Keluarga Hartanto

1660 Words
Sebelum lanjut lebih jauh ke dalam cerita, sekarang kita berkenalan dulu lebih dekat dengan tokoh utama cerita novel ini. Karena sesuai peribahasa lama, tak kenal maka tak sayang. Jadi marilah kita kenalan terlebih dulu biar makin sayang dengan tokoh utama wanita kita. Mayangsari Dewi Hartanto, Sari. Menjadi putri satu-satunya dari pemimpin Hartanto Group ternyata tidak selamanya menyenangkan. Tidak selalu bahagia seperti yang dilihat oleh kebanyakan orang lain tentunya. Dan hal ini nyata dialami oleh Sari tokoh utama kita. Hartanto Grup memiliki bebagai badan usaha berupa perusahaan farmasi, rumah sakit dan klinik-klinik di bidang medis dengan omzet milyaran rupiah. Dengan kekayaan keluarga melimpah yang tak akan habis dalam tujuh turunan. Sari seolah bagaikan tuan putri yang bisa mendapatkan segala keinginannya. Tapi ternyata tidak, dunia yang harus Sari jalani tak semudah dan seindah itu. Sari adalah seorang gadis yang sejak kecil takdirnya seakan sudah ditentukan oleh keluarganya. Takdir untuk menjadi seorang dokter. Tak ada pilihan lain, harus dan wajib menjadi seorang dokter. Kenapa harus begitu? Kenapa terkesan memaksakan kehendak seperti itu? Karena keluarga Hartanto adalah penguasa industri medis terbesar di wilayah Jawa Timur. Karena keluarganya sudah turun menurun tiga generasi berprofesi sebagai dokter. Sehingga merupakan keharusan mutlak bagi Sari untuk menjadi dokter juga. Mulai dari kakek, ayah, bahkan sampai Maheswara Hartanto, kakak laki-laki Sari semuanya berprofesi sebagai seorang dokter. Bahkan lebih jauh lagi, ayah Sari adalah seorang dokter spesialis Bedah. Sedangkan Mahes, kakaknya juga sedang menjalani pendidikan sebagai dokter spesialis jantung dan pembuluh darah di Surabaya saat ini. Bukannya Sari tidak suka untuk menjadi seorang dokter. Justru sebaliknya, dengan latar belakang keluarga medis yang seperti itu, Sari semakin ingin dan terpanggil untuk menjadi dokter juga. Sehingga Sari memutuskan jalan hidupnya untuk terjun ke dunia medis. Sari menapaki langkahnya di dunia medis dengan kuliah di fakultas kedokteran Universitas Jembar, Unjem. Dia menjalani perkuliahan serta menjalani pendidikan profesi selama hampir enam tahun lamanya. Dan terakhir, Sari juga menjalani program Internship sebagai pengabdiannya di RSUD Genting. Seiring berjalannya waktu, Sari menjadi semakin mencintai dunia medis. Ingin mengabdikan dirinya sepenuhnya kepada dunia medis demi menolong sesama manusia lainnya yang membutuhkan bantuannya. Demi kemanusiaan. Tapi satu hal yang tidak Sari sukai adalah dirinya yang tak pernah bisa lepas dari bayang-bayang nama besar Hartanto di belakang namanya. Seakan dirinya sama sekali tak berharga sebagai seorang Mayangsari saja. Tak bisa berdiri sendiri tanpa embel-embel Hartanto yang melekat di belakang namanya. "Oh jadi itu putrinya dokter Gatot Hartanto spesialis bedah?" "Pantesan pinter, anaknya dokter Gatot." "Halah paling dia bisa masuk kedokteran karena koneksi keluarganya." "Duit ada, jelas lancar jaya kayak jalan tol jalannya buat sekolah di kedokteran." "Bisa apa dia? Nona besar Hartanto yang manja." "Sari memang tak sepintar Mahes, tapi pasti bisa jadi dokter lah. Ada dekengan Hartanto." "Nona manja dan sombong Hartanto bisa melakukan tindakan medis? Gak takut baju mahalnya kotor?" Bebagai komentar baik itu yang positif, negatif sampai sepedas bon cabe level tiga puluh sudah biasa Sari dapat dan dengarkan sehari-hari. Komentar tentang status kesultanannya. Kekayaan melimpah yang bagaikan memiliki pohon uang. Tentang keluarganya yang keturunan dokter semua. Tentang ayahnya yang merupakan dokter bedah senior di kota ini. Atau tentang kakaknya yang luar biasa pintar. Pada awalnya memang semua komentar tidak menyenangkan itu sempat membuat Sari as insecure dan stress. Tapi seiring berjalannya waktu, Sari menjadi kebal bahkan semakin ingin membuktikan kemampuannya sendiri. Dimulai