Kediaman Ardi Pradana

1743 Words
Ponsel Sari sudah bergetar beberapa kali sejak tadi dalam kantong jas putihnya. Mungkin ada lebih dari lima kali rangkaian deringan. Entah siapa yang memangil dan menghubungi dirinya itu. Tapi kok sepertinya sangat mendesak? Sari yang sedang sibuk dengan banyak sekali jumlah pasiennya sama sekali tak memiliki kesempatan untuk menerima panggilan itu. Bahkan hanya untuk sekedar melihat siapa yang dari tadi menghubungi dirinya juga tak bisa. Barulah pada siang hari, saat seluruh pasien poli penyakit dalam sudah selesai ditangani, akhirnya Sari bisa memeriksa ponselnya. Diambilnya layar pintar itu dari saku jas putihnya, diamatinya pula dengan seksama. Di layar ponsel didapatinya beberapa missed calls dari satu nama yang sama, budhe Kartika. Kenapa ya? Tumben-tumbennya budhe Kartika menelpon dirinya? Berkali-kali kayak gini lagi. Pasti ada sesuatu yang sangat penting dan serius yang ingin beliau bicarakan. Buru-buru Sari menekan tombol call untuk menelpon dan menghubungi kembali budhenya itu. "Hallo, Sari?" Terdengar suara diseberang sana dengan nada yang tidak sabaran. "Hallo, iya Budhe ini Sari. Budhe tadi menelpon aku? Maaf aku baru selesai pelayanan pasien poli. Ada apa ya?" Sari balik menyapa dengan bahasa sopan. "Sar, Ardi lho gak bisa dihubungi sejak kemarin. Hilang seperti ditelan bumi saja anak itu." Suara Kartika terdengar sangat khawatir. "Haaah? Gak bisa dihubungi gimana, Budhe?" Sari ikutan penasaran dan khawatir juga demi mendengar kabar itu. "Kemarin siang Ardi ada tender ke Jembar. Pulang dari acara sampai siang hari ini gak ada kabar sama sekali. Dia gak bisa dihubungi, ponselnya juga mati. Bahkan hari ini dia juga gak datang ke kantor kata Cindy. Aduh anak itu kenapa ya, Sar?" "Bi Ijah sudah ditanyai, Budhe? Gimana katanya?" Sari mencoba memberikan solusi pada Kartika. Bi Ijah kan pembantu yang mengurusi rumah mas Ardi. Seharusnya wanita itu tahu kan keadaan tuannya? "Ijah malah gak bisa masuk rumah. Kekunci dari dalam rumah. Bisa-bisanya Ardi gak ngasih kunci rumah ke Ijah." "Budhe tenang dulu ya, mas Ardi pasti gak pa-pa." Sari mencoba menenangkan Kartika. Padahal dalam hati Sari juga sudah ikutan panik dan khawatir. Kamu kenapa mas Ardi? "Kamu bisa tolong liatin ke rumah Ardi, Sar? Budhe takut dia sedang sakit atau kenapa-napa," pinta Kartika tidak sabar. "Iya, nanti aku mampir kesana sepulang dari RSUD ya. Aku bawain obat dan bubur ayam juga buat mas Ardi nanti." Sari menyanggupi permintaan Kartika. "Makasih ya, Sar. Nanti kalau sudah tahu keadaan mas-mu itu kabarin Budhe ya." "Iya Budhe," Sari menyanggupi dan mengakhiri panggilan telponnya dengan Kartika. Kemudian Sari beralih membuka aplikasi gr*bfood, memesan bubur ayam untuk dibawanya buat Ardi nanti. Sari juga beranjak ke bagian apotik untuk meminta beberapa obat-obatan yang akan dibawanya ke sepupunya itu. Buat jaga-jaga saja kalau dia beneran sakit. "Obat flu, obat demam sama sekalian imun booster-nya ya." Request Sari pada salah satu petugas farmasi yang melayaninya di bagian apotek. "Halo Sar, siapa yang sakit?" Seorang gadis cantik dengan rambut panjang sepungung serta mengenakan jas putih menghampiri dan menyapa Sari. Gadis itu tersenyum ramah dengan sangat cantiknya, dialah Ella. "Eh? Ella?" Sari sedikit kaget menyadari kehadiran Ella di sebelahnya. "Kebetulan sekali. Abis ini ikut aku ya!" tanpa pikir panjang Sari langsung mengajak Ella. Sesuai dengan rencana, Sari dan Intan akhirnya menggagas untuk menjadi Mak comblang Ardi dan Ella. Dan sepertinya kedua muda mudi itu menemukan kecocokan satu sama lainya. Sehingga hubungan mereka terus berlanjut sampai sekarang. Mungkin hampir dua minggu sudah sejak awal mereka bertukar nomer kontak. Lancar jaya kayaknya. "Mau kemana?" tanya Ella sedikit curiga. "Ke rumah mas Ardi. Mau gak?" "Ngapain ke rumah mas Ardi?" Tanya Ella semakin penasaran. Sari tidak menjawab pertanyaan Ella kali ini. Bingung juga si sebenarnya mau kasih alasan apa untuk mengajak gadis itu ke rumah Ardi, kakak sepupunya. "Tapi sift jagaku belum berakhir." Ella melirik jam tangan di pergelangan tangan kirinya. "Sebentar lagi berakhir kan? Nanti aku jemput kamu di UGD, sekarang aku balik poli dulu siap-siap pulang." Sari pamit undur diri begitu sang petugas farmasi memberikan kantong plastik berisi segala obat-obatan pesanannya. Sari kembali ke poli penyakit dalam, untuk mengemasi barang-barangnya dan menanti bubur ayam pesanannya diantar. Tak lama kemudian Abang ranger ijo pun tiba. Sari segera pamit pulang lebih dahulu kepada Fatiya dan Rahmi, perawat poli penyakit dalam. Berjalan ke UGD untuk menjemput Ella dan mereka beranjak ke parkiran dan pergi ke rumah Ardi dengan mobil Sari. "Emang ada apa kita ke rumah mas Ardi?" Ella menanyakan pertanyaannya tadi yang belum terjawab. "Mas Ardi gak ada kabarnya dari kemarin siang. Pulang dari menghadiri tender di kota Jembar terus menghilang gak ada kabar lagi." Jawab Sari sambil terus konsentrasi nyetir mobil Nissan Juke putihnya. "Haaah? Gak ada kabar bagaimana?" Ella terlihat sedikit khawatir juga mendengar jawaban Sari. "Tadi mamanya ngabarin kalau Mas Ardi gak bisa dihubungin El. Kamu sendiri terakhir kali kontak sama dia kapan?" Sari bertanya penasaran. Seharusnya Ella adalah orang yang paling sering dihubungi oleh mas Ardi saat ini. Karena mereka berdua sedang dalam tahap pendekatan dan penjajakan sebagai bakal sepasang kekasih. Jadi kalau ada apa-apa dengan mas Ardi, seharusnya Ella pasti tahu. "Kemarin malam dia masih ketemu aku untuk dinner bareng kok. Setelah nganterin aku pulang ke kontrakan gak ada kabar lagi sampai sekarang. Pesanku padanya juga masih centang satu." Ella memeriksa layar ponselnya. "Budhe Kartika tadi minta tolong aku buat nengokin ke rumahnya. Beliau takut anaknya itu kenapa-napa." "Lho mas Ardi gak tinggal sama orang tuanya?" "Keluarga mas Ardi itu tinggal di Banyu Harum kota. Sedangkan Mas Ardi punya rumah dan tinggal sendiri di kota Genting ini, karena lebih deket ke perusahaan yang dipegangnya," Sari menjelaskan. "Oohhh," Ella mengangguk mengerti. "Memang dia sering ya ngilang begini?" "Hahahha dulu sering banget. Terutama saat lagi ada masalah di perusahaannya. Biasanya dia tau-tau gak masuk kerja dan ngilang begitu saja ntah kemana. Kabur!" Sari tertawa geli mengingat tingkah nakal kakak sepupunya itu dulu. "Haaah? Kabur kemana? Ngapain?" "Ya macem-macem. Kadang ke pantai, ke gunung, kadang juga tahu-tahu ke Jembar main ke kampusku dan Larasati, adik perempuannya. Pokoknya kabur dari keruwetan kantornya. Memang papanya terlalu keras si waktu itu. Beliau bener-bener pingin mas Ardi langsung jadi pemimpin sebuah perusahaan." "Tapi kan basic-nya mas Ardi itu arsitek, enginer, orang yang bebas berkreasi otaknya. Tahu-tahu dia disuruh mengurusi managerial perusahaan yang ruwet dan saklek begitu setelah lulus kuliah? Jelas aja kalau dia stress berat." Ella mendengarkan cerita Sari tentang Ardi dengan seksama dan antusias. "Tapi itu cerita dulu, sekarang dia sudah gak pernah begitu lagi. Makanya mamanya khawatir terjadi apa-apa sama mas Ardi yang tiba-tiba gak ada kabar." "Apa mungkin dia sakit ..." Ella berkata dengan nada sedikit khawatir. "Takutnya sih begitu, makanya tadi aku bawain obat-obatan itu sama bubur ayam buat dia." Sari membelokkan mobilnya memasuki komplek perumahan elit Mutiara Genting Asri. "Eh tapi mas Ardi itu sehat banget kok orangnya, El. Gak ada penyakit yang aneh-aneh," Sari buru-buru menambahkan saat melihat Ella yang diam saja dalam kekhawatirannya. "Iya palingan dia cuma kecapekan saja," jawab Ella menyetujui. Sari menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah mewah dua lantai dengan desain minimalis modern yang terdapat di jalan utama perumahan elit. Kemudian Sari mengajak Ella memasuki pagar dan halaman rumah Ardi. Mobil pajero hitam Ardi terparkir di car port depan garasi. Disebelah car port terdapat taman kecil minimalis yang terlihat menyejukkan. Perpaduan dengan air mancur minimalis tiga tingkat semakin menambah asri suasana yang tercipta. Benar-benar tatanan yang apik, tak mengherankan kalau ini adalah rumah seorang arsitek. Sari menggedor pintu rumah dan menekan bel beberapa kali, tetapi sama sekali tak ada jawaban. Seakan rumah itu kosong tak berpenghuni. Dengan sedikit kesal Sari mengeluarkan layar pintar-nya dan berusaha menelpon Ardi. Beberapa kali Sari menghubungi tapi tetap saja tidak ada jawaban. Abkibatnya, Sari dan Ella terpaksa menunggu di depan rumah itu dengan duduk-duduk di kursi teras. Kira-kira setengah jam kemudian sebuah mobil berhenti tepat di depan rumah Ardi. Mobil honda jazz berwarna merah yang sudah terlihat tidak asing lagi, mobil yang biasa dipakai oleh Ardi. "Lha, orangnya lagi gak dirumah toh?" Sari menggerutu kesal demi melihat kedatangan mobil Honda jazz merah itu. Tetapi ternyata dugaan Sari salah. Yang keluar dari mobil itu bukanlah Ardi. Melainkan seorang wanita cantik berambut sebahu. Wanita itu mengenakan pakaian formal lengkap dengan kemeja kerja kekinian dan rok A line diatas lutut, serta sepatu ber-haq tinggi. Cindy, wanita yang sudah dikenal Sari sebagai sekretaris pribadi Ardi. "Nona Sari? Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?" tanya wanita itu saat menghampiri dan menyapa Sari dan Ella. "Syukurlah ada kak Cindy datang. Bukain pintunya doank kak, mas Ardi gak mau bukain pintu daritadi." Sari menjawab tanpa menyembunyikan kekesalannya. "Oiya kenalin ini temenku di RSUD Genting, Ella," Sari menunjuk kepada Ella. "Ini kak Cindy sekretaris pribadinya mas Ardi," Sari lanjut mengenalkan wanita tadi kepada Ella. Kedua wanita itu pun berjabat tangan dan saling menyebutkan namanya satu sama lainnya. Setelah perkenalan singkat tadi, Cindy mengambil sebuah kunci dari hand bag-nya, dia membukakan pintu rumah Ardi untuk Ella dan Sari. "Silahkan masuk nona-nona," Cindy juga mempersilahkan mereka masuk. Sementara dirinya sendiri kembali berjalan ke mobil lagi untuk mengambil sesuatu yang tertinggal. Sari langsung nyelonong begitu saja masuk ke dalam rumah karena sudah hapal betul dengan denah rumah ini. Ella mengikuti langkah Sari di belakangnya. Mereka berdua menyusuri berbagai ruangan rumah yang sebagian besar dihiasi oleh warna putih dan sebagian kecil warna hitam. Penataan rumah yang begitu apik dengan gaya minimalis modern. Sari terus berjalan menaiki tangga di sudut ruang tengah ke lantai dua. Sari kemudian mengetuk pintu salah satu ruangan di lantai itu. Shiiing ... Tak ada jawaban. Tanpa kenal menyerah Sari terus saja mengetuk lagi dan lagi pintu kamar. Sampai beberapa waktu tetap tak ada jawaban. Dengan kesabarannya yang sudah habis, Sari mencoba menekan handel pintu pintu kamar itu tanpa ijin. Pintu pun terbuka, ternyata dari tadi pintunya tidak terkunci. Sari lajut memasuki kamar itu saking khawatirnya akan keadaan Ardi, kakak sepupunya. Kok bisa-bisanya dia tidak merespon dengan ketukan pintu sebrutal itu tadi? Ella pun dengan sedikit ragu-ragu juga mengikuti dibelakang Sari. Bagi Sari, kamar Ardi ini bahkan jauh lebih plain dan tidak menyenangkan daripada kamar Mahes, kakaknya. Dekorasi dengan warna putih untuk semua perabotan dan furniture yang cuma sedikit jumlahnya memberikan kesan yang kesepian. Hanya ada ranjang, sofa, meja kerja dengan perpustakaan mini serta sebuah work bench khas arsitek di kamar. Cindy ikut memasuki kamar dan mengambil posisi berdiri di samping Ella sambil memegang map dokumennya. Mungkin ada beberapa lembar dokumen yang harus ditandatangani oleh Ardi. Sari semakin mendekat ke arah ranjang king size di hadapannya, didapatinya sesosok tubuh berbaring dengan terbungkus selimut tebalnya. Kekhawatiran semakin merasuki batin Sari, khawatir akan keadaan kakak sepupu kesayangannya itu. Mas Ardi? Kamu gak pa-pa kan?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD