gerry dan Giva berduaan di villa. Masalahnya mereka sudah hampir dua setengah jam pergi gara-gara perjalanan dan antri saat beli jagung bakar tadi.
Tania berpikir sejenak dan kemudian perasaannya mulai khawatir gara-gara ucapannya sendiri. “Kita ngebut deh, Gi. Gue kok jadi takut ya ninggalin mereka berduaan di villa.”
“Lo jangan nakutin gue gitu, Tan!” Egi mulai melaju dengan cepat.
“Gue juga baru inget Gerry ngomong itu. Gue kira dia cuma bercanda. Semoga enggak terjadi apa-apa, gue yakin kok Gerry enggak mungkin berbuat nekad. Dia sayang banget sama Giva, dia enggak akan menyakitinya.”
“Gue juga berharap begitu.” Fani ikut berharap. Semoga ucapan Gerry pada Tania cuma obrolan iseng belaka. Bukan hal yang sebenarnya akan terjadi pada Giva karena ulah Gerry yang tidak bertanggungjawab.
Sesampainya di villa, Fani, Tania, dan Egi berlarian ke luar dari mobil. Mereka masuk ke dalam villa yang terlihat sepi. Baru akan naik ke lantai dua jeritan terdengar dari atas. Mereka berlarian lagi dengan perasaan dag-dig-dug menuju sumber suara.
“j*****m! GUE BENCI LO, GERRY! DASAR SETAN! GUE BENCI ELO. GUE BENCIIII....”
Tania makin berlari dengan kencang mendengar suara teriakan yang ia yakini suara sahabatnya, Giva.
“Gue benci elo, Ger! Kenapa lo lakuin ini ke gue?” Tangisan itu terdengar memilukan.
Tania, Fani, dan Egi perlahan membuka pintu kamar yang ditempati Tania dan Giva. Jantung mereka berdebar dengan kencang saat mencoba membuka pintu kamar itu.
Klek! Tidak terkunci! Egi mendorong handle pintu yang sedang ia pegang dan masuk bersama Fani dan Tania. Tangisan Giva makin jelas di telinga mereka. Tatapan mata mereka nanar melihat pemandangan di atas ranjang itu.
Gerry dengan selimut di pinggangnya sedang berada di atas tubuh Giva yang menangis. Tangan Giva nampak menutup sebagian wajahnya sedangkan Gerry seperti tidak memiliki hati terus melakukan tugasnya.
“GERRY.” Fani berteriak membuat Gerry terdiam dan menoleh. Dia menghentikan kegiatannya dan duduk dengan santainya.
“Udah pulang?” tanya Gerry pelan dan terdengar datar, seperti tidak terjadi apapun.
Plak! Fani menampar kakaknya dengan kasar membuat Gerry terdiam. “LO NGAPAIN GIVA, GER? GUE ADUIN KE AYAH BUNDA NANTI. MALU GUE PUNYA KAKAK b******n KAYAK LO!!”
Giva makin terisak. Tania sudah memeluknya dan mencoba menenangkannya. Dalam hati Tania, dia benar-benar sangat menyesal telah mengajak Giva ke villa. Seharusnya tidak begini.
***
BERSAMBUNG>>>