Bab 1 Cemburu Buta
TOLONG NIKAHI MANTAN ISTRIKU
“Kamu nikahi Sabrina, mantan istriku. Tak perlu lama, hanya satu bulan saja. Kukasih kamu 500 juta. Tapi ada syaratnya, kamu hanya boleh menyentuh dia satu kali saja. Gimana?”
=============================================
Tring!
Sebuah notifikasi masuk ke ponsel Sabrina yang sudah terlelap. Daniel yang masih asik di meja kerja meliriknya dengan ujung mata.
“Siapa malam-malam begini?” gumamnya. Dia bangkit dan mengambil ponsel istrinya yang tak pernah boleh dikunci.
[Saby, besok kalau mau ke rumahku langsung aja. Aku ada kok di rumah.]
Tulis seseorang bernama Irfan. Mata Daniel langsung melotot. Dadanya naik turun memendam amarah.
“Si*l*n kamu! Perempuan j*l*ng! berani-beraninya bermain api di belakangku!”
Tangan Daniel menarik, menampar dan menjambak rambut Sabrina dengan brutal. Membuat wanita yang tengah terlelap itu bangun seketika.
“Ada apa ini, Bang?” tanyanya bingung. Wajahnya meringis menahan sakit di pangkal rambut yang ditarik oleh suaminya.
“Wanita kotor! Pe la c*r kau!” Lagi-lagi Daniel mengumpat dengan kalap.
Sabrina menahan tangan itu agar tak lagi menyakitinya. Namun, tenaga Daniel jauh lebih besar.
“Bang, tolong jelaskan dulu ada apa?” tanya Sabrina seraya merintih perih. Bukan hanya fisiknya, tapi juga hatinya.
“Besok kau janjian bertemu dengan laki-laki, hah? Kau sampai mau datang ke rumahnya. Dasar jal*ng kau.” Daniel kembali menyiksa Sabrina dengan membabi buta, tanpa memberi waktu pada sang istri untuk menjelaskan.
“Apa maksudnya, Bang?”
“Ini. Lihat ini! Baca! Besok kau akan pergi ke rumah si Irfan ini, kan? Berdua-duaan. Melac*r!” teriak Daniel seraya melemparkan ponsel itu ke pangkuan istrinya. Sabrina bergegas membukanya. Matanya terbelalak melihat isi pesan yang dikirimkan oleh Irfan.
“Coba kalau aku tak membuka hp-mu, sudah pasti kau pergi asik-asikan sama si Irfan itu. Terkutut kau!”Daniel masih saja mengumpat.
Memang benar jika besok dia akan pergi ke rumah teman kantornya itu, tetapi tidak hanya dia sendiri. Besok ada acara syukuran rumah baru Irfan. Satu kantor diundangnya. Namun, dari isi pesan itu seolah-olah Irfan dan Sabrina hanya akan bertemu berduaan.
“Ini salah paham, Bang. Bukan aku saja yang diundang ke rumah Irfan. Tapi teman satu kantor.” Sabrina berusaha menjelaskan.
“Yang namanya kebohongan selalu ditutupi dengan kebohongan yang lain, Saby. Pintar sekali kamu mencari alasan,” timpal Daniel.
Sabrina menggeleng. “Ini bukan alasan, Bang. Memang benar aku diundang ke rumah barunya Irfan, tapi sama teman-teman yang lain. Coba saja Abang telpon temenku yang lain.” Sabrina berkata dengan wajah memelas.
“Halaah, sudah pasti kalian sekongkol! Saat ini juga aku ceraikan kamu. Tak sudi aku harus bersama dengan perempuan murahan macam kamu!” teriak Daniel.
“Bang, sadar, Bang. Ini kali ketiga kamu menjatuhkan talak padaku. Setelah ini kita tidak bisa lagi rujuk.” Sabrina memelas dengan tatapan nanar.
“Aku sadar dan aku sungguh-sungguh dengan keputusanku ini. Kau boleh meninggalkan rumahku saat ini juga. Pergi kau!”
Daniel mulai mengeluarkan baju-baju Sabrina dari lemari dan melemparnya ke wajah wanita itu.
Sabrina menghela napas. Sudah cukup dia menahan diri selama ini. Menahan setiap cacian dari lelaki yang juga ringan tangan.
Daniel selalu bersikap angkuh dan Sabrina selalu mengalah. Namun, tidak lagi kali ini. Sudah dua kali dia dicampakan hanya karena kecemburuan Daniel yang tak beralasan. Mungkin inilah akhir perjuangannya mempertahankan biduk rumah tangga.
“Baik. Aku pergi,” ucap Sabrina parau lalu memunguti baju-bajunya yang terserak. Daniel menyungging senyum masam sambil berkacak pinggang.
“Bahagia, kau ya? Bahagia akhirnya bisa bersama dengan si Irfan itu,” cibirnya.
Sabrina menyungging senyum tak kalah sinis. “Tentu saja. Pikirlah sesuka hatimu. Aku tak peduli lagi,” balas Sabrina melewati batang hidung Daniel untuk mengambil tas besarnya.
Dia pergi setelah membawa barang-barang yang penting.
Petir menggelegar dengan derai hujan yang semakin deras. Sabrina menembusnya tanpa rasa takut. Dia bahkan tidak mau membawa mobil yang diberikan Daniel di hari ulang tahunnya tahun lalu.
Sabrina berjalan tanpa arah tujuan. Orangtuanya di luar kota. Dia tinggal di kota ini karena ikut sang suami.
Entah berapa lama dia berjalan, hingga di depan tampak pos di mana beberapa orang lelaki tengah bermain kartu. Terlihat botol miras juga kulit kacang berserakan di sekitar mereka duduk.
Sabrina menghentikan langkahnya. Hatinya gentar, antara harus melanjutkan langkah atau berbalik dan berlari. Namun sayang, salah satu dari mereka sudah menyadari keberadaan Sabrina di sana.
“Sstt, cewek, tuh!” tunjuk lelaki itu menunjuk dengan dagunya.
“Lumayan, dingin-dingin gini kita ajak senang-senang,” ucapnya lagi. Teman-temannya yang lain langsung tertawa. Ada juga yang tersenyum menyeringai.
Sabrina langsung berbalik saat melihat para lelaki itu bangkit. Dengan langkah cepat dia meninggalkan tempat itu.
Terdengar teriakan juga derap kaki yang mengejarnya. Sabrina melemparkan tas berisi baju dan mulai lari sekuat tenaga.
Jalanan yang gelap juga air hujan membuat jalan menjadi licin. Tanah merah yang terbawa truk-truk semakin memperparah. Sabrina terpeleset. Rasa nyeri terasa di lutut juga tumit yang berbenturan dengan beton jalanan.
Napasnya tersengal. Dia segera bangkit kembali, jangan sampai para lelaki itu bisa menyusulnya.
Tepat saat dia bisa kembali berdiri, sebuah tangan menariknya hingga berbalik. Sebuah wajah dengan seringai menjijikan menatap padanya. Giginya yanng kotor kecoklatan dengan napas bau alkohol membuat Sabrina gemetar ketakutan.
“Mau ke mana, Cantik? Ayo kita senang-senang dulu,” ucapnya semakin mengeratkan cekalan. Sabrina menggeleng kuat. Air matanya mulai menetes dengan jantung bertalu cepat karena takut.
“Ayo kita bawa ke sana biar kagak ada yang lihat!” teriak salah satu dari mereka. Sabrina semakin gemetar ketakutan. Lalu, sekuat tenaga dia menjerit.
“Toloooongg!”
Namun, sebuah tangan besar dengan sigap menyumpalnya. Lalu, mereka menyeret tubuh kurus yang basah kuyup itu ke arah rimbunnya rerumputan pinggir jalan.
Sreet!
Sebuah tangan menarik paksa pakaian yang dipakai Sabrina. Wanita itu berontak sekuat tenaga. Menendang juga berteriak saat mereka lengah. Namun, lagi-lagi mereka menyumpalnya.
Sorot sinar lampu dari sebuah motor menerpa wajah-wajah yang basah kuyup. Mata mereka memicing saat motor itu berhenti.
“Lepaskan!” teriak seorang lelaki yang segera turun dari atas motor. Saat mmelepaskan helm-nya, terlihat rambutnya yang panjang.
Para lelaki yang hendak menodai Sabrina bangkit menantang lelaki berambut gondrong itu. Salah satu dari mereka langsung menerjang dan hendak menyarangkan sebuah tinju. Namun, ternyata lelaki berambut gondrong itu sigap menghindar hingga si penyerang terjerembab terbawa tenaganya sendiri.
Tak lama, yang lain ikut menyerang hingga terjadi perkelahian lima lawan satu. Sabrina menggigil ketakutan menyaksikan perkelahian itu.
Hatinya mulai sedikit tenang saat satu demi satu lelaki berandalan itu dengan mudah dikalahkan. Mereka bahkan lari pontang-panting saat lelaki gondrong itu mengeluarkan samurai.
“Mbak, mau ke mana hujan-hujan begini pergi sendiri?” tanya lelaki itu. Mengulurkan tangannya. Sabrina tampak masih ketakutan.
“Saya bukan orang jahat. Barangkali Mbak butuh tumpangan. Ayo, hujannya semakin deras,” ujar lelaki itu lagi.
Sabrina bangkit dan menutupi dadanya dengan kedua tangan. Para be de bah itu telah mengoyak pakaian atasnya.
“Pakailah ini.” Lelaki itu membuka jaket kulit yang dikenakannya dan memberikannya pada Sabrina. Wanita itu masih diam mematung dan terpaksa lelaki itu menyampirkan jaketnya pada tubuh kurus itu.
“Namaku Sagara. Ayo, saya antar sampai Mbak. Jangan menunggu sampai berandalan itu kembali ke sini dan mengeroyok kita,” ucapnya seraya merunduk untuk mengambil tas selempang milik Sabrina.
“Mbak Mau ke mana?” ulang Sagara di tengah perjalanan.
“Emmh, saya cari penginapan, di mana saja yang dekat,” jawab Sabrina dengan bibir gemetar.
Motor tinggi itu kemudian berbelok pada sebuah hotel dan Sagara meninggalkan Sabrina di sana.
**
Sebulan berlalu sejak kejadian itu, Daniel bertemu dengan Audrey--sepupunya—di sebuah mall. Mereka pun terlibat obrolan sambil makan siang.
“Bang Daniel. Kenalkan ini Irfan, pacarku. Dia ini katanya sekantor sama Mbak Saby, istri Abang. Sebulan lalu dia baru saja syukuran rumah barunya. Sayang, Mbak Saby nggak dateng. Padahal aku pengen ketemu,” ujar Audrey polos.
Prank.
Sendok yang digenggam Daniel terjatuh seketika ke atas piring porselen di depannya.
“I-Irfan? Jadi kamu yang mengirimkan pesan pada istriku?” tanya Daniel terbata, menunjuk pada lelaki yang berada di samping sepupunya.
“Iya, malahan aku juga ada saat Irfan kirim-kirim pesan ke temen-temen sekantornya,” timpal Audrey.
Daniel semakin terbelalak.
“Drey, sorry, Abang pergi dulu.” Lelaki itu bangkit dan berlari.
Hatinya kacau. Dia sama sekali tak menyangka jika Sabrina mengatakan yang sebenarnya..
Daniel semakin terbelalak.
“Drey, sorry, Abang pergi dulu.” Lelaki itu bangkit dan berlari.
Hatinya kacau. Dia sama sekali tak menyangka jika Sabrina mengatakan yang sebenarnya.