Si Irit Ngomong

1628 Words
Poli bedah RSUD Genting akhirnya mulai berangsur sepi pada tengah hari, hanya tinggal beberapa pasien lagi. Seharian sudah banyak sekali antrian pasien yang harus mereka tangani. Tidak seperti poli-poli rawat jalan lainnya, poli bedah ini tergolong sibuk. Bahkan mungkin bisa lebih sibuk dari Uint Gawat Darurat. Karena banyaknya tindakan yang harus dilakukan. Mulai dari rawat luka, mengganti perban, insisi abses, eksisi lesi, penjahitan atau bahkan debridemen pasien gangren diabetes. "Dok, gangren lagi buat makanan penutup. Panen kita hari ini," keluh Iwan salah satu perawat poli bedah yang cukup senior. "Buka dulu perbannya deh mas," Sari menjawab sambil memeriksa catatan rekam medis pasien. Sari mencari-cari hasil pemeriksaan laboratorium terakhir si pasien. Dia mendapati selembar kertas hasil pemeriksaan laboratorium pasien dan dibacanya. Masih lumayan tinggi kadar gulanya, bahkan masih berkisar di angka 300-an, pasti lukanya masih 'je*lek'. "Ok dok. Kayaknya bakal banyak makan saya habis ini." Iwan mendengus pasrah. "Abisin deh, makan tu daging gangren!" celetuk Emi menggoda Iwan. "Ogah, udah kenyang makan gangren hari ini." Iwan menolak mentah-mentah. "Gampang nanti beli porsi dobel nasi bungkusnya buat Mas Iwan," Sari cekikikan menanggapi keluhan Iwan. Memang untuk prosedur rawat luka pasien gangren membutuhkan waktu dan kesabaran ekstra untuk perawatannya. You know lah bentuknya saja sudah tidak indah, dan jangan ditanya lagi baunya. Bikin mabok dan menjadi pengharum aroma ruangan poli yang awet. "Bagus lukanya?" tanya Sari menghampiri Iwan, melihat luka di telapak kaki pasien yang telah dibuka perbannya. Mungkin kalau orang awam yang melihat bakalan pingin muntah saking ngerinya melihat jaringan kaki yang setengah membusuk itu. "Bagus dok, kayak semangka bisa dikerokin." Emi perawat lain yang ikut membantu Iwan menjawab. "Bersihkan sampai batas jaringan hidupnya saja." Sari memberikan perintah setelah mengamati lebih jauh. "Irigasi, debridement dan tutup lagi dengan kasa steril." Sari kembali ke mejanya dan berkutat menulis isian lembaran rekam medisnya. "Ok, dok." Iwan dan Emi menjawab kompak. Kemudian berkutat dengan pekerjaan mereka mengeroki 'semangka'. Setelah prosedur rawat luka selesai Sari masih harus memberikan advice dan nasihat kepada pasien. Memarahi pasien yang masih sering abai tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Tentang diet untuk pasien diabetes, pola makan, tata cara meminum obat serta jadwal kontrol selanjutnya. "Permisi," sebuah sapaan di pintu masuk ruangan poli bedah hadir tepat setelah pasien terakhir selesai. Setelah segala kekacauan telah berlalu dan dibereskan. Sari mengedarkan pandangannya ke arah datangnya sapaan. Didapatinya disana, seorang pria muda dengan jas putihnya tersenyum simpul di sana, Jun. "Hei, Jun. Masuk sini. Ngapain berdiri disitu?" Sari mempersilahkan masuk. Jun pun langsung masuk dan mengambil duduk di kursi yg yang tepat berhadapan dengan Sari di meja pemeriksaan. "Dok saya beli makan siang dulu ya," Iwan pamit pergi dari ruangan. Rupanya beneran kelaparan dia setelah panen banyak pasien gangren hari ini. "Saya mengembalikan rekam medis dulu, dok." Emi juga ikutan pamit pergi sambil membawa tumpukan rekam medis. Meninggalkan Sari dan Jun berduaan saja di ruangan poli. 'Ngapain coba mereka itu? Sengaja menyingkir apa memang pengen cepetan istirahat?' "Ada apa? Tumben kamu main kesini?" tanya Sari. Sedikit janggal melihat Jun menghampiri dirinya. "Ini, Sar." Jun menyerahkan sebuah map dokumen kepada Sari di atas meja. "Apa ini?" Sari sedikit kebingungan melihat map itu. Perasaan dirinya tidak sedang ada urusan admin atau dokumen yang berhubungan dengan Jun. "Legalisir," jawab Jun singkat. "Legalisir? Ijasah?" Sari mulai bisa menebak isi dari map yang disodorkan Jun padanya. Memang beberapa hari yang lalu di grup chat angkatannya diumumkan untuk pengambilan legalisir ijasah dan dokumen kelulusan lainnya sudah mulai bisa dilakukan. Para dokter yang baru lulus sudah bisa mengambil di bagian akademik kampus mereka. "Kamu mengambilkan punyaku juga ya?" Sari tersenyum kegirangan. 