Chapter 23

1303 Words
Akhir pekan ini dimanfaatkan Rendra untuk memeriksa beberapa naskah film yang datang kepadanya di ruang tengah apartemennya. Dengan kaos putih polos dan celana santai di atas lutut berwarna abu-abu, Rendra duduk berselonjor di sofa hitam ruang tersebut. Wajahnya yang dibingkai dengan sebuah kacamata tipis terlihat serius mempelajari alur cerita dan karakter yang ditawarkan kepadanya. Sebuah mug berisi kopi menemani aktifitas yang sudah dilakukannya sejak pagi hari. Rendra baru beristirahat ketika camilan di meja sudah tak dapat lagi membendung rasa laparnya. Ia menengok ke jam digital yang bertengger di meja bundar di pojok ruang tersebut dan mengeluarkan seruan kaget saat melihat waktu menunjukkan pukul satu siang. Rendra pun berdiri sembari meregangkan badannya. Ia berjalan ke dapur diiringi dengan nyanyian kecil. Hal pertama yang dilakukannya adalah memeriksa persediaan nasinya. Setelah memastikan nasi masih tersedia, Rendra membuka kulkas. “Apa yang harus kumakan hari ini, hmm…” seloroh Rendra ketika melihat isi kulkasnya. Matanya bergerak naik turun mencoba mencari lahapan yang memuaskan lidahnya hari ini. Rendra mengambil sebuah tempat makan yang cukup besar. Ia membuka tutupnya dan tampak sajian rending di dalamnya. Ia memindahkan beberapa potong daging ke wadah yang lebih kecil untuk dihangatkan di microwave. Sembari menunggu, Rendra kembali membuka pintu kulkas. Kali ini dengan kenyitan di keningnya. "Apa Mama tidak menaruh daun singkong juga?” tanya Rendra kepada dirinya sendiri. Ia mengangkat beberapa boks tempat makan sebelum akhirnya ia menarik keluar sebuah tempat makan kecil. Rendra membuka tempat makan kecil tersebut dan berseru senang saat menemukan lalapan daun singkong. “Kemarilah daun-daun singkongku~” Usai menghangatkan lauk pauk dan mengambil sepiring nasi, Rendra mulai menyantap makan siangnya dengan khidmat di pantry dapur. Sepiring nasi dengan rendang sebagai makanan utama dan daun singkong sebagai pendamping. “Masakan Mama memang tak ada tandingannya.” gumam Rendra setelah menyuapkan sesendok nasi dan rendang ke mulutnya. Tak butuh waktu lama baginya untuk menghabiskan makanannya, tidak meninggalkan sisa. Setelah memuaskan rasa lapar yang sempat mendera dirinya sebelumnya, Rendra kembali duduk di sofanya. Ia menaruh secangkir kopi –ia membuat lagi– di atas meja dan mengambil ponselnya yang juga berada di atas meja. Dari segala pesan instan atau obrolan di grup yang berdatangan, Rendra menahan tawa saat melihat ada sebuah pesan masuk dari Keanu. ‘Akhirnya dia menghubungiku lagi.’ batin Rendra dengan senyum di wajahnya.   Bagaimana tidak, sahabatnya itu sempat memblokir kontak Rendra sehingga aktor berbahu lebar itu tidak dapat menghubungi Keanu. Rendra akui, saat itu ia diburu rasa tak sabar menunggu respons dari Hani sehingga yang bisa dilakukannya hanyalah memborbardir kontak Keanu. Rendra ingat betul Keanu memblokirnya saat Rendra bertanya untuk keempatkalinya. Rendra tertawa kecil mengingatnya. Namun tawa itu tak bertahan lama setelah Rendra membaca isi pesan Keanu. Sebuah pesan yang isinya tidak Rendra duga-duga akan datang kepada dirinya. Hani menolak bertemu dirinya. Rendra membaca pesan dari Keanu berulang kali, memastikan dirinya tidak salah baca. Pesan tersebut dikirimkan sekitar setengah jam lalu. Berarti ketika dirinya sedang menyantap makan sianganya. Rendra membalas pesan tersebut dengan bertanya apakah mereka bisa bertemu sore nanti di kafe Rendra. Untungnya Keanu membalas saat itu juga dan mengatakan jika ia bisa bertemu dengan Rendra. Rendra mengempaskan ponselnya ke atas sofa. Ia menyandarkan kepalanya ke sandaran sofa. Matanya memerhatikan langit-langit apartemennya cukup lama. “Kenapa?” bisik Rendra bertanya ke ruang kosong di sekitarnya. Ia tak dapat menghentikan pertanyaan ‘kenapa’ dan ‘mengapa’ dari benaknya. Rendra mengembuskan napas. Ia mengangkat kepalanya dan melirik ke sisa naskah yang belum sempat dipelajarinya hari ini. Rendra mengambil naskah terakhir yang dipelajarinya dan melanjutkan aktivitasnya yang sempat tertunda itu. Ingatannya akan Hani sempat berputar, menghampiri pikiran Rendra, namun dengan cepat Rendra mengusirnya. Ia mengambil kopi dan meneguknya cukup banyak, berharap cairan berkafein dapat membantunya untuk menjadi lebih fokus. Perlahan namun pasti, Rendra dapat kembali fokus mempelajari naskah film di pangkuannya. Inilah yang Rendra suka menjadi seorang pelaku seni peran. Ia dapat jatuh menyelami dunia baru dan menjadi orang lain. Meski hanya untuk sesaat. *** “Pagi.” Mona mengangkat kepalanya ke Hani yang baru saja datang. Seperti biasa, tampak Hani mengenakan setelan celana bahan yang dipadu dengan kemeja. Hari ini warnanya krem dan putih. Jika ada yang berbeda dari rekan sejawatnya, itu adalah kompleksi di wajah Hani yang sudah terlihat membaik pagi ini.    Mona mengangkat tangan kanannya lalu membalas sapaan dari Hani.   “Pagi. Kau terlihat lebih segar.” Hani mengangkat kedua alisnya, tidak mpaham dengan perkataan Mona barusan. Ia duduk di kursinya yang berada di seberang Mona kemudian menaruh kantong plastik yang dibawanya ke atas meja. “Segar bagaiamana?” tanya Hani yang seraya mengeluarkan isinya, yakni sebungkus lontong sayur. Santapan berkuah itu adalah sarapan Hani hari ini. Memutar-mutar pulpen di tangannya, Mona menjawab, “Pembawaanmu, kurasa. Ya, meski lingkar matamu masih hitam, tetapi pembawaanmu saat ini sudah terasa lebih segar. Kemarin-kemarin kau itu mirip zombie, tahu.” Hani tertawa mendengar cerocosan Mona. Hani pikir, ‘pembawaan segar’ yang dimaksud Mona itu tidak terlepas dari konseling yang dilakukannya setiap minggu bersama Asta. Setelah satu bulan lebih menjalani konseling, Hani kini mulai mendapatkan ritme tidurnya kembali.   “Mona, makan.” ujar Hani berbasa-basi lalu langsung menyantap makanan yang terhidang di depannya. Kuah gurih dan hangat mengisi perutnya membuat Hani bersyukur memilih lontong sayur untuk sarapannya hari ini. Mona membalas dengan anggukan lalu keduanya sibuk dengan kegiatan masing-masing. Mona yang berkutat dengan layar komputernya sedari Hani datang dan Hani yang menyantap sarapannya. Begitu selesai dengan sarapannya, Hani lantas bersiap-siap untuk rapat dengan timnya hari ini untuk mengembangkan prototype desain dan melakukan rembuk bersama soal desain interaktif untuk rebranding sebuah produk klien mereka. Di ruang rapat, Hani menemukan rekan-rekan di timnya asyik berbincang satu sama lain. Mereka langsung menyapa Hani lalu kembali berbincang lagi. Hani menyapa balik dan menemukan dirinya dihadapkan dengan sebuah pilihan sulit. Hanya ada dua kursi yang tersisa yakni di sebelah kiri atau di sebelah kanan Leo. Dua tempat tersebut kosong karena sebagai leader, Leo adalah orang yang kerap memberikan revisi atau koreksi dari hasil pekerjaan mereka. Alhasil, beberapa orang menemukan Leo adalah orang yang sulit dan sungkan untuk berdekatan dengan leader mereka itu. “Apa yang kau lakukan? Duduk.” tegur Leo melihat Hani hanya berdiri termangu. Hani mengangguk lalu memutuskan untuk duduk di kursi yang paling dekat darinya, yakni di sebelah kiri Leo. Sebenarnya bisa saja Hani memilih kursi paling belakang, tetapi tindakan itu akan terlihat kurang pantas karena seolah-olah dirinya sengaja menjauh dari Leo. Sembari menunggu satu orang lagi di tim mereka, Hani memilih untuk menggambar di buku catatan yang ia bawa. Ia sebenarnya ingin ikut berbincang dengan rekan di sampingnya, sayangnya, saat Hani tak sengaja mendengar bahan obrolan mereka, Hani tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Menggambar adalah teman setia Hani di kala ia bingung melakukan apa. Tidak ada tema khusus, ia hanya menggambar apa yang muncul di pikirannya. “Itu siapa?” sahut Leo, tiba-tiba bertanya. Hani menoleh ke Leo dan mengerutkan alisnya. “Siapa?” Leo menunjuk sketsa wajah seorang perempuan yang digambar Hani. Hani tersenyum saat menyadari yang dimaksud Leo adalah gambar Shaina. “Oh, itu temanku. Cantik ya?” Leo diam lalu hanya mengangguk, tidak memberikan respons apapun lagi. “Kenapa kau menggambarnya?” “Aku hanya menggambar apa yang terlintas di kepalaku saat ini.” jawab Hani seraya kembali menggoreskan pensilnya. Seandainya saja Hani mengangkat kepalanya saat itu, ia akan menemukan Leo yang menatap tajam ke sketsa wajah seorang pria di samping gambar Shaina.      Tak lama kemudian, anggota terakhir mereka telah datang. Ia meminta maaf atas keterlambatannya lalu rapat pun segera dimulai. Hani pun menyudahi kegiatan menggambarnya dan membalikkan lembar halaman buku catatannya ke lembar yang masih bersih. Leo melirik ke Hani sekilas kemudian ia langsung menatap ke depan, ke seluruh anggota tim mereka. Leo, sebagai leader tim tersebut, membuka rapat. “Baik semuanya, selamat pagi. Seperti yang kalian tahu, klien kita akan melakukan rebranding dari salah satu produk mereka. Minggu lalu kita sudah membahas tentang…”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD