Roni berjalan perlahan dari kantin untuk kembali ke arah bagian UGD RSUD Genting, tempatnya bertugas siang ini. Habis ngopi dan sekedar mengisi perut sebelum melanjutkan Perjuangan jaga di UGD yang masih tinggal beberapa jam lagi. Dia sedikit kaget saat melihat suatu keributan yang terjadi di depan poli rawat jalan, poli bedah tepatnya.
Ada apa ya? Tumben kok ribut-ribut?
Karena penasaran Roni pun berbelok dan melangkahkan kakinya ke arah poli itu. Ingin tahu apa sebenarnya yang sedang terjadi disana. Keributan apa?
"Kami sudah nungguin dari tadi kenapa tidak dipanggil-panggil sampai sekarang? Malah pasien lain yang datang terakhir dipanggil duluan!" Salah seorang wanita muda memprotes seseorang wanita lainnya yang mengenakan jas putihnya. Wanita berperawakan mungil yang sudah dikenal oleh Roni, Sari.
"Karena kami masih melakukan tindakan perawatan kepada pasien lainnya. Sambil jalan saya, untuk menghemat waktu, saya memanggil pasien yang sekiranya tidak perlu melakukan tindakan medis." Sari mencoba menjelaskan duduk perkaranya dengan nada sangat tenang. Tidak terlihat takut, gentar atau emosi.
"Lalu kenapa suami saya gak dipanggil dari tadi?"
"Karena suami ibu juga membutuhkan tindakan medis. Jadi ya harus antri dulu."
"Pelayanan disini sangat tidak memuaskan! Saya akan laporkan saja ke koran dan viralkan me media sosial kalau rumah sakit menelantarkan pasien!" si keluarga pasien malah mengancam Sari.
"Semuanya sudah sesuai prosedur Bu..." Sari masih mencoba menjawab dengan sabarnya. Sabar tapi juga berani, sama sekali tidak gentar karena ancaman.
Roni yang melihat kejadian di depan matanya ini, lama-lama kesal juga. Apaan coba pasien ini? Gak tahu diri, padahal dia yang butuh dirawat. Kenapa arogan sekali, sok-sokan berkuasa. Malah nantangin dokternya kayak gitu?
Sudah berobatnya ke rumah sakit umum, disuruh antri malah gak mau. Harusnya kamu ke rumah sakit swasta saja, bayar mahal biar gak usah pakai antri dan dapat pelayanan kelas sultan. Kalau di RSUD milik pemerintah begini ya harus punya banyak stok sabar. Namanya juga rumah sakit untuk rakyat bos!
"Tapi kami sudah didahului banyak sekali pasien lain. Ini namanya deskriminasi! Tidak adil." keluarga pasien makin marah membentak Sari.
"Kenapa, dok?" tanya Roni mendekat pada Sari setelah berhasil menyeruak diantara banyaknya penonton keributan. Berusaha ikut melerai pertengkaran yang terjadi diantara kedua wanita itu.
"Dokter Roni," Sari sedikit kaget melihat Roni hadir disini juga.
"Biasa pasien selebritis, B24." Sari berusaha menyamarkan diagnosa penyakit pasiennya agar tidak malu karena didengar orang banyak.
B24 adalah kode khusus untuk pasien penderita HIV AIDS. Yah bagaimana pun juga penyakit HIV AIDS ini masih sering dianggap sebagai penyakit tabu.
"Oooh..." Roni mulai mengerti duduk permasalahan yang sedang terjadi.
Fix, berarti memang ini pasien yang 'gak tahu diri'.
Deskriminasi? Pasti! Penyakit berbahaya kayak gitu siapa yang gak ngeri untuk mennagani? Untung saja disini RSUD milik pemerintah yang tidak bisa untuk menolak pasien, kalau swasta? Jelas sudah ditolak mentah-mentah!
Roni mengedarkan pandangannya ke dalam ruangan poli untuk melihat keadaan ruangan dan crew. Seorang perawat laki-laki dan perempuan sedang melakukan rawat luka pada seorang pasien di salah satu bed. Pasien gangren diabetes sepertinya, jelas memerlukan waktu yang cukup lama untuk perawatan nya.
Sementara Sari tinggal sendirian saja, mana bisa melakukan perawatan. Pada pasien selebritis lagi, tidak mungkin.
Dalam hati Roni memuji Sari yang telah mengambil keputusan tepat. Sari yang berani menunda untuk merawat pasien itu. Dia juga sudah bekerja efisien dengan hanya memasukkan pasien lainnya yang tidak memerlukan tindakan untuk mengurangi antrian. Menunggu keadaan sedikit aman sebelum memasukkan pasien selebritis.
'Kamu sudah benar, Sar. Tindakanmu sudah tepat dan sesuai prosedur.'
Kamu hebat sebagai seorang wanita, berani menerima protes seperti ini. Kalau dokter wanita lain, apalagi yang masih baru mungkin sudah nangis dan gak bisa menjawab saat dikonfrontasi begini oleh keluarga pasien sampai menimbulkan keributan heboh.
"Maaf yang sakit siapa ya? Boleh saya melihat orangnya?" Roni mengalihkan pembicaraan pada si wanita yang bikin keributan.
"Itu suami saya, lehernya bengkak besar, jadi gak bisa napas." Wanita itu menunjuk seorang pria tiga puluhan tahun dengan kulit ruam, kurus, pucat dan penampilan khas lain untuk pasien B24 yang tidak sehat.
Dengan sekali lihat Roni dapat memperkirakan diagnosa untuk pasien itu. Abses Colli (leher), mungkin juga abses Retrofaring. Memang harus segera ditangani atau akan mengancam nyawa jika sampai absesnya pecah dan menyebabkan sepsis (keracunan) yang menyebar ke seluruh tubuh.
"Antrian pasien masih banyak?" tanya Roni pada Sari.
"Sedikit, tapi ada beberapa pasien tindakan lainnya." Sari menjelaskan jumlah pasien mereka.
"Ayo masukin deh, aku bantuin." Roni akhirnya memutuskan untuk ikut turun tangan membantu.
"Ron, ini pasien seleb lho," Sari mengingatkan.
"Ayo Bu, bawa suaminya masuk ruangan." Roni tidak mendengarkan omongan Sari, malah memasukkan pasien itu ke dalam ruangan. Mengarahkan ke bed yang masih kosong.
"Pakai Doble gloves, Ron." Sari mengingatkan Roni saat pria itu memakai sarung tangan karetnya. Dirinya sendiri sudah siap dengan sarung tangan karet dobel. Masker dan Face Shield juga dipakainya.
Perlindungan diri untuk menghadapi pasien dengan kompromis medis khusus. Siapa yang gak ngeri coba kalau harus menangani pasien dengan penyakit yang sangat berbahaya seperti HIV AIDS?
Apalagi sudah jelas metode penularan penyakit ini adalah dengan pertukaran cairan tubuh. Jadi selain dengan hubungan badan, penularan yang paling memungkinkan adalah dengan terkena darah pasien. Para tenaga medis lah yang paling beresiko tertular.
"Ok, santai aja Sar. Biar aku yang kerjain." Roni memasang masker dan face Shield untuk menutupi wajahnya. Jaga-jaga kalau ada cipratan darah atau nanah pasien nantinya.
"Lho tapi kan aku yang lagi jaga." Sari menolak, sebenarnya seneng si dapat pertolongan tak terduga ini. Tapi tetap saja pasien ini adalah tanggung jawabnya, tak semestinya dialihkan ke Roni.
"Kamu bantu mengasisteni aku aja." Roni sudah siap di hadapan pasiennya.
'Kamu kok baik banget si jadi orang, Ron.' Sari terharu.
Sari tidak menolak, daripada banyak berdebat lagi mendingan menurut aja mengasisteni Roni. Sari melihat dengan seksama setiap tindakan Roni yang terlihat luwes dan cekatan dalam menangani pasiennya.
Mulai dari mengulasi bagian leher dengan antiseptik, menyuntikkan larutan anastesi bahkan saat pria itu memainkan pisau bedah untuk mengiris kulit leher pasien. Benar-benar gerakan yang efisien.
"Sar, bantu ambilin nearbacken. Banyak banget ini nanahnya. Hampir penuh baki pertama."
Dengan cekatan Sari memberikan baki kedua untuk menampung nanah yang keluar dari luka sayatan yang dibuat Roni di abses leher pasien.
Cukup lama keduanya berkutat dengan pasien selebritis itu. Sampai Roni menyatakan prosedur perawatan selesai dan menutup kembali luka pasien. Setelah itu Sari memberikan resep, advice dan jadwal kontrol pada pasien dan istrinya.
"Ternyata cuma sebentar. Kenapa gak dari tadi ditanganin? Lebih lama nunggunya dari pada perawatannya," celetuk istri pasien ketus.
"Eh Bu, anda tahu kan apa penyakit suami anda?" Roni sudah tak dapat menahan diri lagi menghadapi wanita itu. Perlu dikasih penjelasan biar gak nyiyir terus.
"Iya tahu. Terus kenapa? Jadi kami dideskriminasi karena penyakit suami saya?"
"Ibu tahu? itu bed dan alat medis yang habis dipakai untuk merawat suami ibu gak bisa dipakai lagi. Harus disterilkan dan ditunggu 24 jam baru boleh digunakan lagi untuk pasien lainnya." Roni menjelaskan.
"Jadi mohon dipikirkan, kalau kami memaksa merawat kalian duluan. Bed ini jadi gak bisa dipakai, kira-kira antrian pasien lainnya gak bakal membeludak? Kira-kira pasien lainnya gak bakal terganggu juga?"
"Justru kalian yang egois kalau memaksa untuk dirawat duluan. Jadi lain kali biar sama-sama enaknya, kalau kontrol mending daftar terus tinggalin dulu. Baru datang lagi sebelum poli tutup. Biar gak ngerepotin orang lain."
Penjelasan gamblang dan menohok Roni membuat semua yang hadir kompak melongo. Baik Sari, Iwan, Emi juga pasangan pasien sampai terkagum-kagum dibuatnya. Bahkan si istri pasien yang rewel saja tak dapat membantah, hanya bisa minta maaf dan berterima kasih atas perawatan yang didapat suaminya.
'Wah keren juga kamu ternyata, Ron,' batin Sari
Selain cekatan dalam tindakan medis, komunikasi ke pasien juga bagus. Dan satu hal, dia berani. Berani mengambil resiko dan berani mengatakan kebenaran pada pasiennya tanpa ragu.
"Makasih banyak ya atas bantuannya, Ron." Sari berterima kasih atas bantuan Roni setelah pasien selebritis menyebalkan pergi dari ruangan poli.
"Sama-sama," Roni menjawab.
"Ternyata kamu disini, Ron?" sebuah suara bariton tiba-tiba menyapa dari pintu ruangan poli.
Sari dan Roni kompak menolehkan wajah dan mereka mendapati Jun berdiri di ambang pintu. Ngapain dia?
"Hei Jun, nyariin aku?" Roni bertanya kebingungan.
"UGD yang nyariin!" Jun menjawab dongkol.
"Oiya..." Roni buru-buru mengambil ponselnya di saku jas. Banyak sekali pesan dan missed calls disana.
"Waduh ada pasien kayaknya," Roni menepuk dahinya. Kelupaan kalau dirinya sedang jaga UGD tadi.
"Kirain kamu kenapa kok tadi anak UGD telpon aku minta tolong advice. Gak tahunya kamu lagi asik nongkrong disini." Jun ngomel dengan saking kesalnya pada Roni.
Gimana gak kesal kalau harus hadir di UGD sebelum jam jaga? Tapi Jun memang selalu hadir lebih dulu kalau dapat sift jaga siang, mampir ke poli bedah buat ketemu Sari. Hanya sekedar menyapa atau makan siang bareng. Setor muka.
"Roni barusan bantuin aku, insisi abses pasien B24." Sari menjelaskan pada Jun. Merasa sedikit bersalah juga si karena membuat Roni melupakan tugasnya untuk berjaga di UGD.
"Abses Retrofaring, bro. Seru, nanahnya lumeeer, ngalir kayak keju dipanasin hahaha." Roni sedikit pamer.
"Dasar maniak." Jun menimpali. Orang normal pasti akan eneg melihat darah dan nanah, tapi Roni malah kayak kegirangan gitu.
"Aku ke UGD deh, kasian mereka nyariin dokternya." Roni beranjak dari kursinya.
"Udah beres, aku yang kerjain pasienmu tadi." Jun memberitahukan keadaan UGD yang sudah aman.
"Wah thanx banget lho bro. Kamu penyelamat jiwa dan ragaku." Ujar Roni berterimakasih dengan dramatis.
"Anggap aja impas," jawab Jun.
"Impas?" tanya Roni kebingungan.
"Karena kamu juga udah bantuin Sari."
"Ooohhh..." Roni langsung langsung mengangguk mengerti akan maksud ucapan Jun.
'Ternyata kamu ngincer Sari to? hehehe.'
"Gak bisa impas donk. Aku yang berhutang budi sama kalian berdua jadinya." Sari yang merasa tak enak telah merepotkan kedua temannya ini.
"Traktir makan siang aja." Jun menawarkan sebuah solusi balas budi untuk Sari.
Lumayan kan bisa makan siang bareng Sari lagi. Memang ya kalau berbuat kebaikan bakal dapat rejeki pengganti. Jun tersenyum-senyum kegirangan dalam hatinya.
"Boleh-boleh, abis ini ya." Sari tidak keberatan.
"Aku gak ikut deh, mau balik ke UGD takut dicariin anak-anak dikira pingsan." Roni tahu diri untuk tidak jadi obat nyamuk yang mengganggu keduanya.
"Lho Ron, kok gak ikutan?" protes Sari.
Roni beranjak dari poli bedah dan berlalu ke UGD, tanpa memperdulikan lagi protes dari Sari padanya.
'Good luck Jun, Pepet terus, jangan kasih kendor.'
For Your Information : Abses retrofaring merupakan salah satu infeksi serius ruang leher dalam dimana terjadinya infeksi dengan pengumpulan pus (nanah) di ruang retrofaring dari kelenjar getah bening retrofaring dalam ruang retrofaring pada leher.
Abses leher dalam pada pasien dengan infeksi HIV sering menunjukkan komplikasi yang sangat berat bahkan menyebabkan kematian. Prosedur penanganan abses Retrofaring dengan insisi dan eksplorasi abses. Membuat sayatan untuk mengeluarkan kumpulan nanah dan menutup luka dengan memberi jalan drainase untuk keluarnya nanah yang masih terus akan merembes keluar.
Pemberian terapi kombinasi dari pembedahan, pemakaian antibiotik yang adekuat dan pemakaian antiretroviral pada kasus abses leher dalam dengan pasien terinfeksi HIV merupakan cara untuk terbaik dalam penanganan kasus.