'Bagus deh, gak perlu jauh-jauh ke Jembar buat ngambil legalisir kalau gitu.' "Sekalian ambil," Jun membenarkan ucapan Sari. "Wah makasih banyak ya, Jun." Sari menerima map pemberian Jun, membuka dan memeriksa isinya. Berkas-berkas legalisir ijasah, transkrip nilai, sertifikat kompetensi dan lafal sumpah milik Sari. "Sama-sama," jawab Jun sambil tersenyum tipis. "Kapan kamu ke Jembar? Gak jaga UGD? Kok tahu-tahu udah ambil aja ke kampus?" Sari menanyai lagi dengan penasaran. "Tadi, jadwalku hari ini jaga siang." "Oh, langsung pulang-pergi berarti dari sana?" "Iya." Sari terdiam sejenak, terharu juga dengan kebaikan Jun. Berarti Jun sudah menempuh jarak pulang pergi Genting-Jembar selama kurang lebih empat jam perjalan tadi. Memang sekalian mengambil punya dia sendiri si, tapi tetap saja terasa surprise karena bahkan pria itu sama sekali tidak berkata apapun pada Sari sebelumnya. Tidak menawarkan atau menjanjikan mengambilkan juga. Siapa yang gak seneng coba digituin? Meski tak banyak berkata-kata, Jun ini ternyata cukup keren juga. Pria yang baik dan perhatian sepertinya. He cares with his own way - Dia perhatian dengan caranya sendiri. "Jun..." "Ya?" "Yaampun, gak bisa ya kamu ngomong panjangan dikit?" Sari mulai kesal dengan omongan irit Jun. "Haaah?" Jun sedikit kebingungan mendengarnya. "Kamu itu irit banget kalau ngomong. Nyebelin tahu!" Sari menumpahkan uneg-uneg pada Jun. Sari mengungkapkan kebingungannya, bagaimana harus bereaksi atau menjawab pernyataan singkat Jun yang biasanya cuma satu atau dua kata. Jun hanya nyengir tanpa bisa menjawab. "Gimana kalau kamu harus ngasih penjelasan dan edukasi ke pasien? Kan harus detail dan lengkap? Kamu harus latihan ngomong banyak mulai sekarang." Sari nyerocos memberikan sarannya pada Jun. "Beda kalau sama pasien." Jun menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Bingung harus bagaimana menjelaskan pada Sari. Memang dirinya paling malas untuk banyak bicara terutama tentang sesuatu yang tidak penting. Basa basi atau ramah tamah. Tapi untuk masalah kerjaan dan profesionalisme, Jun masih bisa menempatkan diri. Bicara panjang lebar tentang advice dan edukasi pada pasien adalah salah satu contohnya. Tapi entah mengapa buat ngomong sama Sari rasanya beda. Walaupun itu sekedar pembicaraan resmi dan singkat rasanya seolah pidato di depan banyak orang, grogi. Masa dirinya harus mengakui perasaan yang sebenarnya? Perasaan yang telah lama terpendam dan tak berani diungkapkan. Rasa kagum dan debaran di d**a yang tak karuan setiap melihat senyuman manis yang terkembang di bibir Sari. 'Karena kamu, karena harus ngomong sama kamu jadinya aku se-grogi ini, Sar.' "Bedanya gimana?" Sari terus mendesak, tidak peka. "Kalau sama pasien kan pembicaraan profesional. Bukan pembicaraan pribadi." Jun berusaha menjelaskan dengan sedikit lebih panjang. "Memangnya kenapa kalau pembicaraan pribadi gak bisa panjang?" "Karena berhubungan dengan perasaan..." Jun buru-buru menghentikan ucapannya. Gawat hampir saja kelepasan ngomong. "Perasaan?" "Aku lapar, mau ke kantin dulu." Jun bergegas beranjak dari kursinya, berusaha mengelak untuk menjawab pertanyaan Sari. Kalau diterus-teruskan bisa makin runyam ini sepertinya. Bisa ketahuan... "Lho Jun, tungguin." Sari masih penasaran dengan sikap Jun. Diambilnya dompetnya dari tas dan segera diikuti langkah pria itu ke arah kantin. "Aku ikut," ujar Sari setelah akhirnya berhasil menyusul langkah Jun ke arah kantin. "Mau makan juga?" tanya Jun. Entah mengapa ada rasa senang juga mengetahui Sari mengejar langkahnya. Sari ingin ikut ke kantin bersamanya. "Iya, mau nraktir kamu." Jawab Sari santai. "Buat apa?" "Ucapan terima kasih sudah diambilkan map dokumen legalisirku dari kampus." "Gak usah, aku ikhlas." "Aku juga ikhlas nraktir kamu!" Sari tak mau kalah, mendahului langkah Jun beberapa langkah di depan. "Atau jangan-jangan kamu gak mau makan siang sama aku?" Sari menebak-nebak. "Mau ... Mau banget!" Jun menjawab cepat-cepat. "Yaudah ayo kalau gitu, hehehe." Sari memilih tempat duduk di kantin yang kebetulan sedang ramai karena masuk jam makan siang. "Mau pesen apa?" Jun menawarkan pada Sari. "Bakso dan es jeruk." Sari mengeluarkan ponsel dari sakunya untuk memeriksa pesan-pesan disana. Tak lama kemudian Jun mengambil duduk tepat di hadapan Sari setelah memesan menu makan siang mereka. Sedikit heran dia saat melihat wajah Sari yang terlihat aneh sambil menatap ponselnya. "Kenapa, Sar?" tanya Jun khawatir. "Eh? Nggak pa-pa cuma masalah keluarga aja." Sari buru-buru meletakkan ponselnya di meja. Jun tidak melanjutkan bertanya lagi, tahu benar Sari tidak ingin melanjutkan pembicaraan itu. Jun merasa masalah keluarga ini sudah terlalu pribadi. Dan mereka belum sedekat itu untuk bisa membahas masalah keluarga masing-masing. Sementara di lain pihak Sari senang dengan sikap Jun padanya. Pria ini tidak kepo, tidak memaksa bertanya atau mencari tahu tentang keluarganya. Padahal Jun sudah tahu status sosial dan kedudukan keluarganya. Untung saja pegawai kantin tepat membawakan pesanan mereka tak lama kemudian, dua mangkok bakso dan dua gelas es jeruk. Menjadikan keduanya sibuk menyantap hidangan daripada Bercakap-cakap. Mengurangi sedikit rasa canggung dan kikuk yang tadi terjadi diantara mereka. "Sar...ehm..." Jun mencoba mencari topik pembicaraan. Mumpung ada kesempatan ini, kapan lagi bisa deket begini sama Sari. "Apa Jun?" "Besok gantian ya aku yang nraktir kamu." Saking gak nemunya topik, Jun malah membahas soal traktiran. "Haaah? Nraktir aku buat apa?" Sari kebingungan. "Ya buat makan siang bareng." Lagi-lagi Jun gagal membuat alasan yang masuk akal. "Yaampun kamu lucu banget si," Sari terkikik mendengar alasan Jun yang sangat gamblang. "Mau gak?" Jun sedikit mendesak, sudah kepalang tanggung. Seneng banget si dibilang lucu sama Sari. By the why lucu ini artinya apa? Bagus atau jelek? "Iya boleh aja." Sari menyanggupi dan Jun langsung sumringah dibuatnya. 'Yes besok ketemuan lagi!' "Kamu mau batagor?" "Batagor? Emang ada yang enak disini?" "Ada Deket kontrakan. Besok aku bawain." Jun tiba-tiba menyanggupi untuk membawakan. "Ok deh, makasih ya." Sari cekikikan tak tertahankan. Tak terbayangkan olehnya bahwa Jun yang dingin dan jarang ngomong bisa sebaik ini. Mungkin memang beginilah cara dia menunjukkan perhatiannya. Sebagai tambahan informasi, Gangren merupakan komplikasi serius yang tidak boleh dianggap enteng. Salah penanganan, kematian jaringan ini akan berdampak sangat fatal, mulai dari ancaman amputasi hingga kematian, tergantung jenis dan letak gangren tersebut berada. Pada penderita diabetes, umumnya gangren terjadi di area kaki. Penyebabnya sendiri cukup beragam, termasuk infeksi bakteri akibat penanganan luka yang kurang baik dan gangguan sirkulasi darah, seperti penyempitan pembuluh darah dan lainnya. Jaringan yang mati akibat terkena gangren tidak bisa dipulihkan kembali. Perawatan yang dilakukan setidaknya mencegah agar luka gangren tersebut tidak menyebar semakin luas. Dalam kasus yang lebih serius lagi, dokter akan menyarankan tindak operasi untuk mengangkat jaringan tubuh yang sudah mati, dan operasi perbaikan pembuluh darah yang rusak. Harapannya, jaringan sehat akan tumbuh dan tubuh Anda akan kembali seperti semula.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD