Aku selalu merasa masuk ke ruangan yang penuh sesak. Dengan semua orang menatapku. melihat apa yang aku lakukan, dan mencari apa kesalahanku? Mereka yang selalu ingin melihat apa yang mereka inginkan dariku. Padahal mereka sama sekali tak mengenalku.
Ada kalanya seseorang berkata tentangku. Kemudian seseorang yang lain menimpali. Padahal mereka sama sekali tidak mengenalku. Mereka bertindak seperti merasa paling pintar dan mengerti tentang aku. Meski jelas sekali kalian tidak mengenalku, yah kalian tidak tahu apa-apa tentangku.
Sari menuliskan curahan hatinya pada selembar kertas di buku saku yang selalu dibawanya. Keluhan yang selalu mengganjal dan memenuhi relung hatinya tentang segala deskriminasi yang dia dapatkan dari berbagai pihak.
Kegiatan tulis menulis Sari berhenti saat Jun menghampiri dirinya sesuai janjinya kemarin, Jun datang lagi ke poli bedah siang itu. Tepat setelah jam pelayanan berakhir, setelah kehebohan di poli bedah sudah selesai dibereskan.
Jun membawa empat bungkus batagor sebagai oleh-oleh khusus untuk Sari, kedua perawat poli bedah dan dirinya sendiri. Jun juga masih menambahkan es dawet sebagai pelengkap menu makan mereka siang itu. Gak afdol rasanya makan batagor pedas tanpa tambahan es dingin yang menyegarkan.
"Wah batagornya enak dok, beli dimana nih?" Iwan bertanya sambil menyantap batagornya. Mengunyah beberapa kali saja sebelum langsung menelannya.
"Di daerah perumahan Pakijangan Indah, deket rumah kontrakanku." Jawab Jun.
"Yah kejauhan kalau mau beli ke sana," Emi kecewa mendengar alamat batagor yang cukup jauh lokasinya dari RSUD Genting. Males banget kan kalau harus ke sana cuma buat beli batagor.
"Iya beneran enak ini rasanya." Sari menyetujui pendapat yang lainnya soal rasa batagor yang mereka nikmati.
"Kapan-kapan aku bawain lagi deh," Jun menyanggupi untuk membawakan lagi.
"Asiiik-asiiik," Iwan kegirangan karena bakal dapat makanan gratis. Bodoh amat kalau niat dokter Jun bawain batagor cuma buat dokter Sari. Yang penting dirinya bisa kebagian rejeki nomplok, gak boleh ditolak kan?
Jun senang mendengar bahwa Sari suka memakan makanan yang dibawanya. Seorang Mayangsari Hartanto mau memakan batagor dan es dawet yang dibeli di pinggiran jalan? Keren banget kan sultanwati yang satu ini? Sama sekali tidak gengsi atau pilih-pilih untuk makan jajanan emperan pinggir jalan. Seolah tak takut sakit perut karena makan makanan yang tidak bersih dan higienis.
"Kamu kok tahu aja sih ada makanan enak begini?" tanya Sari penasaran.
Dirinya yang asli tinggal di kota Genting saja tidak banyak tahu soal tempat-tempat kulineran yang enak di sekitar sini. Bagaimana Jun yang notabene masih baru beberapa hari tinggal di sini bisa tahu coba?
"Rame banget warung batagornya," jawab Jun mengungkapkan alasannya memilih warung batagor ini. Logikanya kalau rame kan berarti banyak yang suka.
"Rame itu ada dua kemungkinan lho, Dok. Yang pertama memang enak, yang kedua karena murah." Emi memberikan analisanya sebagai penikmat kuliner.
"Satu faktor lagi sebenernya, dukun yang kuat hehehe." Iwan menambahkan satu analisa lagi yang lebih berbau mistis.
"Ih ngaco kamu, Mas Iwan." Sari ngeri membayangkan soal perdukunan.
"Lho dok, di daerah Banyu Harum ini perang bintang aja sering terjadi. Apalagi kalau cuma soal pesugihan. Mau yang pakai pocong, genderuwo, tuyul, kuntilanak sampai berbagai makhluk astral lainnya pun ada." Iwan menjelaskan fenomena alam pada Sari.
"Widih sodaranya disebut semua sama dia," celetuk Emi konyol. Celetukan yang langsung disambut oleh tawa semua yang orang yang mendengarnya. Kecuali Iwan tentu saja yang sudah mengumpat terang-terangan pada rekannya itu.
"Perang bintang? Maksudnya gimana?" Sari makin bingung sementara ketiga orang lainnya masih saja cekikikan.
"Santet Dok, daerah sini kan sudah sangat terkenal dengan hal-hal begituan. Coba saja tengah malam liat langit, pasti sering terlihat. Beterbangan bagaikan perang bintang atau bintang jatuh. Terutama di malam-malam tanggal keramat." Iwan semakin bersemangat untuk menjelaskan.
"Iwan ini keturunan dukun santet dok, makanya tahu bener dia soal beginian." Celetuk Emi asal saja.
"Asyeeem, enak aja." Iwan menjawab dengan sewotnya. Dan semua yang hadir kembali ngakak menertawakan dia, sang keturunan dukun santet.
"Tapi ini aman kayaknya." Jun berusaha menenangkan soal batagor yang mereka makan. Bisa gak jadi makan nanti Sari kalau takut ada yang aneh di makanan yang sedang disantapnya.
"Iya aman, karena biasanya kalau pakai dukun dan sejenisnya cuma enak waktu dimakan di sana. Kalau dibawa pulang gak seenak dimakan ditempat." Emi membenarkan kesimpulan Jun.
Selanjutnya mereka berempat menghabiskan menu makan siang mereka dengan lahap karena meyakini sudah aman tanpa campur tangan perdukunan. Karena laper juga si aslinya perut mereka. Setelah prosesi makan siang selesai, Iwan dan Emi kembali meminta ijin undur diri dari ruangan poli.
Seperti biasa mereka lebih suka menghabiskan waktu dengan berkumpul dan bergosip bersama para perawat bagian lainnya. Sekali lagi, entah sengaja atau tidak mereka meninggalkan Sari dan Jun berduaan. Keduanya terdiam, tak tahu harus berkata apa. Baik Sari dan Jun memegang ponsel mereka masing-masing. Mencari kesibukan di sana untuk mengatasi kecanggungan.
Sari terlihat sangat serius mengamati layar ponselnya, membuat Jun yang dari tadi memandanginya ikut penasaran. Lagi liatin apa si dia? Kenapa ekspresinya berubah menjadi sedih, marah dan suram?
Jun ikut mengamati layar ponsel di hadapannya. Sekilas membaca pesan masuk yang datang bolak-balik, pembicaraan yang barusan masuk di grup chat angkatan kuliahnya. Jun membuka grup chat dan membaca percakapan itu. Pembicaraan seru tentang Sari, nona muda Hartanto yang memberikan hadiah kenangan berharga fantastis untuk kampus mereka.
Pembicaraan yang tentu berlanjut ke mana-mana bahkan sampai kepada hal-hal tidak penting dan tidak relevan. Bahkan ada pula yang menyerempet kalau Sari bisa mendapat penempatan intrenship di Genting juga karena koneksi keluarganya. Benar-benar non sense karena penempatan intrenship murni dari pusat. Dari dinas kesehatan di Jakarta.
'Oh sepertinya Sari barusan membaca omongan tidak menyenangkan itu tadi?'
Mau tak mau Jun merasa kesal juga melihat pembicaraan di grup chat itu. Bisa-bisanya mereka membicarakan Sari, disaat Sari jelas-jelas berada dalam grup chat itu? Dan lagi kebanyakan yang berkomentar adalah para wanita. Bagaimana bisa? Ke mana rasa simpati dan empati mereka?
"Sar, kamu gak usah perdulikan omongan mereka." Jun berusaha menenangkan dan menghibur Sari.
Sari diam saja tak membalas, terlihat masih sedih dengan menggigit bibir bawahnya. Mungkin dia sedang berusaha menahan luapan emosinya.
"Sar ... Omongan sampah begitu gak usah dipikirin."
"Jun, menurut kamu aku gimana?" tanya Sari setelah beberapa saat terdiam. Pertanyaan yang terdengar datar saja tanpa emosi.
"Haaah? Maksudnya gimana?" Jun ingin memperjelas maksud pertanyaan Sari. Apa Sari ingin mendengar pendapat pribadinya tentang dirinya?
"Jujur saja, kamu katakan apa yang kamu pikirkan tentang aku." Sari menjawab dengan nada naik dan tatapan tajam menusuk pada Jun. Penasaran ingin mendengar pendapat Jun tentang dirinya. Jun yang jarang bicara ini sudah dapat dipastikan kejujurannya.
"Kamu dari segi apa?" tanya Jun menanyakan detail hal apa yang kira-kira ingin Sari dengar.
"Personality. Bagaimana aku menurutmu? Apa aku ini cewek manja yang tidak berguna?"
"Kok gitu?" Jun kebingungan dengan pertanyaan Sari.
"Kamu pasti juga berpikir aku bisa kayak gini karena pengaruh keluargaku kan?"
"Astaga, Sar. Aku gak pernah berpikir begitu soal kamu. Hampir enam tahun kita berteman, sudah lebih dari cukup kan untuk tahu kamu bagaimana?" Jun berusaha keras memutar otaknya untuk menata kata-katanya demi menyakinkan Sari. Berusaha keras membuat kalimat-kalimat panjang untuk menjelaskan maksud dari setiap ucapannya.
"Aku tahu kamu sama sekali tidak menampakkan kekayaan dan status sosial selama masa studi di kampus kita. Kamu yang berusaha menyembunyikan kesultanan keluargamu yang memiliki pengaruh besar di bidang medis. Kamu tak pernah sekalipun memanfaatkan status keluargamu untuk bisa sampai ke tahap ini. Kamu berjuang sama kerasnya dengan kita semua seangkatan. Tanpa perlakuan istimewa."
"Jahat! Jahat banget apa yang mereka katakan, Jun!" Sari berkata dengan nada tak berdaya.
"Mereka yang ngomong begitu karena mereka gak kenal kamu aslinya. Mereka tidak tahu perjuangan kamu untuk bisa begini." Jun memberikan penekanan pada kalimat terakhirnya. Lega juga akhirnya bisa ngomong panjang kali lebar begitu.
Sari tertegun mendengar penjelasan Jun dengan kalimat-kalimat panjang. Sungguh jarang sekali Jun sampai berbicara sebanyak itu dalam satu sesi membuka suara. Hanya untuk menghibur dirinya?
"Tapi kamu juga kan gak tahu aku kayak gimana, Jun. You don't even know me.”
"I know you. I know you so well. Aku tahu kamu. Aku tahu kamu dengan baik ." Jawab Jun mantap.
"Aku tahu benar kamu wanita yang kayak gimana, Sar. Kamu hebat, cerdas, kuat dan mandiri. Independen Women." Jun mengatakan segala yang ada dalam pikirannya tentang gadis itu.
Sosok gadis kuat yang dia kagumi sejak lama. Bertahun-tahun lamanya Jun telah memperhatikan Sari diam-diam, mengamatinya. Bagaimana mungkin dia tak mengenalinya?
"Makasih ya, meski cuma untuk menghibur tapi aku seneng banget denger kata-kata darimu barusan. Your words mean a lot for me.” Sari memberikan senyum ringan sambil menjawab, mengatakan bahwa kata-kata Jun sungguh berarti baginya.
Terharu, baru kali ini ada seseorang yang memujinya seperti ini. Memuji dirinya sebagai seorang Mayangsari secara pribadi. Bukan karena embel-embel nama Hartanto dibelakang namanya.
"Aku bukan hanya basa basi dan omong kosong, Sar. Aku bicara fakta, kenyataan bahwa kamu memang layak mendapatkan pujian."
"Duh, kamu bikin aku terharu..." Sari memaksakan tersenyum lebih lebar dan menghapus setitik air mata yang lolos di sudut matanya.
"Kamu harus percaya diri, Sar. Kalau kamu saja gak percaya sama dirimu sendiri, gimana kamu mau orang lain percaya padamu?"
Sekali lagi Sari terdiam tak bisa menjawab, merenungi setiap perkataan Jun yang terasa sangat mengena di hatinya.
Jun, kamu kok tahu banget apa yang kurasakan? Kamu kok bisa-bisanya memberikan perkataan menyejukkan begini.
"Be brave, aku pasti akan selalu mendukung kamu." Jun memberikan kesanggupan sambil menatap tajam kepada Sari. Rasanya tak tega melihat gadis itu serapuh ini, ingin memeluknya dan memberikan perlindungan serta ketenangan padanya. Tapi tentu saja tidak mungkin untuk melakukannya.
Tidak berhak, yah hubungan mereka masih belum sedekat itu untuk memungkinkan kontak fisik yang terlalu intim. Dan Jun tentunya tahu benar akan hal itu. Jadilah dirinya hanya bisa memberikan senyuman dan pandangan teduhnya kepada Sari untuk sedikit memberikan ketenangan pada gadis itu.
Don't judge a book by it's cover. Jangan menilai buku dari sampulnya saja. Jangan menilai seseorang dari penampilan luarnya. Karena kita tidak akan tahu, sebelum mencoba untuk mengenal dan memahami tentangnya. Be Wise and be Nice dalam bergaul