dari awal kuliah, Sari sama sekali tidak memakai koneksi atau kemampuan finansial keluarganya. Sari dapat masuk ke universitas Jembar, fakultas kedokteran murni dari jalur tes seleksi nasional. Harus berjuang melawan ribuan pesaing lainnya. Dan dengan bangganya Sari berhasil lulus. Bahkan semasa kuliah pun Sari berusaha menutupi latar belakang keluarganya. Agar tidak menimbulkan sifat canggung dari para dosen serta temannya. Agar Sari dapat membuktikan kepintarannya, dan kepiawaian sendiri untuk bisa lulus sebagai dokter. Setelah lulus dan penyumpahan, Sari masih harus mengikuti program Internship di RSUD Genting. Kali ini memang Sari tak bisa menutupi kenyataan bahwa dirinya adalah putri dari keluarga Hartanto. Karena kebetulan rumah sakit umum tempatnya pengabdian berada di kota yang sama dengan rumahnya. Dengan tempat tinggal keluarganya, dan dengan rumah sakit swasta milik keluarga mereka. Hartanto Medika. Namun Sari tetap berusaha bersikap sewajar mungkin, bahkan sebisanya menutupi latar belakang keluarganya. Agar dirinya dapat dipandang sebagai dirinya sendiri, sebagai dokter yang berdedikasi tinggi. Membuktikan eksistensi dirinya sebagai seorang dokter Mayangsari secara pribadi. "Sar, gimana Internship-nya?" Tanya Gatot Hartanto, papa Sari disela acara sarapan pagi keluarga mereka. "Baru mulai beberapa hari ini, masih lancar." Jawab Sari. "Kamu masuk stase apa duluan sekarang?" Mahes ikutan nimbrung ngobrol bersama mereka. "Poli bedah," jawab Sari singkat. "Kayaknya ada temen papa kan di RSUD Genting?" Tina, mama Sari juga ikutan bergabung dalam obrolan santai mereka semua. "Iya ada si Guntoro. Teman papa satu angkatan kuliah dulu. Salamin ya, kalau ketemu." Gatot membenarkan ucapan istrinya sekaligus titip salam pada Sari. Sari mendengus kesal demi mendengar percakapan ini, menyebalkan. Ngapain titip salam? Mau ngasih tahu dokter Guntoro kalau Sari adalah putri dari Gatot Hartanto, temannya? Untuk apa? Agar Sari mendapat keistimewaan? Previlege? 'Gak perlu! Aku gak butuh perlakuan spesial!' "Ada kasus yang seru gak selama di stase itu?" Mahes yang sepertinya mengetahui bahwa adiknya merasa tidak nyaman, segera mengalihkan pembicaraan. "Aku gak nyangka ternyata kasus HIV AIDS di Banyu Harum termasuk sangat tinggi. Setiap hari selalu ada saja pasien selebritis B20 (sebutan untuk menyamarkan pasien HIV AIDS) yang masuk poli." Kali ini Sari menjawab dengan lebih bersemangat. "Karena kita deket sama Bali. Banyak penduduk kita yang bekerja di pulau Bali. Dan kebanyakan tertular dari sana juga." Mahes memberikn analisisnya. "Yang paling ngeri banyak kaum wanita, ibu hamil bahkan bayi dan balita yang ikut menderita. Karena tertular dari para pria yang tidak bertanggung jawab." Sari kembali menyuarakan isi hatinya. Keresahan akan issue sosial kesehatan yang sedang terjadi. "Benar sekali, para pria yang tidak bertanggung jawab. Tidak sadar diri, tidak mau mengikuti prosedur dan akhirnya mencelakakan orang-orang terdekatnya sendiri." Gatot ikut menyetujui ucapan putrinya itu. "Mungkin karena edukasi pada mereka yang masih kurang." Tina mencoba memberikan pendapat sebagai orang awam. Memang dalam keluarga mereka hanya dirinya yang bukan seorang dokter. Tina Hartanto, mama Sari merupakan putri dari pemilik perusahaan farmasi di Jembar. Tina akhirnya menikah dengan Gatot yang seorang dokter dan berkecimpung di dunia bisnis medis. Setelah pernikahan mereka, Hartanto Grup melebarkan sayap ke bidang farmasi juga selain mendirikan beberapa rumah sakit di wilayah bagian timur ini. "Kalau itu agak susah, karena peran pemerintah sendiri masih sangat minim dan pelit untuk memberi suport bidang kesehatan. Kalah sama sektor pendidikan yang menjadi anak emas pemerintah." Mahes menyuarakan pendapatnya. "Ya tapi untung juga di kita, karena bisa bikin rumah sakit yang sesuai keinginan pasar. Melayani permintaan pasar yang tidak puas dengan rumah sakit pemerintah." Gatot mengambil sisi positifnya. "Mungin papa bisa tu bikin proposal pengajuan buat bikin sejenis sanatorium pada pemerintah daerah. Bukan hanya untuk penderita TBC seperti yang sudah ada. Tapi buat penderita kanker, HIV, atau rehabilitasi obat." Mahes tiba-tiba terpikirkan sebuah ide bisnis. "Wah bisa juga itu." Gator manggut-manggut senang, memikirkan ide dari putranya. Tak dapat dipungkiri mahes ini memang sangat cerdas. Tak hanya di bidang kedokteran, bahkan dalam bidang bisnis pun Mahes seolah memiliki insting alamiah untuk sukses. Putra sulung yang sungguh membanggakan. Membuat Gatot tak ragu sedikit pun untuk melepaskan segala kepemimpinan Group Hartanto padanya kelak. "Beresin dulu itu rumah sakit yang lagi kamu bangun di Banyu Harum." Tina ikut mengingatkan putranya. Sebagai seorang ibu tentu Tina tak ingin Mahes terlalu keras dalam bekerja. Santai saja, yang penting seluruh keluarga sehat sudah sangat membahagiakan baginya. Tidak seperti suaminya yang senang memikirkan bisnis dan keuntungan bagi keluarga. Tina sadar benar kadang Mahes ini terlalu cerdas dan jauh pemikirannya. Konsep dan rencana yang disusunya pun sempurna tanpa celah. Namun tetap saja, kenyataan tak semudah itu. Dalam sehari hanya ada 24 jam, waktu yang terasa kurang untuk seorang seperti Mahes. Putranya itu bahkan dapat semakin berkembang hebat jika saja dalam sehari ada lebih dari 24 jam. Tapi karena segala keterbatasan waktu, bahkan seorang Mahes juga harus membuat skala prioritas. Melakukan yang paling penting terlebih dahulu dan menunda sesuatu yang lebih tidak mendesak. Contoh nyatanya adalah mahes yang terpaksa harus mengambil cuti untuk kuliahnya sebagai residen PPDS di Uner. Cuti setahun untuk mengurusi pembuatan dan pembukaan rumah sakit baru di Banyu Harum, rumah sakitnya sendiri. Alhasil? Jadi molor lah kuliahnya. Tina sedikit geram juga pada suaminya yang menurut Tina terlalu keras dalam mendidik putra putri mereka. Gatot bahkan tak mau membantu sedikitpun pada Mahes dalam segala urusan pembuatan rumah sakitnya baru itu. Seolah ingin melihat sampai sejauh mana putranya itu mampu. Dan mahes yang memiliki harga diri sangat tinggi juga seakan tertantang untuk membuktikan kemampuannya juga. Mahes tak mau meminta bantuan papanya. Like father like son, sama-sama keras kepala. "Udah hampir beres kok ma, tenang aja. Urusan bangunan fisik dan semua barang serta akomodasi yang diperlukan, dibereskan oleh Ardi semua. Nanti aku tinggal ngurusin masalah staff dan management." Mahes menjawab kehawatiran mamanya. "Kalau Ardi yang pegang aman si, bisa dipercaya." Gatot ikut menyetujui keputusan tepat Mahes dalam mempercayakan pembangunan fisik rumah sakitnya pada Ardi. Ardi yang masih keponakannya sekaligus sahabat dekat mahes. Sangat tak mungkin bagi Ardi berlaku curang pada mereka. "Dia sih gak butuh duit lagi. Gak bakal main nakal." Mahes tertawa membayangkan sepupunya itu yang merupakan pewaris utama dari Pradana group. Grup raksasa dibidang propertis dengan omzet yang bahkan jauh lebih besar dari Hartanto. Dan seluruh keluarga ikut tertawa menyetujui ucapan Mahes. "Abis Internship kamu mau ambil apa, Sar?" Gatot kembali bertanya pada Sari. "Penyakit dalam saja, kayaknya kamu tertarik kesitu." "Gak tahu, aku belum kepikiran." Jawab Sari. Malas membahas tentang hal ini. Selalu saja...Kuliah lagi, ambil spesialis, pendidikan, dan segala bentuk prestasi lain yang dibicarakan oleh papanya ini. Seolah Sari harus dapat sesukses Mahes dalam pendidikan dan segala pencapaiannya. Sesuatu yang tentunya sangat sulit dan sedikit mustahil untuk dapat Sari lakukan. "Aku udahan dulu, mau berangkat ke rumah sakit." Sari mengakhiri sesi sarapan paginya. Tak ingin memperpanjang pembicaraan lagi. Kemudian Sari beranjak dari kursinya dan mencium tangan kedua orang tuanya bergantian satu persatu, sebagai pamit sebelum berangkat berdinas di RSUD Genting.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD