Sebuah Pilihan

1690 Words
Kita tidak bisa memilih dari mana kita berasal. Tapi kita bisa memilih kemana kita pergi dari sana. Kita bebas memilih jalan yang akan kita tempuh. Kita bebas memilih untuk menjadi apa yang kita inginkan. Jun melajukan mobil Sari ke daerah pasar ikan tak lama kemudian. Tidak butuh waktu lama untuk Jun mandi dan bersiap-siap, karena memang tidak banyak ritual yang harus dilakukan oleh seorang pria untuk bersiap daripada wanita. Apalagi untuk pria yang cuek dengan penampilannya seperti Jun. Asal nyaman dan pantas dilihat saja, maka Jun tidak akan ragu untuk memakainya. Bahkan Sari sampai terkesan juga dengan kecepatan Jun dalam bersiap-siap, ini orang saking semangatnya atau memang mandinya cepet ya? Kok jadi kayak mandi bebek begitu kesannya? Tapi wangi sabun juga tercium dari tubuhnya sih. "Kamu mau beli apa?" tanya Jun setelah mereka masuk di salah satu toko ikan yang lumayan besar. Toko yang terlihat lengkap menjual segala keperluan ikan. "Aquarium bulat dari bahan kaca, sama beberapa ikan. Filternya juga sekalian, kasian ikannya kurang oksigen kalau gak pakai filter. Sekalian beberapa hiasan juga, biar bagus dan enak dilihat gak kayak mangkuk kamu tadi hehe." Sari menjelaskan apa saja yang ingin dibelinya dengan detail. "Hemmm kupikir yang penting dia bisa idup aja." Jun mengakui bahwa dirinya memang tak berpikir sampai sejauh itu dalam memelihara ikan hias, gak hobi. "Dasar kamu gak mau ribet." Sari cekikikan mendengar jawaban pria itu. Yah inilah Jun, yang selalu realistik dan malas dengan keribetan yang tidak perlu. Kemudian keduanya memilih satu aquarium bulat dari kaca, filter oksigen dan beberapa hiasan berbentuk tanaman atau mainan ikan dari plastik. Tak ketinggalan pula pasir pantai dan terumbu karang. Paket lengkap untuk membuat aquarium yang cantik. "Tinggal pilih temen-temen buat si Goldy sekarang." Sari beranjak ke bagian display yang memajang berbagai macam ikan yang berwarna-warni. "Wah cantik-cantik ikannya." Sari menyeletuk senang sambil memandangi banyaknya ikan di tempat display. "Jangan banyak-banyak lho ya belinya." Jun sudah khawatir Sari akan memborong semua ikan-ikan itu. Duit tentunya bukan masalah bagi sang sultanwati. Justru yang jadi masalah adalah Jun yang nanti harus memelihara mereka, pasti ribet banget kalau jumlah ikannya kebanyakan. "Sepuluh ya, Jun." Sari mulai menawar. "Tiga," Jun juga menetapkan jumlah. "Lima deh." "Yaudah empat." "Jun ... Lima ya?" Sari berusaha merayu. "Kan sudah lima sama Goldy?" Jun tak tergoyahkan dengan jumlah ikan yang sudah diputuskan olehnya. "Aaaarrrgh pelit banget si kamu? Yaudah deh empat." Sari merasa kalah tak dapat menggoyahkan pendirian Jun. Jun hanya tersenyum menanggapi tingkah Sari yang sangat menggemaskan bagi dirinya. Kamu bikin gemes dan panas dingin aja, sih Sar. Manisnya bahkan mengalahkan sirup marjan rasa Coco pandan. Akhirnya dengan sangat berat hati, Sari hanya memilih empat ekor ikan dengan warna merah, hitam, hijau dan biru. Warna-warna yang cantik untuk nanti digabungkan dengan Goldy yang berwarna kuning keemasan. Tak lupa mereka juga membeli makanan ikan. Selanjutnya Sari bersikeras untuk membayar belanjaan mereka saat Jun sudah mengeluarkan dompet dari saku celananya. Tak ingin Jun memberikan sesuatu lagi untuknya, sudah cukup. Sudah terlalu banyak, You've done too much for me. - Kamu sudah melalukan terlalu banyak hal untukku. "Tapi kan aquarium-nya nanti ditaro di kontrakanku." Jun memprotes setelah Sari membayar semua tagihan. Sebagai seorang pria tentu saja dirinya tidak suka untuk dibayari seorang wanita. Yah meski si wanitanya jauh lebih kaya dan banyak uang daripada dirinya. "Anggap saja ini ikanku, yang aku titipin ke kamu. Buat kamu pelihara dan jagain baik-baik. Kalau aku kangen mereka, nanti aku bakal mampir ke kontrakanmu." Sari memberikan alasan. Alasan yang tak bisa dibantah lagi oleh Jun. Bukan tak bisa membantah, tidak ingin membantah lebih tepatnya. "Atau kamu gak suka aku main ke kontrakanmu? Gak boleh ya main kesana?" Sari menambahkan pertanyaan. Takut Jun merasa tidak nyaman dan terganggu dengan kehadiran dirinya. "Boleh, kamu boleh datang kapan saja." Jun cepat-cepat menjawab keraguan Sari. Tentu saja Jun sangat senang jika Sari mau datang, bodoh amat kalau alasannya mau nengokin ikan. Yang penting bisa ketemu Sari saja sudah sangat menyenangkan rasanya bagi Jun. "Kita makan siang ya abis ini. Aku laper." Jun mengajak setelah meletakkan aquarium dan segala barang pembelian mereka di bagasi mobil. Memang Jun sudah sangat kelaparan karena belum makan apapun sejak sarapan tadi. Dan satu lagi, Jun ingin mendengar cerita Sari. Sepertinya gadis ini sedang ingin bercerita kepadanya. Jun membawa Sari ke pujasera di jalan Panglima Sudirman, memesan beberapa makanan dan mengambil duduk di salah satu kursinya yang menghadap ke jalan raya. Sari seperti biasa hanya memilih makanan yang tidak terlalu berat, tahu campur Lamongan. Sementara Jun karena kelaparan jelas memilih nasi, nasi rawon. Es kelapa muda menjadi pilihan minuman bagi mereka untuk menemani ditengah suasana siang yang terik. "Kamu kenapa? Lagi ada masalah?" tanya Jun setelah mereka menyelesaikan sesi makan siang. "Aku kenapa memangnya?" Sari sedikit kaget dengan pertanyaan tiba-tiba Jun. Peka sekali dia, apa dia tahu aku lagi ada masalah? "Masalah keluarga ya?" Jun hanya ingin memastikan. Tapi jika Sari tidak ingin mengatakannya ya mau bagaimana lagi. Mungkin memang dirinya belum berhak untuk mengetahui lebih jauh tentang masalah keluarga Hartanto ini. "Uuuhmmm... aku, papa ingin aku sekolah spesialis." Sari akhirnya mau membuka mulutnya setelah terdiam cukup lama. Menceritakan kegalauan yang sedang melanda dirinya. Jun tidak menjawab, tetapi dia memberikan pandangan penuh minat. Memberikan tanda bahwa dirinya sedang mendengarkan pembicaraan Sari. "Sebelumnya aku jelasin dulu tentang keluargaku. Kami adalah keluarga dokter tiga generasi. Mulai dari kakek, papa sampai mas Mahes, kakakku dokter semua. Dan sejak awal aku juga diwajibkan untuk menjadi dokter. Papa adalah spesialis bedah sementara mas Mahes sedang menempuh study Jantung dan pembuluh darah." "Seperti kamu ketahui bisnis keluargaku berkecimpung di bidang medis. Dengan rumah sakit dan klinik-klinik serta pabrik farmasi kami. Hal ini tentu saja memaksa papaku bahkan mas Mahes juga untuk bisa menangani masalah administratif management. Karena mereka harus menjadi direktur di rumah sakit dan perusahaan farmasi milik keluarga kami." "Kemudian cepat atau lambat, aku pasti juga harus mengikuti jejak mereka. Untuk menjadi direktur rumah sakit atau klinik kami. Karena itulah, aku secara pribadi ingin meneruskan studi di bidang management rumah sakit. Aku ingin mengambil gelar M.MRS dibanding dengan sekolah spesialis." Jun tersenyum mendengar cerita Sari. Yah inilah kamu, Sar. Sari yang kukenal, wanita hebat yang berdedikasi tinggi dan tidak setengah-setengah jika sudah memutuskan sebuah langkah. Sari ini tahu benar tentang kewajiban yang harus ditanggungnya, kewajiban untuk memimpin sebuah rumah sakit atau klinik. Karena itu Sari ingin memperdalam ilmunya di bidang management. "Aku sudah mengutarakan keinginanku kepada papa dan mamaku. Tapi papa masih saja terus memaksa untuk aku mengambil spesialis. Menurut beliau masalah managerial bisa dipelajari dari pengalaman. Hal yang sama yang dilakukan oleh papa dan mas Mahes." "Tapi aku gak bisa, Jun. Aku gak bisa sehebat mereka. Aku tahu sampai batas mana kemampuanku sendiri, aku cuma bisa fokus dalam satu bidang. Tidak bisa terpecah-pecah." Sari menghentikan ceritanya dengan dramatis. "Kamu punya kesempatan, Sar. Ambillah, jangan disia-siakan. In the end we only regret the chance we dind't take." Jun mencoba memberikan sarannya. (*Pada akhirnya kita hanya menyesali kesempatan yang tidak kita manfaatkan). "Jadi maksudmu aku harus mengambil kuliah dokter spesialis?" "Nggak. Kamu tetap harus menuruti apa kata hatimu. Percuma juga kamu sekolah kalau gak minat dengan apa yang kamu pelajari, mubazir." Jawab Jun. "Benar sekali," sudah Sari duga Jun ini seolah dapat membaca isi hatinya. Enak banget buat curhat atau ngomong sama dia. Seakan mereka memiliki satu kesamaan visi dan misi dalam memandang kehidupan. Kecocokan ini lah yang membuat Sari merasa nyaman untuk mencurahkan isi hatinya pada Jun. "Untuk membuktikan bahwa ucapannya benar, papa malah mau melimpahkan tanggung jawab untuk mengurusi beberapa klinik padaku. Membuktikan bahwa urusan managerial bisa dipelajari hanya dari pengalaman saja." Sari menceritakan kegalauan lainnya. "Tapi aku gak sanggup, Jun. Aku belum siap untuk langsung menjadi pemimpin. Aku butuh proses belajar." "Iya," Jun sekali lagi membenarkan ucapan Sari. Sedikit kaget juga mengetahui kenyataan ini, kenyataan bahwa Sari sebentar lagi sudah akan menjadi pimpinan klinik atau bahkan rumah sakit. Hal yang membuat gadis ini semakin jauh tak terjangkau lagi rasanya bagi Jun. Tapi masa iya seorang gadis yang baru lulus dokter sudah langsung disuruh ngurusin klinik? Tidak hanya satu, beberapa klinik. Gak kecepetan tu? "Kenapa aku harus lahir di keluarga ini? Kenapa aku harus hidup penuh tekanan seperti ini? Kenapa harus aku?" Sari bertanya dengan nada pilu, tak berdaya. "Kita tidak bisa memilih dari mana kita berasal. Di keluarga mana kita dilahirkan." Jun memutar otaknya untuk mencari kata-kata yang tepat bagi Sari. "Tapi kita bisa memilih kemana kita pergi dari sana. Kita bebas memilih jalan yang akan kita tempuh. Kita bebas memilih untuk menjadi apa yang kita inginkan. Kita punya sebuah pilihan." "Dalam hal ini aku punya pilihan apa?" "Buktikan kalau kamu mampu, Sar. Kamu bisa, kamu hebat. Kamu pasti bisa menjadi seorang manager yang baik." "Tak semudah itu, Jun." "Ada aku, aku akan bantuin kamu. Kamu hanya perlu percaya diri. Kamu wanita hebat, tak akan kalah dengan kakakmu atau ayahmu. Meski dengan segala keterbatasanmu sebagai wanita." "Tapi..." "Pakai aku, Sar. Untuk hal-hal yang tidak bisa atau sulit kamu lakukan. Aku yang akan melakukan untukmu." "Jadi aku harus menerima usulan papa?" Sari memastikan. Bagaimana bisa Jun sepercaya itu kepada dirinya? Bahkan saat dirinya sendiri pun masih ragu? "Iya lakukan. We will handle them together. Itu juga kalau kamu mengijinkan aku lho ya." Jun menegaskan bahwa dia siap membantu Sari tapi tetap bukan sebagai paksaan, terserah Sari mau untuk menerima batuannya atau tidak. Jun masih merasa tidak berhak ikut campur terlalu banyak. (*Kita bisa menanganinya bersama). "Dasar kamu ini. Awas ya kamu sampe ngeluh capek kalau aku ributin terus." Sari menghembuskan napas pasrah. Gadis itu mengeluarkan ponselnya. "Gak bakal," Jun memberikan senyumannya untuk meyakinkan Sari. "Together we can do anything." (*Bersama kita dapat melakukan segalanya). "Kalau gitu, aku bilang mau ya sama papa?" Sekali lagi Sari meminta persetujuan, dan Jun mengangguk mantap sebagai jawabannya. Sari segera mengirimkan pesan kepada papanya. Kesanggupan akan mengurus beberapa klinik yang tadi akan dilimpahkan pada kepadanya. Mengambil alih beban dan tanggung jawab Mahes untuk mengurusi beberapa klinik sekaligus. "Udah gak bisa mundur lagi." Sari menunjukkan layar ponselnya pada Jun. Tulisan pesan singkat berisi kesanggupan yang sudah terkirim pada papanya. "You can do it girl." Jun mengangguk mantap sekali lagi untuk memberikan semangat pada Sari. Keduanya pun tersenyum lembut dan bertukar pandangan penuh arti, saling menguatkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD