Pertemuan Tak Bermakna

1524 Words
Erna memantapkan diri untuk menghabiskan waktu luangnya siang itu dengan mengunjungi sebuah pameran seni di sebuah museum di bilangan Jakarta. Cuaca panas tidak menghalang tekadnya untuk pergi. Tujuannya sebenarnya hanya satu: menikmati waktu hanya untuk dirinya sendiri, jauh dari hiruk pikuk manusia di sekelilingnya. Menjadi seorang mahasiswi memiliki keuntungan tersendiri bagi Erna. Salah satunya adalah kebebasan untuk mengikuti kelas atau tidak. Nilai? Oh, sungguh, persetan dengan nilainya. Biarkan nilai menjadi urusan nanti-nanti. Ketenangan jiwa dan mental Erna saat ini harus menjadi prioritas yang didahulukan.   “Kalau mbak mahasiswa, cukup dengan menunjukkan KTM, harga tiket bisa menjadi lebih murah. Apa mbak seorang mahasiswa?” tanya petugas loket kepada Erna. Erna menggeleng cepat. Sejujurnya, ia mahasiswa, tetapi ia terlalu malas mencari Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) ke dalam tas. Lagipula tiket umum harganya sangat terjangkau, yakni tidak lebih mahal dari harga mie ayam di kampusnya. Jadi, Erna memutuskan untuk mengambil tiket umum saja. Seperti yang diharapkan Erna, suasana di pameran tersebut cukup sepi. Ruang pameran terbagi menjadi beberapa tempat, dan sekitar satu tempat, hanya ada satu-dua manusia yang berkitar di sana. Ini dia. Detik itu juga, Erna bersyukur masyarakat Indonesia masih memiliki ketertarikan yang rendah pada pameran seni di museum. Kesunyian di museum tersebut serasa menenteramkan jiwanya. Erna pun mulai berkeliling, memerhatikan karya seni di hadapannya. Pameran yang dikunjungi Erna bertema lukisan potret para pelaku seni yang dianggap mengangkat nama baik film Indonesia, mulai dari aktor, aktris, sutradara, penulis naskah, dan sebagainya. Selagi menikmati kesunyian di museum, Erna terpaku saat melihat sebuah lukisan di depannya. Lebih tepatnya, lukisan potret seorang lelaki dengan sepasang mata yang tajam, seolah-olah memiliki banyak rahasia dan cerita di dalamnya. “Mengapa kamu memerhatikan potret saya sampai sebegitunya?” Erna mendongakkan kepalanya ke si penanya. Ah, lelaki dalam lukisan tersebut. Mata keduanya tidak bertemu, tetapi Erna tahu, Wira yang kini berdiri di sampingnya itu menunggu jawaban dari dirinya. Setelah diam beberapa saat, Erna menjawab. “Mengagumi ciptaan Tuhan.” Wira tertawa kecil. “Kamu tidak malu ketahuan oleh saya?” Erna menggeleng. “Bukankah hal yang wajar? Kak Wira pun sering mengagumi keindahan Tuhan di alam.” Dari sisi mata Erna, ia bisa melihat Wira mengangguk-anggukan kepalanya. “Masuk akal.” sahut Wira. Puas mengamati portrait Wira, Erna berjalan menuju lukisan lainnya. Lagi-lagi, Erna berdiri dan terpaku melihat lukisan di depannya. Kali ini, potret aktor Rio Dewanto yang menjadi objek pelototannya. “Jadi kamu memelototi semuanya, ya.” seloroh Wira, yang rupanya, mengikuti langkah Erna. Erna mengangkat kedua bahunya. “Mau bagaimana lagi, ciptaan Tuhan yang indah ada banyak.” Untuk kesekian kalinya, Wira tertawa. Hal itu tak pelak membuat Erna bingung sendiri. Apakah ada yang lucu dari perkataannya? Atau gerak-geriknya yang tampak seperti badut?  Erna tidak dapat memahami jalan pikiran lelaki di sampingnya ini. “Kamu tahu,” Erna menengok ke Wira. Wira sendiri asyik mengamati portrait aktor di hadapannya. “Tadinya, saya hampir tidak ikut berpartisipasi di project pameran ini.” Erna mengangguk. “Saya sempat berpikir, ‘Mereka hanya mau mendompleng nama saya saja.’ Baru setelah saya berdiskusi dan melihat hasilnya saat ini, saya menyadari bahwa ada sesuatu dari setiap lukisan portrait itu.” Erna menaikkan sebelah alisnya. “Ternyata Kak Wira bisa besar kepala juga, ya.” ejek Erna. Wira mengangkat kedua bahunya. “Saya manusia. Tempatnya salah dan lupa.” Ujar Wira. Usai mengucapkan kalimat tersebut, Wira menengok ke perempuan mungil di sampingnya.  “Memangnya di pikiran kamu, saya orangnya seperti apa?” Erna diam. Dalam hati, Erna iri dengan sepasang mata yang dimiliki Wira. Sudutnya mendekik dalam, membuatnya terlihat dalam. Bola matanya berwarna coklat muda namun tidak membuatnya terlihat dangkal. Sebaliknya, mata tersebut seperti mengundang Erna untuk menggali cerita apa yang tersembunyi di baliknya.   Terpesona. Jadi ini yang dinamakan terpesona. Tak ingin terjerembab jatuh semakin dalam ke lubang mata berwarna coklat muda milik Wira, Erna terlebih dahulu mengalihkan pandangannya. Menarik napas pelan, Erna menjawab, “Pikiran, pendapat, dan pandangan saya akan Kak Wira, biarkanlah menjadi milik saya sendiri. Saya tidak berkewajiban untuk membaginya kepada siapa pun.” Setelah itu sunyi mengisi ruang di antara keduanya. Hanya ada suara langkah kaki Erna, diikuti oleh Wira, yang berpindah dari satu lukisan ke lukisan lainnya. Cukup lama Erna melakukan kegiatannya tersebut, hingga akhirnya ia pergi dari ruang pameran dan beristirahat di sebuah kursi lincak yang tersedia di taman belakang gedung pameran tersebut. Hal yang tidak Erna duga-duga adalah Wira masih mengikutinya sampai saat ini. Cukup aneh, mengingat mereka sebenarnya tidak saling mengenal satu sama lain. Ralat. Erna tahu Wira. Wira tidak tahu Erna. Sesimpel itu.   Meneguk air dari botol minum yang ditentengnya, Erna bertanya dengan nada hati-hati. “Apa Kak Wira tersinggung dengan jawaban saya sebelumnya?” Wira mengembuskan asap berwarna putih ke udara. Satu hal lagi yang tidak Erna sangka-sangka. Pria yang tampak sempurna di layar kaca itu sekarang tampak sangat menikmati batang tembakau yang terselip di antara bibirnya. “Jawaban yang mana?” “Jawaban saya bahwa apapun yang saya pikirkan akan Kak Wira, saya tidak berkewajiban untuk membagi kepada siapa pun.” Lagi. Wira menyesap rokoknya lalu mengembuskannya. Dalam hati Erna menyesali mengapa tidak sesegera mungkin ia mengutarakan kebenciannya pada asap rokok. Sudah terlambat. “Tidak sama sekali. Jawaban kamu seperti angin segar hari ini. Tidak biasa dan menyenangkan.” Erna tidak tahu apakah kalimat Wira barusan adalah pujian atau hinaan. Daripada salah berkata-kata, Erna memilih untuk menutup mulutnya. “Dari sekian banyak lukisan di dalam, yang mana favoritmu?” tanya Wira. Dari sorot matanya, kentara bahwa pria tersebut menantikan pernyataan apa yang akan keluar dari bibir Erna. Erna termenung memikirkan pertanyaan Wira. Favorit? Semuanya tampan, cantik, unik, dan memiliki ceritanya masing-masing. Tetapi jika diminta untuk memilih favoritnya? “Tidak ada?” Wira tertawa geli. “Kamu balik bertanya ke saya?” “Tidak, tidak. Tadi saya sempat ragu, tetapi sekarang saya sudah yakin. Tidak ada, kak.” “Sungguh? Dari sekian banyak yang kamu pelototi sebegitu lamanya, tidak ada yang menjadi favorit kamu?” Erna mengangguk. “Iya, tidak ada.” “Apa kamu berminat berbagi alasannya dengan saya?” “Semuanya bagus. Tetapi tidak ada yang meninggalkan bekas mendalam di pikiran saya.” Wira mengangguk-angguk. Lalu untuk kesekian kalinya, asap putih keluar dari bibir pria tersebut. Kali ini, Erna tidak mampu lagi menahan tekanan besar dari dadanya. Ia langsung batuk-batuk usai menghirup asap rokok yang baru saja dikeluarkan oleh Wira. Melihat Erna terbatuk-batuk sembari berusaha menutupi hidung dengan lengannya, Wira langsung menyundut rokok di tangannya ke tong sampah di dekatnya. “… Kamu tidak bisa menghirup asap rokok?” Erna menggeleng-geleng masih dengan lengan di hidungnya. Matanya tampak agak berair. “Kamu seharusnya bilang sedari tadi.” gumam Wira dengan dahi berkerut. Ia mengambil botol minum di samping Erna dan menyerahkannya ke Erna dengan posisi penutup botol sudah terbuka. Erna sangat menghargai gestur Wira tersebut dan pelan-pelan menelan air untuk membasahi tenggorokannya. “Terima kasih.” cicit Erna setelah dadanya terasa lebih membaik. Lebih tepatnya, Erna agak malu karena tidak segera mengaku kalau dirinya tidak suka asap rokok.   “Lain kali, katakan hal-hal yang menyangkut dengan kesehatanmu sesegera mungkin. Orang pertama yang bisa merawat dirimu adalah kamu sendiri, mengerti?” Dengan senyum di wajahnya, Erna mengangguk. Lucu rasanya, diomeli seperti itu oleh Wira. Tidak terbayang, sosok Wira yang imejnya kalem dan dingin bisa mengomeli orang seperti itu. “Kenapa kamu tersenyum-senyum seperti itu?” tegur Wira Menaikkan sebelah alisnya, Erna balas bertanya. “Memangnya saya tersenyum?” “Jangan membalikkan pertanyaan saya.” gerutu Wira. Erna tertawa. Masih dengan senyum di wajahnya saat ia melihat Wira dan menyadari suatu hal. Bertemu dengan orang ini adalah bagian favoritku hari ini. Mungkin.   Suara azan Asar sayup-sayup memasuki indra pendengaran Erna. Ia melongok ke langit dan menemukan warna oranye sudah mendominasi selimut bumi. Rupanya, waktu berjalan lebih cepat dari yang Erna duga. Erna pun bangkit dari duduknya. Ia meregangkan tubuhnya yang terasa agak kaku setelah duduk cukup lama. “Saya pulang dulu, ya.” pamit Erna kepada Wira yang masih duduk santai. Wira menganggukkan kepalanya. “Pulang ke arah mana?” “Ke arah dimana saya selalu terpijak bara hangat.” jawab Erna setelah diam sesaat. Wira menggeleng-gelengkan kepalanya antara takjub dan heran campur aduk menjadi satu. “Apa artinya itu?” “Tidak ada arti khusus.” “Kalau kamu bohong, saya jitak, ya.” Erna terkekeh. “Terima kasih untuk hari ini. Semoga lancar perjalanannya, kak.” “Terima kasih juga dari saya. Untuk jawaban-jawabanmu yang seperti angin segar itu, terima kasih.” balas Wira, yang disambut dengan seutas senyum dari Erna. Sebenarnya, Erna belum ingin pulang. Ada rasa enggan untuk pulang. Tetapi mau tak mau, ia harus kembali karena ia yang sekarang ini belum memiliki cukup kekuatan untuk pergi dari tempat dimana ia selalu terpijak bara hangat. Sembari menjejakkan kakinya menuju ke bus, Erna teringat dengan perbincangannya dengan Wira hari ini. Jika bagi pria itu Erna adalah angin segar, maka bagi Erna kemunculan Wira hari itu seperti air. Air yang untuk sesaat memadamkan panas bara di hatinya. “Dari sekian banyak lukisan di dalam, yang mana favoritmu?” Erna tersenyum. Kini ia sudah menemukan jawaban dari pertanyaan yang dilemparkan oleh Wira sebelumnya. Bukan lukisan, tetapi pertemuan tak bermaknanya dengan Wira adalah bagian terfavoritnya hari itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD