Sepupu Kesayangan

1621 Words
Sore itu akhirnya Sari bisa pulang ke kediaman Hartanto setelah seharian beraktivitas di luar rumah. Kegiatan sebagai dokter Internship ternyata cukup melelahkan dan menguras tenaga serta pikiran. Bahkan mungkin lebih melelahkan dibandingkan dokter yang sudah resmi bekerja. Hari ini Sari bertugas jaga di poli bedah RSUD Genting. Setelah berjaga di poli, masih ditambah lagi ada kegiatan seminar dan pembahasan portofolio rutin anggota internship dengan dokter pembimbing mereka. Membuat jadwal pulang yang biasanya jam satu siang mundur sampai menjadi jam empat sore. Sari memarkirkan mobil Nissan Juke putihnya di car port kediaman Hartanto. Betapa kagetnya Sari saat sebuah mobil Honda jazz merah sudah terparkir juga disana. Mobil yang sudah sangat familiar bagi Sari. Mobil dari pria itu, sepupu kesayangannya, Lazuardi Pradana. Lazuardi Pradana, Mas Ardi adalah putra pertama dari Budhe Kartika, kakak tiri papa Sari. Ardi ini yang berumur sepantaran dengan Mahes memang sejak dulu sudah akrab dan sering sekali main ke kediaman keluarganya. Bahkan sampai sekarang pun begitu, disaat kedua pria itu sudah dewasa dan berusia dua puluh tujuh tahun. Benar-benar dua sekawan sekaligus sepupu yang tak terpisahkan. Ardi yang selalu dapat membuat hati Sari berbunga dan berdebar hanya dengan melihatnya saja. Sosok impian Sari sejak jaman anak-anak bahkan tetap berlanjut sampai sekarang. Entah ini cinta monyet atau sekedar obsesi, tapi yang pasti Ardi terasa spesial di hatinya. Begitu memasuki rumah Sari mendapatkan Budhe Kartika sedang ngobrol santai bersama mamanya di ruang keluarga. Sari langsung menghampiri kedua wanita itu, mencium tangannya sebagai penghormatan. Kartika membalas sapaan Sari dengan memeluknya hangat dan memberikan ciuman pipi kanan dan kiri. "Sudah lama budhe?" tanya Sari berbasa-basi. "Lumayan sejak tadi siang. Eh si Ardi yang mau jemput pulang malah nyantol di kamar Mahes," jawab Kartika. "Gak pa-pa toh mbak, kita jadi bisa ngobrol lebih panjang. Kan jarang sekali bisa kayak gini." Tina merasa tidak keberatan menjamu Kakak iparnya. "Mau gimana lagi, Ardi dan Mahes lagi ada proyek bareng kan? Biarin aja deh mereka sibuk berdua, kita juga menyibukkan diri disini." Kartika menyetujui. "Iya mas Ardi yang mengurusi pembangunan rumah sakit pribadi bikinannya mas Mahes di Banyu Harum." Sari ikut membanggakan kedua kakaknya itu. Asli keren banget mereka berdua itu, dalam usia yang masih 27 tahun Ardi dan Mahes sudah berhasil mendirikan perusahaan dan rumah sakit pribadi. Dengan kerja keras dan jerih payahnya sendiri tanpa bantuan dan campur tangan pihak keluarga. Yah kecuali di bidang finansial si, tentu saja biaya pembangunannya masih dicover oleh Pradana Grup dan Hartanto Grup. Tapi jangan salah, meski untuk putra mereka sendiri pendanaan bisa dikatakan mepet dan pailit. Seolah ingin memaksa kedua calon penerus grup raksasa itu untuk dapat berpikir bagaimana cara mendapatkan dana dan investor sendiri. Benar-benar cara yang keras untuk mendidik calon penerus sekaligus pimpinan grup raksasa mereka di masa depan. Harus tahu dulu bagaimana susahnya memulai suatu usaha, bukan tinggal meneruskan dan mengambil enaknya saja. 'Ben wero urip kui rekoso. Ben wero sorone makaryo supoyo biso mulyo.' Ucapan dan nasehat Gatot yang selalu terngiang di dalam hati Sari dan Mahes. (*Supaya tahu hidup itu tidak mudah. Supaya tahu susahnya usaha agar dapat hidup dengan kemulyaan). "Iya, untungnya Ardi udah duluan bikin perusahaan konstruksi jadi bisa bantuin Mahes. Kalau gak ada Ardi pasti sudah keteteran itu Mahes harus bangun rumah sakit sambil tetep kuliah." Tina juga memberi komentar rasa syukurnya atas bantuan Ardi. "Eh kayaknya Ardi sama Mahes itu udah dewasa dan mapan, udah waktunya nikah lho. Kita udah waktunya nimang cucu ini." Kartika tiba-tiba menyeletuk. "Bener juga ya, suka gerah juga si kalau ibu-ibu sosialita pada nanyain kapan mantu. Apalagi kalau sama yang pamerin cucu mereka." Tina membenarkan ucapan Kartika. "Makanya, aku juga kepengen cepet mantu dan punya cucu kayak yang lainnya." Kartika makin bersemangat. "Tapi keduanya kan gak punya pacar? Mana sempat nyari cewek kalau kerja dan sibuk melulu kayak gitu." Tina mengutarakan kekhawatiran sebagai ibu. "Nah itulah... Ardi juga kalau ditanyain soal cewek susah banget. Jadi heran, masa iya dia gak doyan cewek." "Sama. Mahes juga kayak gak ada keinginan kawin." "Mereka belum nemuin yang cocok aja kali." Sari ikut cekikikan mendengarkan celotehan kedua emak-emak rempong itu. Padahal sudah jelas kedua pria yang dibicarakan itu normal dan doyan wanita. Apalagi kalau wanita cantik, gak bakal nolak mereka disodorin. Tapi untuk memilih pasangan hidup mungkin memang belum ada yang cocok. "Emang mau cari yang gimana lagi? Apa kita cariin aja ya?" Kartika kembali menyeletuk. "Cariin gimana? Anak-anaknya temen kita?" Tina ikutan kepo. Tertarik juga pengen cepet-cepet mantu. "Sari gimana? Punya temen gak yang bisa dikenalin ke Ardi?" Pertanyaan Kartika kali ini sukses membuat hati Sari sedikit mencelos kecewa. 'Aku, aku aja Budhe.' Sari berteriak dalam hatinya ingin menjadi kandidat dari calon pacar untuk Ardi. Keinginan terpendamnya sejak dahulu. Tapi tentu saja tak sampai hati untuk terucap, terkalahkan oleh gengsi dan rasa sungkan sebagai sepupu. "Iya Sar, temen-temen main atau interenship kamu kan banyak. Kenalin lah sama mas-mas mu itu. Siapa tahu ada yang cocok sama Ardi atau Mahes." Tina ikut mendukung upaya perjodohan ini. "Oke deh, nanti kalau ada yang cocok aku coba tawarin deh ke mereka." Sari menyanggupi permintaan kedua emak rempong itu, kalau gak dituruti bisa makin panjang perkaranya. "Yasudah, aku naik dulu ya. Mau mandi sore, udah gerah banget." Sari pamit undur diri. Berlalu melewati ruang tengah super luas dan menaiki tangga melingkar ke lantai dua menuju kamarnya. Sebelum ke kamarnya sendiri, Sari melewati kamar Mahes yang pintunya yang setengah terbuka. Karena penasaran dengan apa yang dilakukan Mahes dan Ardi, Sari pun mengetuk pintunya. Meminta ijin untuk masuk ke kamar. Sekalian mau menyapa Ardi, si sepupu kesayangan. "Masuk," suara Mahes terdengar dari dalam. Dan Sari langsung memasuki kamar itu. Kamar Mahes tidak seperti kamar seorang bujangan normal. Malah lebih seperti kamar bapak-bapak paruh baya. Semua furniture yang dipakai bernuansa kayu dan berwarna putih, Old fashion banget seleranya. Dan di salah satu sudut ruangan tepatnya di bagian meja kerja Mahes, kedua pria itu duduk berhadapan. Kelihatan sangat serius membahas sesuatu. "Selamat sore, aku cuma mau menyapa mas Ardi." Sari memberikan salamnya, menghampiri keduanya. Ardi berdiri dari kursinya menyambut Sari dengan senyuman lebar. "Halo, Sar." "Halo Mas Ardi," Sari menyodorkan jemarinya untuk bersalaman dan bercupika-cupiki ringan dengan sepupunya itu. Sapaan normal mereka. "Baru pulang? Sibuk bener ya Bu dokter sekarang?" Ardi sedikit berbasa-basi. "Iya, maklum masih baru penempatan interenship. Tadi kebetulan jadwal presentasi portofolio per kelompok kecil." Sari menjelaskan kesibukannya. "Kalian lagi ngapain?" Tanya Sari keheranan saat melihat meja kerja yang sudah penuh dengan barang. Tunggu dulu, bukan dokumen-dokumen penting seperti yang dibayangkan Sari sebelumnya. Karena tadi mamanya dan budhe Kartika membahas kedua pria ini sedang membahas kerjaan. Yang dilihat Sari di meja malahan tumpukan Lego dengan berbagai bentukan dan model. Lego tingkat lanjutan sepertinya, dengan bentukan robot di kotak-kotak kemasannya. Apa-apaan coba? "Si Ardi nemuin mainan baru," jawab Mahes tetap berkonsentrasi merakit mainannya, sepertinya sedang menyusun rakitan robot Gundam. "Bukannya kamu yang mesen minta beliin?" balas Ardi. "Ya kan sekalian kamu beli, hehe." "Eh gila itu Gundam MGEX Unicorn pesananmu limited edition banget, susah nyarinya." Ardi mengeluh. "Emang Gundam Freedom punyamu gak limited edition? Harganya aja jauh lebih mahal dari punyaku." "Ya sama-sama limited edition si. Jadinya harga yang harus dibayar jauh lebih mahal dari yang tertera disitu." "Terus aku harus bayar berapa?" tantang Mahes. "Gak usah deh. Upah jadi dokter pribadiku aja, setahun." jawab Ardi enteng. "Waduh murah bener tarifku setahun," protes Mahes. "Ya namanya juga harga persaudaraan hehehe." Sari hanya bisa mendengus mendengarkan pembicaraan dua sekawan maniak Gundam rakitan ini. Hobi aneh dan cukup mahal, karena barang original biasanya harus didatangkan langsung dari Jepang. "Tau gak mas? Mama dan budhe Kartika di bawah itu tadi muji-muji kalian. Kalian cakap dan handal dalam menjalankan bisnis baru atas nama kalian sendiri. Bisa nangis mereka kalau tahu ternyata kalian bahas Gundam disini hahaha." Sari menyuarakan pendapat. "Bisnis ya bisnis, hobi ya hobi." Jawab Mahes. "Aku kan emang dasarnya arsitek, suka build sesuatu. Mahes ini yang ikut-ikutan hobi orang seenaknya." "Lha kamu kan yang ngomporin." "Terus ya, mama dan budhe itu udah kepengen kalian berdua nikah katanya. Pengen menimang cucu." Sari kembali membocorkan hasil pembicaraan mereka. "Haaaaah?" Mahes dan Ardi kompak kaget. "Waduh mulai runyam ini," gerutu Mahes. "Terus mereka bilang apa lagi?" tanya Ardi kepo. "Budhe Kartika malah pesen aku suruh ngenalin temenku ke mas Ardi." Sari membocorkan permintaan Kartika padanya. "Hmmm, not that bad lah. Cariin deh Sar, siapa tahu ada yang cocok." Diluar dugaan Sari, Ardi malah tidak menolak sama sekali dengan ide itu. Bagi Ardi daripada repot nyari sendiri, ayo aja kalau ada yang mau coba ngenalin. Siapa tahu cocok kan? Entah mengapa ada sedikit rasa kecewa di d**a Sari demi mendengar jawaban dari Ardi. Berarti memang benar Ardi sama sekali tidak memperhitungkan dirinya sebagai kandidat calon pacar. Bagi Ardi dirinya murni hanyalah sebagai adik sepupu saja. Mahes dapat melihat sedikit raut kecewa di wajah Sari, segera saja menyeletuk untuk mencairkan suasana. "Kamu kok malah nyariin Ardi? Kok gak nyariin aku, kakakmu sendiri?" tanyanya bercanda. "Males nyariin mas Mahes. Gak pernah ada yang cocok. Entah mintanya yang kayak gimana. Semua cewek dicuekin kalau sudah ngurusin kuliah dan kerja." "Emang Mahes ini diragukan doyan cewek apa nggak ya, hahaha," Ardi mengomentari. "b******k lu! Sama aja kali, sesama jomblo dilarang saling hujat." Mahes tak mau kalah. "Yaudah aku balik ke kamar dulu deh." Sari akhirnya pamit, sudah kehilangan mood untuk ngobrol bersama kedua kakaknya lagi. "Iya mandi sono udah sore." Mahes menyetujui. Sari mengangguk dan berlalu meninggalkan kamar itu. "Sar, aku serius. Kalau ada temen yang high quality boleh lah dikenalin." Ardi menambahkan sebelum Sari keluar kamar itu. "Iya, nanti aku cariin," jawab Sari menyanggupi. Menutup pintu rapat-rapat dan berjalan perlahan ke arah kamarnya sendiri. Bermain dengan pikirannya sendiri, sampai akhirnya gadis itu menemukan suatu kesepakatan dengan hatinya. Jika memang kau memang bukan untukku, semoga kau bisa mendapat yang lebih baik dariku, mas Ardi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD