Chapter 24

1157 Words
Rendra datang lebih cepat dari waktu yang dijanjikan untuk bertemu Keanu. Rendra tidak menampik jika ia memang sudah tidak sabar untuk bertemu dengan Keanu. Rasanya ia ingin segera mengeluarkan segala macam pertanyaan yang berkecamuk di benaknya. Rendra menarik napas untuk membuat dirinya lebih tenang. “Tak perlu buru-buru, Rendra.” ujar Rendra kepada dirinya sendiri. Ia pun turun dari mobilnya dan memutuskan untuk menunggu Keanu di ruang pribadi di kafe miliknya itu. Mengenakan hoodie hitam polos dengan bawahan jin serta topi berwarna putih gading yang menutupi sampai mata, membuat Rendra hampir-hampir tidak dikenali. Hal itu terlihat dari respons pegawai yang menyambutnya seolah-olah ia adalah pengunjung dan sikap orang-orang yang tidak begitu memedulikan kedatangannya. Biasanya, jika Rendra datang langsung dari lokasi syuting atau hanya dengan pakaian kasual yang tidak menutupi wajahnya, puluhan pasang mata akan langsung mengamatinya dan menilainya.     Kaki Rendra melenggang jauh ke area staff, ingin menuju ke ruang pribadinya. Tapi belum juga ia bisa masuk ke area tersebut, salah seorang pegwainya menahan dirinya. “Maaf, mas. Hanya yang berkepentingan yang boleh masuk.” tegur salah satu pegawainya saat ia mmau memutar kenop pintu. Rendra menaikkan sebelah alisnya, kemudian tersenyum saat menyadari jika pegawai di depannya ini tidak mengenali dirinya. “Ini saya.” ujar Rendra seraya mengangkat topinya sedikit untuk menunjukkan wajahnya. Setelah beberapa detik, pegwai tersebut baru menyadari jika orang di depannya adalah bosnya sendiri. Air muka pegawainya tersebut langsung memucat. “M-maaf, pak! Saya kira orang lain.” “Tidak apa. Saya ke dalam dulu, ya.” sahut Rendra dengan senyum di wajahnya. Dalam hati, Rendra membatin tidak ada salahnya untuk mencoba berpura menjadi pengunjung di kafenya sendiri. Rendra tersenyum miring, membayangkan betapa serunya jika hal itu sungguh terjadi nanti. Sesampainya di dalam, Rendra mendudukkan dirinya di kursi kerja dan mengambil setumpuk kertas mini yang sudah disusun rapi dari dalam laci meja kerja. Kertas tersebut adalah review alias saran atau kritik dari para pengunjung kafe.  Ya, seperti di Bandung, kafe Rendra yang di Jakarta pun menyediakan kotak masukan bernama ‘REVIEW’. “Mari kita baca review seperti apa yang masuk.” seru Rendra seraya membuka lembar demi lembar. Ekspresinya didominasi dengan raut serius dan raut senang.   Dulu, saat Rendra baru pertama kali membangun bisnis kafe di Jakarta, ia rajin membaca review dari para pengunjung. Namun ketika namanya semakin dikenal dan tawaran peran di film, teater, atau series membanjiri dirinya, Rendra jadi memiliki waktu yang terbatas untuk membaca masukan dari pengunjungnya. Alhasil sekarang ia hanya bisa mengumpulkannya dan membacanya di kala ia memiliki waktu senggang. Suara dering ponsel mengalihkan perhatiannya. Tertera nama ‘Keanu Ismana’ melakukan panggilan ke ponselnya. Dengan gerakan cepat Rendra menjawab panggilan tersebut.    “Hmm?” “Kau di mana? Aku sudah di lahan parkir.” “Aku sudah reservasi meja di rooftop, tepatnya di pojok kanan. Ke sanalah.” “Kau sendiri saat ini di mana?” “Aku sudah sampai sedari tadi. Oh iya, kau mau apa? Biar kubawakan.” “Aku mau Americano dan nasi goreng kambing. Lapar sekali, rasanya. Terima kasih, Ren.” “Tak masalah.” Setelah itu telepon mereka terputus. Rendra merapikan kembali tumpukan review ke dalam laci lalu bergegas ke dapur untuk menyampaikan pesanan Keanu. Karena nasi goreng membutuhkan waktu proses masak, Rendra hanya dapat membawa dua gelas kopi Americano dan semangkuk buah potong dengan harapan dapat mengganjal perut Keanu untuk sementara waktu. Ketika menaiki tangga, Rendra tersenyum lebar saat menyadari orang yang berada di depannya adalah Keanu. Setengah berteriak, Rendra memanggil Keanu. “Keanu!” Keanu menengok ke belakang dan mata keduanya bertemu. Rendra pun menaikkan kedua alisnya. “Dramatis sekali kita bertemu di tangga.” pungkas Rendra berkelakar.   Keanu tertawa mendengar lelucon Rendra. Terlihat Keanu mempercepat langkahnya ke rooftop lalu menunggu Rendra di sana. Ketika Rendra sampai, keduanya pun berjalan bersama ke meja yang sudah direservasi oleh Rendra sebelumnya. “Nasi gorengmu sedang dimasak. Sembari menunggu, kubawakan buah potong untukmu.” sahut Rendra ketika keduanya duduk. Ia mendorong semangkuk buah potong tersebut ke hadapan Keanu. Keanu, yang kelaparan, langsung memasukkan potongan-potongan buah itu ke mulutnya. Rendra sedikit tidak menyangka sahabatnya itu ternyata betulan lapar dan tak dapat menahan diri untuk melempar pertanyaan ke Keanu. “Apa kau belum makan seharian?” “Belum,” jawab Keanu dengan mulut penuh. “Mumpung ini akhir pekan, aku memutuskan untuk bangun siang. Kurasa, aku baru keluar kamar pukul 12? Lalu, tahu-tahu, Baginda Ratu sudah menyeretku dan memintaku untuk menemaninya berbelanja.” sambung Keanu menggerutu. Rendra tertawa mendengar cerita Keanu. Apalagi saat Keanu menyebut panggilan Baginda Ratu. Baginda Ratu sendiri adalah panggilan yang disematkan Keanu kepada ibunya karena –menurut Keanu­– tidak ada seorang pun yang bisa melawan titah sang Ibu. “Tutup mulutmu. Aku tahu kau mengajakku bertemu karena penasaran mengapa Hani menolakmu.” sambar Keanu tanpa tedeng aling-aling. Seperti menuruti perintah Keanu, Rendra menutup mulutnya. Sudah tak mungkin bagi dirinya untuk mengelak karena memang itu alasan utamanya mengajak Keanu bertemu sore ini. Kalaupun ia nekat mau membuat-buat alasan lain, Keanu pasti akan mengatakan hal lain yang membuatnya tutup mulut. Sebagai gantinya, Rendra menatap Keanu dalam. Di otaknya kini sudah tersusun beberapa pertanyaan soal Hani. Ketika ia membuka mulutnya, siap melemparkan pertanyaan pertama ke Keanu, tiba-tiba saja sahabatnya itu mengangkat tangannya. “Jangan berekspektasi terlalu tinggi. Aku tidak akan bisa menjawab semua pertanyaanmu.” Rendra mengangguk, memahami jika tidak semua hal bisa ia tanyakan kepada Keanu. Namun Keanu tidak akan menyerah untuk mencoba menggali cerita sedetail mungkin. “Baiklah. Pertama, jadi apa benar kalau Hani… tidak mau bertemu denganku?” “Benar. Kenapa? Kau tidak percaya?” tanya Keanu balik yang disambung dengan tawa. Rendra hanya bisa tersenyum pahit. Harus diakuinya, ia sedikit tidak menduga jika Hani akan menolak bertemu dengannya. Sejujurnya gagasan akan Hani menolaknya sempat terlintas di otaknya, tetapi ia menepis pikiran tersebut dengan argument bahwa kecil kemungkinan hal itu terjadi. Ya, katakanlah ia sombong atau terlalu percaya diri, tetapi Rendra merasa dirinya tidak kalah jika dibandingkan dengan lelaki-lelaki lain di luar sana. “Ternyata kau cukup percaya diri, ya.” kata Keanu usai tawanya reda. Rendra menangkup dagu dengan telapak tangan kirinya. “Ya, bisa dikatakan seperti itu.” “Tidak semua perempuan akan tertarik padamu, Ren.” ujar Keanu yang dilanjutkan dengan aksi mengunyah buah di mulutnya. Tentu saja Rendra tahu hal itu dengan pasti. Sudah melanglang buana di industri hiburan sedari remaja membuat Rendra belajar bahwa dirinya bukanlah pusat alam semesta. Ditambah lagi, ia bertemu dengan berbagai jenis persona, mulai dari yang sangat baik kepadanya hingga yang dengan terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya pada Rendra. Pengalamannya tersebut membuka mata dan pikirannya bahwa tidak ada keharusan orang harus menyukai dirinya. Tetapi dengan Hani kemarin, Rendra merasakan ada sesuatu yang berbeda. Kali ini saja, ia berharap perempuan itu tertarik kepadanya. Seperti halnya Rendra yang tertarik kepada Hani. Ia ingin Hani melihatnya. Ia ingin Hani tersenyum ke arahnya. Ia ingin ada bayang-bayang dirinya di mata sayu Hani. “Aku tahu itu.” balas Rendra. “Tetapi, dengan Hani, aku berharap dia tertarik padaku.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD