Bab 4 Hamil

1809 Words
Bab 4 Hamil   Giva tidak pernah merasakan perasaan yang seburuk ini. Sejak tiga minggu lalu dia menyendiri di kontrakan sepulang kuliah. Tania yang mengetahui trauma yang dialami sahabatnya hanya mampu menemani tanpa banyak bicara. Gerry sebagai pelaku sendiri masih sering mengejar Giva ketika di kampus. Orangtuanya yang mengetahui hal b***t yang sudah dilakukannya murka sekali. Mereka bahkan menghukum Gerry dengan menarik semua fasilitas yang diberikannya seperti: kartu kredit dan ATM berbagai bank yang dimilikinya.      “Tolong jangan pegang gue!” bentak Giva sambil mengangkat tangannya ke udara saat Gerry lagi-lagi mengejarnya.      “Gi, please! Kita harus bicara,” ujar Gerry lemah. Dirinya lelah. Meminta waktu Giva untuk menjelaskan semuanya tapi dia tidak pernah membiarkannya, yang dilakukan Giva selama ini hanya lari dan lari.      “Enggak ada yang harus dibicarain lagi, Ger. Please, menjauh! Apa enggak cukup lo nyakitin gue?” Tangis Giva hampir pecah saat mengatakan hal itu pada Gerry. Meskipun pihak kampus tidak ada yang tahu tapi Giva malu, malu pada dirinya sendiri. Akibat kejadian itu.      “Gi, please….” Gerry benar-benar memelas. Laki-laki 21 tahun tampan yang selalu terlihat angkuh itu kini terlihat memelas di depan gadis biasa yang dicintainya.      Giva menolak, dia menggelengkan kepala lalu berbalik. Baru langkah pertama kepalanya mendadak pening. Dia ingat dua hari ini belum makan nasi, dia hanya banyak meminum kopi dan begadang sepanjang malam di tempat tidur. Memikirkan apa yang sudah dirinya dan Gerry lakukan. Dosa itu!      Brruugghh....      Gerry berbalik dan terkaget saat melihat Giva pingsan di hadapannya. “Gi ... Giva ... Sadar, Gi.”      Melihat Giva yang tidak kunjung sadar, Gerry mengangkat tubuh Giva di lengannya. Dia membawanya menuju ruang kesehatan. Beruntung ada anak fakultas kedokteran yang sedang berjaga.      “Woy, tolongin!” ujar Gerry keras.      Meta yang sedang berjaga segera melakukan tindakan pertama. “Dia kenapa, Kak?”      “Enggak tahu, Dek. Dia tiba-tiba pingsan.”      Setelah mendengarkan penjelasan Gerry, Meta mengecek denyut nadi dan detak jantung Giva. Dari gejalanya saja, Meta merasa ada yang janggal dari diri Giva. Takut salah memberikan diagnosa akhirnya Meta berbicara pada Gerry. “Kak, saya takut salah kasih diagnosa. Hari ini kakak senior semester 7 atau 5 enggak ada yang tugas jaga. Kalau udah sadar temen kakak dibawa ke klinik deket sini aja. Dokter Irwan pasti bisa ngejelasin sakitnya mbak ini apa?”      “Emang menurut kamu, Giva kenapa? Pacar saya ini enggak lagi sakit keras kan, Dek?” Gerry merasa takut bukan main. Ada ketakutan besar sekaligus kekhawatiran di wajahnya.      Meta terhenyak, cowok tampan di hadapannya mengaku pacar si cewek yang pingsan. Beruntung sekali cewek ini.      “Dek, kamu kok diem? Halo!” Gerry menyentuh bahu Meta dan membuatnya tersadar dari lamunannya.      “Eh maaf, Kak. Ehm, aku enggak tahu Mbaknya sakit apa? Kakak tunggu pacarnya siuman aja nanti langsung otewe ke klinik? Saya permisi dulu! Ini minyak kayu putih buat diolesin ke hidung pacarnya, Kak.” Setelah mengatakan itu Meta permisi ke luar dari ruang kesehatan.      Gerry mengedikan bahunya. Meskipun merasa aneh dengan tingkah adik angkatannya tadi tapi Gerry tidak ambil pusing. Dia mengoleskan minyak kayu putih kemudian menunggu Giva sadar.      “Gerry,” ujar Giva saat melihat wajah pria itu yang ada dihadapannya. “Gue ada di mana?”      “Ruang kesehatan. Tadi kamu pingsan dan aku yang lansung bawa kamu ke sini. Yang jaga anak MABA jadi dia nyuruh kita periksa ke klinik depan kampus. Kamu udah kuat jalan kan, Gi?”      Giva yang masih bingung sebangun dari siumannya duduk dibantu Gerry tanpa penolakan sama sekali. “Gue haus, Ger!”      “Oke bentar ya aku ambilin.” Gerry buru-buru mengambil air minum untuk Giva. “Minum, Gi!”      Giva meminum air yang disodorkan Gerry dengan cepat, setelah sadar benar dengan apa yang terjadi dia mundur saat melihat musuhnya berada tepat di hadapannya. Dia bergegas lalu beranjak turun dari tempatnya berbaring.      “Kita ke klinik depan ya, Gi!” Gerry mengejar Giva ke luar dari ruang kesehatan.      “Enggak usah peduliin gue. Gue baik-baik aja!”      “Gi, please!” Gerry lagi-lagi menahan tangan Giva hingga akhirnya Giva mengangguk dan setuju jalan bersamanya menuju klinik. Giva hanya khawatir Gerry bertindak bar-bar dan menyeretnya hingga membuat mereka menjadi pusat perhatian.      “Gue baik-baik aja, Ger!” ketus Giva sebelum masuk ke dalam ruang pemeriksaan.      “Cepet masuk!”      Dengan wajah monyong, Giva berjalan masuk. Tidak mau berdebat lagi dengan Gerry yang ujung-ujungnya membuatnya kesal.   ***           “Enggak mungkin!” Giva menggelengkan kepalanya tidak percaya. Dokter Irwan yang berada di antara mereka hanya bisa menebak yang terjadi pada dua insan di depan mereka. Apalagi jika bukan seks bebas dan membuat si wanita muda di hadapannya ini hamil.      “Kalau kamu enggak percaya dengan diagnosa saya, kita bisa melakukan pemeriksaan lebih lanjut.” Dokter Irwan mencoba menyakinkan cewek di depannya. “Lagipula hasil testpack yang kamu pakai tadi juga hasilnya positif. Jadi apa kita harus melakukan pemeriksaan lebih lanjut?” ulang Dokter Irwan.      “Enggak perlu, Dok. Kita permisi saja.” Gerry berkata dengan cepat lalu menarik Giva yang berontak ke luar dari ruangan Dokter Irwan.      “Lepasin saya!” Giva mendorong Gerry dengan cepat hingga terjatuh. Wajahnya sudah memerah dan isakan sudah ke luar begitu saja.      Gerry bangun sambil menatap Giva tajam. Dia bahkan sampai jatuh ke tanah. “Kamu kenapa sih?” teriak Gerry keras sambil mengguncangkan bahu Giva.      Giva tersedu dan tidak mampu lagi menjawab pertanyaan Gerry. Dia juga sudah tidak peduli lagi dengan orang-orang di sekitarnya yang menatapnya ingin tahu.      Gerry merasakan kesedihan yang begitu kalut saat mendengar tangisan Giva. Dengan perlahan, dia memeluk Giva. Menjadi sandaran untuk Giva yang sedang merasakan beban yang sangat berat. Dan semua ini karenanya.   ***        Gerry mengajak Giva ke kontrakannya, kali ini tanpa pemberontakan dari Giva. Wanita itu hanya terdiam dengan wajah yang basah dengan air mata dan sangat merah. “Aku ambilin minum dulu ya, Gi,” Gerry bergerak masuk ke dalam dapur lalu menyerahkan air putih untuk Giva.      Giva tidak menerimanya, dia terus menangis sampai puas. Setelah puas menangis Giva menatap Gerry dengan tajam. “Pulang, Ger!”      “Gi,” Gerry tidak bisa berkata apapun lagi. Giva yang memalingkan wajahnya akhirnya membuat Gerry mengangkat tasnya dan pamit pulang. Meskipun hatinya tidak rela untuk pulang tapi dia juga harus menyiapkan segala sesuatu terburuk yang mungkin terjadi.      Dia berjalan menuju rumahnya setelah ke luar dari taksi. Saat menyadari keadaan rumah yang sepi Gerry bergegas masuk ke dalam kamarnya. Dia menyiapkan tasnya lalu berkemas. Memasukan beberapa stel baju dan celana ke dalam tas lalu menyiapkan tabungan rahasianya yang berisi saldo bernilai cukup ke kantong yang kecil.      Setelah siap dia menyimpannya lagi. Kali ini Gerry membuka smartphonenya, membuka aplikasi tiket pesawat dan memilih penerbangan menuju Bali. Dia sudah berpikir sangat masak untuk hal terakhir ini. Dirinya sudah berusia 21 tahun, dia yakin bisa menjalani hidup tanpa bantuan ayah dan keluarga besarnya.      Gerry sudah memastikan bahwa Giva akan hamil. Dia berencana untuk membawa Giva ke Bali. Mengapa Bali? Karena cuma Bali lah tempat kedua yang mampu ia hapal tiap seluk beluknya setelah Jakarta. Dengan jarak yang cukup jauh, Gerry yakin tidak akan ada seorang pun yang tahu.      Gerry melakukan ini bukan karena keegoisannya saja. Tapi karena Giva…. Dengan keadaan mengandung benihnya dia pasti akan sangat malu untuk menjalani kehidupannya di Jakarta. Dia ingin mengajak Giva kawin lari ke Bali. Gerry yakin bisa membahagiakan Giva dan calon bayi mereka kelak.      Setelah segala persiapan dilakukan dengan baik. Gerry menenteng tasnya. Di luar, taksi yang ia pesan sudah menunggunya. Tak lupa dia menulis sebuah surat dengan terburu-buru.           Untuk Bunda, untuk Ayah, untuk Fani, dan untuk semuanya.       Aku tahu kalian pasti kecewa. Tolong jangan cari Gerry! Aku pergi untuk menjadi dewasa dan menunjukkan bahwa aku bisa bertanggungjawab.   ***           “Tunggu di sini sebentar ya, Pak!” Gerry buru-buru berlari ke gang sempit menuju kontrakan Giva. Dia mendobrak masuk dan alangkah kagetnya saat melihat Giva berdiri di depan cermin dengan cutter di tangan kirinya.      “Lepas, Gi!” Gerry membuang cutter yang dipegang Giva. Giva menjerit dan menangis di pelukan Gerry. Dia sangat stres menghadapi kenyataan. Dia hamil.      “Tenang, Gi!” Perlahan setelah Giva tenang. Gerry berjalan menuju lemari Giva dan menyiapkan tas ransel Giva yang paling besar.      “Ger, lo mau apain baju-baju gue?” tanyanya lemah. Gerry tidak menjawab bahkan terus mengemasi pakaiannya.      “Ambil perhiasan dan barang-barang penting lo!”      “Ger, lo ngapain?”      “Di mana, Gi?” pekik Gerry buru-buru. Giva menunduk ketakutan. Dia menunjuk laci kecil di bawah meja belajarnya. Gerry buru-buru membukanya, mengambil semua barang Giva yang penting lalu memasukannya ke ransel. “Ayo cepet!”      “Kita mau ke mana?” Giva bertanya pelan. Ketakutan sudah mengalahkan seluruh keberaniannya yang tersisa. Dia sudah masuk ke dalam taksi yang langsung melaju.      “Pak, tolong cepet! Pesawatnya take off bentar lagi,” pinta Gerry.      Mendengarnya, Giva melirik Gerry penuh tanda tanya. “Take off? Kita mau ke mana, Ger?”      “Liburan,” jawab Gerry singkat. Berbohong.      “Gue mesti kuliah, gue enggak mau ikut. Turunin saya di sini, Pak! Saya mohon!”      “Jalan, Pak! Kebut ke bandara! Kalau saya telat dan ketinggalan pesawat saya enggak akan mau bayar Bapak.”      Akhirnya supir taksi yang kebingungan lebih memilih perintah Gerry. Dia hanya mau mengantarkan dan bekerja mencari uang. Masalah dalam kehidupan penumpangnya biar menjadi rahasia dan urusan mereka saja.      Sesampainya di Bandara Soekarno-Hatta, Gerry sebisa mungkin menyeret Giva. Tepat sekali pintu keberangkatan sudah mulai dibuka. Dengan cepat Gerry menarik Giva masuk menunjukan e-tiketnya yang sudah ditukarnya di loket. Mereka masuk dan Giva yang sudah lelah mengerang dan mencoba melepaskan Gerry pun kini bersikap pasrah.      Pasrah dengan apa yang diinginkan Gerry.      “Harusnya kamu bunuh aku, Ger!”      Gerry terdiam dan lagi-lagi melihat mata wanita yang dicintainya yang berurai air mata.   ***        Bali, pulau yang sangat indah. Di sana bukan hanya ada pantai yang mempesona tetapi juga ada banyak hal yang menakjubkan. Tapi, Giva hanya dapat merasakan kekosongan dan kehampaan.      Gerry sedang bernegoisasi dengan pemilik rumah sewa di depannya. Sesekali matanya melirik Giva yang sudah seperti boneka hidup. Terdiam dan layu. Setelah negoisasi berakhir, Gerry pun menjabat tangan Giva. Dengan uang yang ada dia memutuskan menyewa rumah berasitektural Bali itu untuk dua bulan. Sisa uang yang ada untuk kehidupan sehari-harinya dengan Giva. Sementara itu mungkin mulai minggu depan dia baru akan mencari pekerjaan. Dia harus menghibur Giva dulu untuk minggu ini.      “Masuk, Gi!” ajak Gerry dengan nada suara lemah lembut.      Giva melengos. Dia bergerak masuk tanpa membawa tasnya. Membiarkan Gerry yang membawanya. Kan Gerry yang membawanya kemari? Jadi dia tidak akan peduli.      “Kita ke kamar kita dulu yuk, Gi!”      “Saya enggak mau sekamar sama kamu,” ketus Giva. Gerry mendesah tapi tetap berjalan ke arah kamar yang mau tidak mau harus mereka bagi bersama karena kamar di rumah itu hanya ada satu.      “Untuk sementara kita tinggal di sini dulu. Kamar di sini cuma ada satu. Jadi mau enggak mau kita harus berbagi ranjang,” ujar Gerry lembut. Sambil menyimpan satu persatu pakaiannya ke dalam lemari kayu yang lumayan nampak ukirannya dari bagian depan.      “Jadi setelah tahu saya hamil kamu mau mengajak saya kumpul kebo?”      Gerry terdiam, dia berbalik dan menemukan Giva yang menatapnya marah. “Bukan itu maksud saya....”      “Bohong! Kenapa harus kayak gini sih? Kamu sudah merenggut kesucian saya, kamu bahkan sudah menghamili saya, kamu juga sudah merenggut masa depan saya, sekarang kamu mau ngajak saya kumpul kebo? Kamu kira saya w************n? Cepat puaskan diri kamu dan izinin saya pergi dari kehidupan kamu!” Giva mulai membuka pakaiannya. Satu persatu. Membuat Gerry kaget. Giva tidak peduli tatapan Gerry yang menghujami tubuhnya. Yang dia inginkan sekarang adalah kebebasannya. Dia mau lepas dari Gerry. Biar tubuhnya menjadi umpan agar Gerry segera melepaskannya   ***  Bersambung>>>
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD