Kebebasan

1881 Words
Hari ini adalah hari Minggu yang cerah, setiap anggota keluarga yang tidak ada acara wajib berada di rumah. Untuk apa? Untuk ritual mingguan dimulai dengan sarapan pagi bersama anggota keluarga. Kegiatan selanjutnya dilanjutkan dengan olah raga bersama di gym pribadi kediaman Hartanto. Membersihkan diri setelah olah raga dan selanjutnya acara ngobrol bareng di ruang tengah sambil menunggu jadwal makan siang. Kegiatan ini sudah rutin dilakukan dan tidak pernah dilewatkan oleh keluarga seluruh anggota keluarga Hartanto. Membuat Sari sudah hafal diluar kepala dengan jadwal kegiatan mingguan ini. Tapi pagi ini hanya ada Sari yang berkumpul bersama kedua orang tuanya. Mahes sudah pergi setelah sarapan pagi. Untuk mengurusi rumah sakitnya di Banyu Harum. Hal yang sudah sangat mendesak mengingat Mahes sudah hampir kehabisan masa cutinya. Harus segera kembali ke Surabaya untuk melanjutkan pendidikan spesialis yang ditempuhnya. Prodi jantung dan pembuluh darah. "Sar, kamu nanti jadinya mau ambil jurusan apa kalau sekolah lagi? Siapin bikin jurnal atau portofolio buat diajukan biar dapat rekomendasi dari dokter spesialis senior." Gatot mengajak Sari berbicara di sela acara nonton TV. Acara on the spot yang sedang menayangkan tentang daerah-daerah wisata yang populer di tanah Sumba. "Belum kepikiran, pa." Sari menjawab denan jujur. Sari sebenarnya sama sekali tidak berminat untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang spesialis. Sari malah lebih tertarik dengan bidang management Rumah Sakit. Jadi kalaupun nantinya Sari ingin lanjut sekolah lagi, Sari lebih memilih untuk mengambil Strata dua (paska sarjana) dengan gelar, M.MRS. Magister Management Rumah Sakit. "Sari kan masih belum menyelesaikan pengabdian Internship, Pa. Biarkan lah Sari menyelesaikan masa pengabdiannya dulu dengan tenang. Baru nanti dipikirkan lagi, dia mau melanjutkan kuliah apa." Tina mencoba menengahi pembicaraan suami dan putrinya itu. "Gak bisa gitu, pendaftaran PPDS akan diadakan beberapa bulan lagi. Sebelum interenship berakhir, jadi sudah harus disiapkan baik-baik dari sekarang kalau memang niat daftar," Gatot bersikeras. "Kalau Sari sukanya apa? Penyakit dalam? Paru? Syaraf? Kamu minatnya ke bidang apa, Sar?" Tina mencoba mencari tahu minat dan bakat putrinya itu. Karena Tina tahu benar, bahwa suatu pendidikan itu tidak bisa dipaksakan. Percuma saja jika bisa masuk ke dalam sesuatu jurusan spesialis tertentu kalau tidak ada minat. Maka pasti tidak akan menyenangkan dan penuh keterpaksaan dalam menjalaninya nantinya. Dan Tina tidak ingin Sari, putrinya berakhir begitu. "Aku gak ingin mengambil spesialis apapun. Aku ... Kalau aku nanti mengambil M.MRS saja gimana?" Sari mengutarakan keinginannya kepada kedua orang tuanya dengan sedikit ragu dan ketakutan. "Lho kenapa harus M.MRS? Nanggung amat?" Gatot langsung memprotes keras. Tak senang dengan pilihan jurusan yang ingin diambil putrinya. "Kalaupun nantinya menjadi dokter spesialis, pasti aku juga harus menjadi direktur rumah sakit kan? Memimpin rumah sakit milik keluarga Hartanto kita. Kenapa gak sekalian saja aku mendalami bidang management rumah sakit?" Sari mencoba memberikan alibi. "Managerial itu bidang ilmu yang bisa dipelajari secara otodidak. Gak perlu sekolah juga lama-lama bisa sendiri karena pengalaman." Gatot tetap tidak setuju dengan program studi pilihan Sari. "Iya, Sar. Coba kamu lihat saja papamu, kakakmu, bahkan Ardi juga bukan orang management basicnya. Tapi mereka bisa sukses tu jadi direktur suatu perusahaan atau rumah sakit." Tina ikut memberikan pendapat. Mencoba merayu Sari untuk mengubah pilihannya. "Tapi kita gak tahu kan apa saja yang sudah mereka lalui untuk bisa sukses seperti itu? Pasti gak gampang Ma, bahkan mas Mahes dan mas Ardi juga mengalami masa-masa sulit diawal kepemimpinan mereka." Sari mengutarakan pendapatnya berdasarkan apa yang dilihatnya dari kedua kakak laki-lakinya. Sari tahu benar bagaimana stress dan tertekannya Mahes dan Ardi sebelum akhirnya bisa menjadi sukses seperti sekarang ini. Memang semuanya tidak bisa instan, semuanya butuh proses termasuk dalam hal kepemimpinan. "Mereka yang laki-laki aja sampai harus keteteran seperti itu, apalagi aku yang wanita lemah dengan segala keterbatasan ini? Gak sanggup rasanya aku untuk melaluinya." Sari mengatakan ketakutan terbesarnya. Ketakutan besar untuk menjadi pimpinan suatu badan usaha atau rumah sakit dengan segala beban dan tanggung jawab yang harus ditanggungnya nanti. Menanggung nasib dari ratusan bahkan ribuan karyawan yang harus digajinya dan dipenuhi segala haknya. Gatot dan Tina terdiam demin mendengar ucapan putri mereka, tak mengira Sari ternyata sudah berpikir sampai sejauh ini. Memang mereka tahu Sari ini tipe yang totalitas dan berdedikasi tinggi dalam segala hal. Jika sudah memutuskan sesuatu, maka Sari akan berjuang habis-habisan untuk dapat meraihnya. Bukan separuh hati atau menyerah di tengah jalan. "Aku ingin fokus menjadi direktur rumah sakit saja nanti. Aku gak mau praktek sebagai dokter spesialis." Sari mengatakan keputusannya dengan mantap. "Papa tetap tidak setuju. Paling tidak kamu bisa ambil bidang spesialistik minor. Kan tidak lama waktu study-nya?" "Atau yang banyak disukai wanita juga boleh? Misalnya bidang Kulit kelamin? Bedah plastik dan prostetik? Kamu bisa sekalian buka klinik kecantikan nantinya." Gatot masih berusaha untuk meyakinkan dan merayu Sari. "Gak bisa, Pa!" Sari tetap menolak, keputusannya sudah bulat kali ini. "Sar, kamu jangan semaunya sendiri!" Nada suara Gatot sedikit naik. "Yang akan kuliah itu aku, Pa! Jadi tolong biarkan aku memilih sendiri, aku mau mengambil jurusan apa." Sari tak mau kalah juga untuk memperjuangkan nasibnya. Kebebasannya dalam memilih jalan hidupnya sendiri, freedom. Ketegangan kembali terjadi diantara ayah dan anak itu. Tina hanya bisa membuang napas pasrah melihatnya dengan perasaan yang ketar-ketir. Yah memang keluarga Hartanto ini isinya orang keras semua. Baik Gatot, suaminya serta Mahes dan Sari, kedua putra putrinya sama saja. Jadi memang agak susah untuk saling memahami dan berdiskusi satu sama lainnya. "Nanti Sari coba ngurusin beberapa klinik kecil dulu saja, biar sekalian belajar pelan-pelan. Gimana, Pa?" Tina akhirnya ikut membuka suara. "Beberapa klinik yang diurus Mahes biar diambil alih sama Sari. Mahes juga biar fokus ke rumah sakit dan kuliahnya." Tina kembali menawarkan solusi. Siapa tahu nanti Sari mau berubah pikiran setelah berhasil mengurusi klinik. "Ngurus klinik meskipun kecil juga bukan main-main. Gak bisa seenaknya begini begitu, Ma." Sari menolak. Ngeri bakal mendapat peralihan jabatan dari Mahes sebagai pimpinan beberapa buah klinik. "Ide bagus, nanti bisa kita coba. Mama benar, biar kamu mulai belajar." Gatot menyetujui usulan istrinya. "Kamu itu terlalu over thinking dan ketakutan, Sar. Kamu kan belum menjalani dan tahu bagaimana rasanya jadi manager. Gampang kok, santai saja. Semua cuma perlu insting dan pengalaman." Kali ini ucapan Gatot sedikit melunak untuk memberi semangat pada Sari. "Gampang buat papa dan mas Mahes belum tentu gampang buat aku!" Sari memprotes sekali lagi. Sari lalu beranjak bangkit dari duduknya di sofa dan berjalan ke kamarnya. Tak ingin melanjutkan lagi pembicaraan menyebalkan ini. Dilanjutkan juga pasti bakal tambah runyam dan berakhir dengan pertengkaran. Kesal sekali rasanya, selalu saja papanya itu menuntut terlalu banyak dari dirinya. Menuntut dirinya untuk bisa seperti Mahes? Gak bisa, Sari tahu benar kemampuan dan segala keterbatasannya. Sari tak bisa sehebat Mahes dalam segala hal. Tak akan pernah bisa, karena selain perbedaan gender, perbedaan kapasitas otak dan kedewasaan mereka juga berbeda jauh. "Sari! Papa belum selesai bicara!" Ujar Gatot marah karena Sari yang pergi begitu saja tanpa pamitan. Sari tidak memperdulikan panggilan dari papanya itu. Dia terus berjalan meninggalkan kedua orang tuanya. Berjalan ke kamarnya di lantai dua. "Sudah, biarkan dia menenangkan diri dulu, Pa." Tina mendekat dan mengusap lembut lengan Gatot. Berusaha untuk menenangkan suaminya itu. Tak ingin Gatot memaksakan Sari untuk terus berdebat. Sari itu terlalu halus dan perasa, tak akan suka kalau terlalu ditekan dan dikekang begini. Tina juga merasa bahwa apa yang dilakukan Sari sudah benar, untuk menghindari pertikaian lebih jauh. Biarkan saja putri mereka menenangkan diri dahulu. Berpikir dan membuat kesepakatan dengan dirinya sendiri. Memutuskan apa yang ingin dilakukan untuk masa depannya sendiri. Tina tahu Sari sudah dewasa dan bisa memutuskan sendiri jalan hidupnya dengan penuh tanggung jawab. Hanya saja suaminya ini, entah karena terlalu sayang pada Sari Putri bungsunya. Gatot masih saja menganggap Sari sebagai putri kecil mereka. Putri kecil yang masih harus ditata dan diarahkan setiap langkahnya dalam segala aspek kehidupan. Sari kembali ke kamarnya, mengambil ponselnya yang tergeletak di atas ranjang. Berniat mencari kesibukan atau sedikit hiburan untuk meredakan rasa kesalnya. Dan pas banget, Sari mendapati satu pesan dari Jun. Junaedi : [Siang, Sar. Dapat salam dari si Goldy.] Sari tersenyum geli membaca pesan dari Jun itu. Apaan coba salam dari Goldy? Goldi adalah ikan emas yang kemarin lalu didapatkan Sari dari permainan memancing di pasar malam. Bahkan lebih jauh Jun juga menyertakan foto si ikan yang ditaruhnya di Mangkuk. Kok ditaruh mangkuk sih? Jadi kayak sup ikan saja mau dimakan, dasar Jun. Sari memang sengaja memberikan ikan emas itu untuk Jun. Sebagai balasan karena Jun telah memberinya sebuah gelang berliontin kupu-kupu yang cantik. Balasan juga karena Jun telah mengajak dirinya untuk menikmati suasana pasar malam. Menikmati pula berbagai macam makanan dan jajanan kuliner beraneka rupa yang tak pernah sekalipun Sari makan sebelumya. 'Jun, kamu lagi ngapain? Sibuk gak sekarang?' Entah mengapa pikiran Sari kembali melayang ke arah Jun. Rasanya ingin bertemu dan bercerita pada pria itu. Ingin mendengar pendapat Jun tentang pembicaraannya dengan orang tuanya tadi. Jun pasti dapat memberikan pendapat yang bagus, pendapat yang sesuai untuknya. Seakan setengah sadar, Sari tahu-tahu sudah menyambar kunci mobilnya. Melajukan mobilnya ke arah kontrakan Jun. Ingin menemui pria itu, Sari tahu jadwal Jun hari ini jaga malam. Jadi pasti dia sedang ada di kontrakan siang ini. Masih ngantuk palingan karena habis jaga tadi malam juga. Dan setelah akhirnya sampai di depan kontrakan Jun, Sari jadi bingung sendiri. Masuk gak ya? Kalau masuk kasih alasan apa datang tiba-tiba? Tapi kalau mau balik pulang udah terlanjur jauh datang kesini? Akhirnya Sari memutuskan untuk turun dari mobilnya, mengetuk pintu kontrakan itu. Tak lama kemudian Jun membukakan pintu dengan wajah mengantuknya. Sangat kaget melihat Sari yang hadir di hadapannya. Sari? Ngapain dia kesini? Kok gak kasih kabar? Malah aku belum mandi lagi, pasti masih bau apek. Mau tak mau Jun jadi panik juga menerima kedatangan Sari. Sementara Sari sudah tersenyum geli dalam hati melihat penampilan Jun yang masih bermuka bantal. Lengkap dengan training panjang dan t-shirt oblong, penampilan santainya. Baru bangun tidur sepertinya, ritual normal kalau habis jaga malam, tidur sepuasnya. "Sa, Sari? Mari silahkan masuk." Jun mempersilahkan Sari masuk ke ruang tamu. "Halo, Jun." Sari masuk ke ruangan dengan sangat canggung. "Sendirian aja? Roni gak ada ya?" "Roni jaga pagi." "Duduk Sar, ada apa?" tanya Jun. "Ehm...aku mau jenguk si Goldy," Sari mencari alasan. Duh kenapa pula pakai alasan jenguk si ikan emas. "Haaaa?" Jun juga kebingungan dengan alasan Sari. Jadi dia datang karena ikannya? Bukan karena kepengen ketemu aku? Jun buru-buru masuk ke dalam rumah dan keluar lagi bersama mangkuk berisi ikan emasnya. "Ini Sar, si Goldy," Jun meletakkan mangkuknya di meja ruang tamu. "Yaampun Goldy, kasian bener kamu ditaroh mangkuk gini. Kayak mau dimakan sama Papa Jun ya hahaha." Sari tak dapat menyembunyikan tawanya melihat cara Jun merawat si ikan emas. Ikan ditaro mangkuk, dikasih aer, udah gitu doank gak ada apa-apanya lagi. "Emangnya harus gimana lagi?" Jun bingung apa yang salah dengan cara merawat ikannya? Toh ikannya udah dikasih makan, masih idup juga dia. "Kasian banget dia kesepian ayo kita beli temennya, sekalian rumah yang layak buat dia." Sari tiba-tiba memberi ide pada Jun. "Teman? Rumah?" Jun makin bingung. "Ayo kita ke toko ikan, Jun. Mau gak?" "Oh, boleh-boleh." Jun jadi bersemangat mendengar jawaban Sari. Agak bingung juga Sari kenapa dia. Pasti ada masalah. Nanti aja ditanyain yang penting bisa keluar bareng dulu, kencan demi ikan! "Bentar ya aku mandi dulu." "Ok, jangan lama-lama." Sari cekikikan melihat Jun yang buru-buru masuk lagi ke dalam rumahnya untuk mandi dan bersiap-siap. 'Lama-lama kamu manis juga, Jun.' guman Sari gemas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD