Dunia Harem

1496 Words
Satu tetes bulir bening merembas keluar dari pelupuk mata seorang wanita cantik yang sedang duduk di depan meja riasnya. Wanita bermata sayu itu menunduk, terisak kecil setelah mendengar berita yang dibawa pelayannya. "Yang Mulia ...," cicit sang pelayan merasa bersalah. "Jangan hiraukan aku. Yang Mulia berhak menikahi putri dari Ackerley." Wanita itu berusaha tersenyum tegar. "Ta-tapi kabar itu pasti membuat Anda bersedih—" "Aku tidak pernah mempermasalahkan posisiku sebagai selir, Vee. Aku hanya merasa senang karena tidak harus menanggung beban besar sebagai ibu negara." Meski di akhir kalimatnya, wanita itu sempat mengukir seulas senyuman. Nyatanya, senyum paksaan itu tak lekas membuatnya tampak tegar. Justru, sebuah kerapuhan terlihat jelas dari puas wajahnya. Namanya Calista Whitney, putri salah satu perdana menteri kiri yang menjadi selir pertama Arthur. Kehadirannya dianggap sebagai berkah dan kemenangan pihak menteri kiri karena dengan demikian, tandanya mereka bisa menaruh pion di posisi strategis pemerintahan. Calista Whitney dipilih langsung oleh Arthur ketika pria itu menolak semua wanita di Adney Land yang dijodohkan padanya. Bahkan, demi menikahi Calista, hubungan Arthur sempat bersitegang dengan ibu suri sekaligus wanita yang telah melahirkannya, Imelda. Semua orang pikir, Arthur menikahi Calista karena cinta. Namun, pada kenyataannya, pria itu tak sekali pun pernah menyentuh sang selir. Sikap acuhnya itu tidak hanya Arthur tunjukkan pada Calista ketika mereka berdua. Namun, juga di sembarang tempat, tak peduli itu tempat umum hingga aula sidang. Tidak sekali pun pernah keluar ucapan manis dari Arthur yang pernah didengar orang di istana, bahwasanya pria itu memuji sang selir. Maka dari itu, timbullah pertanyaan besar dalam benak masing-masing orang dalam istana. Apa alasan Arthur menikahi Calista, jika pada kenyataannya tidak ingin menyentuhnya. Dari hal ini 'lah terdengar banyak desas-desus yang disebar baik dari pihak menteri kiri maupun menteri kanan. Mulai dari dugaan ancaman dari Imelda hingga dugaan bahwa Arthur menikahi Calista untuk membentak pihak menteri kiri, bahwa dengan apa pun tak akan mampu ikut campur dalam urusan kemutlakan pemerintahannya. Istana terlalu rumit, sangat sulit dipahami. Butuh kekuatan untuk tinggal di sebuah tempat yang mana hukum alam berkuasa, di mana yang kuat 'lah yang berhak hidup dengan baik, sedangkan yang lemah hanya bisa ditindas. Namun, semua tidak pernah sederhana. Baik sayap kanan maupun kiri, keduanya selalu berusaha mengepak lebih keras untuk menunjukkan bahwa salah satu di antara mereka 'lah yang pantas memerintah. Hari ini adalah hari kepulangan sang kaisar membawa serta sang calon permaisuri kerajaan. Upacara pernikahan dilakukan dengan cepat, seperti diburu sesuatu. Makanya, seluruh istana tampak sangat sibuk. Para pelayan berlalu lalang membawa berbagai bahan-bahan dapur hingga bunga-bunga cantik. Para pelayan pria juga bahu membahu mengangkat dan mendirikan dekorasi serba mewah untuk perayaan penyambutan permaisuri kerajaan mereka yang sangat dinanti-nantikan. Jika di pihak selir, ada Calista yang tampak begitu mendung. Maka di pihak lain ada Imelda, wanita berambut perak itu tampak begitu antusias mengatur berbagai perayaan nanti malam. Bahkan, dia tampak mondar-mandir untuk memantau persiapan agar sempurna. Baginya, mendapat menantu seorang putri adalah keberkahan, terlebih lagi kerajaan sang putri itu telah ditaklukkan. Selain bisa sebagai pernikahan politik, jelas di sini ia yang akan sangat diuntungkan karena kedatangan sang putri akan menambah orang di pihaknya. "Salam, Ibu Suri!" sapa seorang gadis remaja dengan pakaian sangat glamour. Kedua mata Imelda langsung berbinar tatkala mendapati si gadis. "Astaga, Amora! Kau cantik sekali hari ini!" Mendengar pujian Imelda itu, sontak Amora dibuat mengernyitkan kening. Pasalnya, pakaian serba glamour dan mewah seperti ini adalah hal biasa baginya. Ini pakaian sehari-harinya, tetapi Ibu Suri tidak pernah memuji penampilannya. Sedetik kemudian Amora sadar, wanita paruh baya yang tampak masih cantik menawan itu sepertinya dalam keadaan hati yang sangat baik. Jarang-jarang melihat Imelda tersenyum hingga berseri. Biasanya wanita berambut perak itu selalu berwajah datar, merengut atau marah. Selalu saja seperti itu. Namun, melihat suasana hati bibinya yang sedang sangat baik itu, seketika mata Amora menjadi hijau. Gadis remaja yang sangat tergila-gila dengan uang dan kemewahan itu memiliki ide yang sangat menarik untuk memuaskan kesenangannya akan uang dan harta. Amora membalikkan badan, ia menatap salah satu pelayannya yang membawa sebuah kotak perhiasan. Kebetulan sekali, tadi Amora mau melelang kotak perhiasan yang sudah bosan ia pakai. Tentu, dengan namanya sebagai seorang putri agung sekaligus sepupu seorang kaisar membuat barang yang ia kenakan menjadi pusat perhatian gaya berbusana wanita kerajaan, khususnya para putri bangsawan lain. Setiap barang yang bekas ia pakai akan dihargai sangat mahal, bahkan bisa jadi tiga kali lipat dari harga awal yang sebelumnya sudah fantastis. Dengan hobinya itu 'lah dia dijuluki sebagai gadis terkaya di Adney Land. "Ibu Suri, kebetulan sekali, aku juga ingin memberikan hadiah untuk calon kakak ipar," ucap Amora ceria seraya mengulurkan sebuah kotak perhiasan yang dirasanya paling murah di antara barang yang akan ia lelang. "Kuharap calon kakak ipar menyukainya." Wajah Imelda semakin berseri. "Benarkah? Astaga ... Amora, kau adalah anak yang baik." Namun, ketika Imelda hendak menerimanya, tangan Amora seolah menahan kotak itu. Imelda menatap heran pada Amora, tetapi gadis itu masih tetap mempertahankan senyum lebarnya. Baru 'lah beberapa detik kemudian, Imelda tersadar. Wanita paruh baya itu langsung mendengkus. "Dasar anak mata duitan!" sungut Imelda, tetapi tidak benar-benar marah. Wanita paruh baya itu kembali merekahkan senyuman. Suasana hatinya terlalu baik. Ia ingin memamerkannya pada semua orang. Kebetulan sekali, saat itu beberapa orang menteri kiri sedang lewat tak jauh dari mereka. Memanfaatkan suasana, Imelda segera memanas-manasi para menteri kiri yang sedang lewat itu dengan sengaja meninggikan nada bicaranya, tetapi lirikan matanya jelas sekali sedang mengarah pada mereka. "Hm ... terima kasih, Putri Amora. Putri sungguh baik hati memberikan hadiah untuk 'calon permaisuri' kita!" Suara lantang Imelda itu jelas didengar beberapa menteri kiri yang melintas. Pria berpakaian resmi itu serempak menoleh ke arah asal suara. Sesekali melempar tatapan satu sama lain sebelum akhirnya memberi hormat pada Imelda dengan wajah masam. "Hormat kami, Ibu Suri." Imelda tersenyum sinis, penuh keangkuhan. "Ya, ya ... kalian semua tidak perlu sungkan seperti itu. Oh, kebetulan kalian melintas. Sekalian kalian menjadi saksi, ya. Aku akan memberikan seratus lima puluh keping emas, satu kotak besar perhiasan, dan lima lukisan langka untuk Putri Amora sebagai rasa terima kasih atas hadiah untuk 'calon permaisuri' kita." Mendengar ucapan Imelda yang sengaja dikeraskan dan dibuat-buat itu membuat kejengkelan di hati oara menteri kiri meradang. Namun, mereka juga tak bisa berkata apa-apa. Jelas, mereka sedang ditindas dan mereka tidak boleh diperlakukan seperti itu. Jadi, untuk menghindari pertemuan dengan Imelda, para menteri kiri itu segera menunduk hormat dengan hati dongkol. "Kami menyaksikan, Ibu Suri. Semoga langit memberkahi Putri Amora." "Mohon maaf, Ibu Suri. Kami sedang dalam perjalanan ke upacara penyambutan bersama para dewan. Sekiranya, kami memohon izin meneruskan perjalanan kami." Mencebikkan bibirnya, Imelda segera mempersilakan para menteri kiri itu melintas seraya mengibaskan tangan. Kebetulan sekali, selepas kepergian para menteri kiri, tampak dari kejauhan seorang wanita berpakaian khas kerajaan sedang berjalan anggun ke arahnya diikuti para pelayan di belakangnya. Melihat kedatangan sang menantu, senyum culas Imelda tampak semakin jelas. "Salam, Ibu Suri!" sapa Calista seraya menunduk anggun. Tak lupa ia menunduk kecil ke arah Amora. Bagaimana pun juga, meski usia Amora masih lebih muda darinya, tetapi Calista tetap harus memberi hormat karena hubungan kekeluargaan Calista yang lebih mulia daripada gelarnya sebagai selir. "Putri Amora." Amora membalas dengan mengangguk ringan setelah memberikan hadiahnya pada salah satu pelayan Imelda. Tak ada raut wajah bersahabat di sana. Ya, memang tampak jelas bahwa baik yang berada di pihak menteri kanan maupun kiri sangat jelas meski dilihat dengan mata telanjang. Mereka saling bertatap tajam, kadang dengan senyum yang aslinya sama-sama menyimpan belati bersiap untuk menikam satu sama lain. "Hm ... ada apa kemari?" Alih-alih membalas salam Calista, Imelda malah balik bertanya dengan ketus. Tak perlu heran, pergulatan politik di kediaman Harem memang sudah menjadi rahasia umum. Khususnya hubungan menantu dan mertua yang selalu tampak tidak akur dengan gaya anggun. "Yang Mulia, Calista hanya ingin memberikan sedikit hadiah untuk calon permaisuri." Calista tersenyum lembut seraya mengambil sebuah kotak perhiasan yang diberikan salah satu pelayannya. Lantas, Calista menyerahkannya pada Imelda. "Mohon Ibu Suri sudi menerimanya." "Ya, ya, ya ... meski hanya hadiah kecil dan tidak seberapa, tapi aku menghargai pemberianmu Selir Calista." Tanpa membukanya, Imelda segera memberikannya pada pelayannya. "Baiklah, aku sangat sibuk mengurusi pesta penyambutan ini. Jadi, aku pergi dulu. Putri Amora, kau bisa mengambil hadiahmu sekarang." Mendengar ucapan Imelda sebelum pergi, wajah ketus Amora yang sebelumnya ia tunjukkan pada Calista langsung berubah ceria. Detik itu pula, tak sengaja Amora saling melempar tatap dengan Calista. Jelas, Calista merasa sedikit iri melihat perhatian yang diberikan Imelda pada Amora. Meski hadiah yang ia berikan jauh lebih mahal dari hadiah yang diberikan Amora–Calista sempat mengamati acara pemberian dan penerimaan hadiah itu dari kejauhan sebelum akhirnya ia datang– bagaimana pun juga dinding yang sangat tebal terlanjur membentang di antara mereka. "Oh, Selir Calista, aku pergi dulu." Amora pergi begitu saja bersama para pelayannya. Meski Calista menunduk hormat, tetapi sebenarnya dalam norma kerajaan, Amora juga seharusnya tetap harus memberi hormat sekali pun hanya mengangguk kecil. Namun, sikap Amora sangat menjengkelkan. "Yang Mulia ...," protes Vee, pelayan setianya. Jelas, merasa tak terima nyonyanya diperlakukan demikian. Namun, Calista segera menggelengkan kepala ringan. "Aku tidak apa-apa."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD