Alexa hampir pingsan melihat sekujur tubuh dan pakaian Arthur yang dipenuhi darah. Tidak, ini bukan hanya bercak, tetapi seperti baju yang dicuci dengan air darah. Jelas, kedua mata Alexa dibuat terbelalak memandang pemandangan yang sangat mengerikan ini.
Di ambang pintu, tampak pula Arthur yang terkejut dengan keberadaan Alexa. Bahkan, rambut peraknya tampak sedikit kotor terkena noda darah, tampak sangat kontras dengan warna bersih yang dimilikinya. Hanya saja, Arthur segera memasang wajah datar menghadapi keberadaan Alexa. Tidak terlalu kaget juga karena ketika di depan tadi memang dia sekilas melihat keberadaan pelayan Alexa. Meski bisa dikatakan, ia tidak menyangka wanita itu memiliki keberanian masuk ke dalam ruang kerjanya tanpa izin tanpa keberadaan si empunya ruangan.
"Apa yang terjadi? Kenapa pakaianmu penuh dengan darah?"
Arthur menatap baju besinya sekilas lalu menatap datar ke arah Alexa. "Aku bau. Mau mandi dulu, kau bisa datang besok lagi."
Awalnya, Arthur hampir beranjak. Namun, Alexa lebih dulu bangkit, berjalan cepat dan mencegat jalan pria itu. Wajah Alexa mendongak, menatap kesal pada si pria.
"Aku menunggumu sejak pagi. Kau tidak lihat kedua kantung mataku?"
Sebenarnya, Arthur adalah makhluk yang cukup peka. Buktinya, dia langsung paham jika Alexa memang sedang ingin bicara serius dengannya.
"Baiklah, tunggu sebentar. Tidak akan lama."
Alexa menipiskan bibir seraya mengangguk. Lantas Arthur melewatinya, meninggalkan bau anyir yang sempat tertinggal di udara. Berbagai macam pertanyaan dan perasaan berkecambuk dalam diri Alexa. Sikap dingin Arthur hari ini sangat berbeda. Apalagi, pria itu hampir tidak ada di ruang kerjanya seharian. Pertanyaan mendasar di kepalanya sekarang adalah ke mana dia pergi seharian ini? Mengapa tiba-tiba pulang dengan pakaian penuh darah?
Ah, tidak! Itu bukan satu pertanyaan, melainkan borongan pertanyaan yang nyaris mustahil akan dijawab Arthur. Berhenti, Alexa tidak harus memikirkan apa yang Arthur lakukan. Ia hanya perlu memberi tahu Arthur dan membuat kesepakatan dengan pria itu. Transaksi yang paling tidak bisa menjamin nyawanya. Karena di dunia antah berantah ini, partner yang paling berkualitas adalah Arthur. Terutama untuk melawan protagonis yang kuat juga dibutuhkan antagonis yang lebih hebat.
Alexa kembali duduk ke sofa. Menanti Arthur dari kamar mandi. Detail mengenai Arthur yang lebih suka tinggal di ruang kerja tidak dijelaskan dalam novel. Hanya saja, setelah beberapa hari mengenal Arthur dan melihat pria itu selalu anteng di dalam ruang kerjanya daripada kamarnya, Alexa bisa mengambil kesimpulan ini adalah tempat paling nyaman Arthur di istana.
"Apa yang ingin kau bicarakan?"
Suara bass yang terdengar rendah dan berat itu membuat Alexa mendongak. Tatapan mereka bertemu, si pemilik aquamarine laut dan si legam. Arthur berjalan dengan santai sambil memakai jubah berwarna hitam dengan corak naga berwarna perak di kedua sisinya. Tak mau munafik, Alexa sampai dibuat menegak salivanya dengan susah payah ketika bongkahan otot keras Arthur sempat terpajang di matanya. Namun, untungnya Alexa segera menguasai keadaan dengan berdeham.
"Seperti yang pernah kau bilang, jika kau hanya mempercayai sesuatu yang ada bukti, bukan? Jadi, aku sudah banyak mensurvei dan mempelajari peta daerah, catatan keuangan, dan sedikit karakter satu daerah yang menurutku akan berpotensi menjadi sarang korupsi dan pemberontakan. Aku tahu, dengan tindakan cepatku ini mungkin saja akan membuatmu berpikir mungkin saja malah aku penjahatnya. Tapi sungguh, aku hanya sedang berusaha memperkuat pemerintahanmu. Lagipula, jika aku memberimu saran untuk berhenti memperluas wilayah, kau pun tidak akan melakukannya. Jadi, aku akan memperkuat pemerintahanmu dari dalam."
Tampak raut penuh keterkejutan di wajah Arthur. Tentu saja dia tak menyangka istri yang sangat tidak ingin bersamanya telah memikirkan hal sedetail dan sedini mungkin. Jelas, alih-alih percaya, Arthur harus masih banyak menguji ucapan Alexa.
Melihat ekspresi Arthur yang tampak tidak yakin, Alexa segera membuka peta yang telah ia siapkan. Salah satu alis Arthur sampai terangkat, sebelum pria itu sedikit mendongak guna menatap Alexa.
"Apa ini?"
Alexa menunjuk daerah Silline, daerah paling ujung utara berbatasan dengan daerah Kerajaan Haloya Raya. Arthur menatap wajah Alexa yang tampak lebih fokus ketimbang menanggapi pertanyaannya. Pada akhirnya, tatapan si kata biru jatuh pada peta yang ditunjuk Alexa.
"Anda tahu daerah apa ini?"
"Kota Silline."
"Ya. Anda benar. Kota Silline adalah kota yang terkenal paling miskin dan terpencil ketimbang kota di perbatasan Utara. Kota itu sering terlibat konflik dengan Kerajaan Haloya Raya karena batas wilayah air yang sangat kecil di antara dua kerajaan. Kau tahu, meski daerah Silline dikenal sebagai kota termiskin, tetapi pada faktanya di sana terdapat pertambangan bijih besi. Apalagi, dua puluh persen dari seluruh data tempat asal biji besi adalah dari Silline. Harga bijih besi pun juga mahal. Jadi, menurut Anda, mengapa di sana sampai dijuluki sebagai daerah paling miskin?"
Kening Arthur mengernyit heran. "Tentu saja meski di sana banyak tambang bijih besi, tetapi struktur tanah daerah Silline adalah pegununang berbatu. Tanah penghasil pertanian sangat jarang di sana, maka dari itu kemiskinan dan kelaparan yang sering terjadi di sana disebabkan hasil pertanian yang tidak memungkinkan."
Alexa tersenyum lebar. "Anda salah, justru di daerah pegunungan barat Kota Silline memiliki tanah gembur yang sangat subur. Alasan mengapa hasil pertanian di sana masih rendah adalah tidak adanya pengairan yang memadai. Karena lihatlah ini, daerah tanah gembur ada di lereng pegunungan barat, sedangkan kebanyakan di daerah sana terdapat banyak air terjun yang mengalir ke bawah."
Seketika Arthur terkekeh dengan kalimat terakhir Alexa. "Jadi, kau akan membuat air mengalir ke atas?"
Dengan tegas, Alexa menjawab, "Ya. Aku akan melakukannya."
Dari sorot mata dan wajah Alexa, Arthur menangkap sebuah keseriusan.
"Maka dari itu, Yang Mulia. Izinkan aku ke sana langsung untuk menyelesaikan masalah ini untuk Anda. Anda tidak perlu khawatir tentang apa pun yang berubah, saya akan tetap bersetia kepada Anda. Jika di Adney Land, kalian mengenal ... sumpah darah?"
Arthur menatap wajah Alexa begitu lekat. "Kau mau melakukannya?"
"Jika diperlukan, akan kulakukan."
Terkekeh sejenak, Arthur tampak sangat heran dengan perubahan sikap Alexa. Beberapa waktu yang lalu, wanita itu mati-matian menolaknya. Namun, hari ini malah seolah memperjuangkannya. Apa maksudnya?
"Nyonya Leyton, Anda memperlakukan saya seperti melihat hantu kemarin-kemarin. Lantas, mengapa hari ini Anda terlihat sangat berambisi."
"Jangan salah, aku melakukan ini hanya untuk diriku sendiri. Aku berada di sebuah kerajaan yang tidak kukenali. Ada sesuatu yang aku ketahui, tapi tidak Anda ketahui. Saya sudah bilang sejak awal pada Anda, tapi Anda tidak percaya jika saya tidak memberikan bukti. Apa yang kulakukan semata-mata untuk menyelamatkan nyawaku sendiri. Dan orang yang sampai saat ini lumayan bisa kupercaya adalah Anda. Meski orang-orang mengenal Anda sebagai raja bertangan baja, tetapi saya yakin dengan ketegasan Anda, Anda hanya membutuhkan tangan lain untuk menjangkau sisi dalam kekuasaan Anda."
Arthur menggulung peta yang dibawa Alexa. Masih tetap dengan tatapan heran. Pria itu mengetukkan gulungan peta itu di telapak tangannya.
"Kau mengajukan diri seperti ini, tentu ada sesuatu yang ingin kau inginkan dariku. Katakan apa yang kau inginkan!"
Kali ini barulah wajah serius Alexa mengendur, Alexa tersenyum tipis. Sudah ia bilang, Arthur selain kuat dan cerdas juga sangat peka. Hanya saja, wajar jika dia tidak cakap mengurus urusan dalam negeri, tentu karena perhatiannya hanya difokuskan pada perang dan perang. Namun, harus Alexa akui bahwa Arthur adalah pria berpikiran terbuka.
"Yang Mulia, aku ingin Anda menemukan pintu gerbang ke dunia lain. Sejenis lorong waktu. Apakah bisa?"
Detik itu pula kerutan muncul di kening Arthur. Wajah pria itu tampak terheran. Astaga, malam ini Arthur sungguh sangat ekspresif meski hanya sekedar heran dan tanya.
"Permintaan macam apa itu?"
"Yang Mulia, aku pernah bilang jika aku bukan Athea dan aku bukan berasal dari sini, bukan?"
Kali ini Arthur mengeram malas. "Itu lagi? Kau benar-benar berpikir kau adalah bidadari dari kayangan?"
Alexa sudah menduga akan seperti ini. Ia hanya menghela napas panjang. "Sudah kuduga reaksimu akan seperti ini. Baiklah, abaikan permintaanku dulu. Yang terpenting adalah kau melihat hasil kerjaku, bukan? Jadi, bagaimana? Kau setuju?"
"Tidak." Arthur menjawab dengan sangat tegas.
Jawaban Arthur itu jelas di luar ekspektasi Alexa. Setelah apa yang ia jelaskan panjang lebar tadi, pria itu menjawab tidak? Mata Alexa membulat tak terima.
"Anda bersungguh-sungguh? Aku sedang membantu Anda, loh!"
"Aku sudah mempunyai banyak pejabat kerajaan, menurutmu apa tugas mereka? Mengapa aku harus menugaskan orang baru yang berasal dari kayangan sepertimu?"
Kali ini Alexa dibuat memejamkan mata sejenak, menyabarkan diri untuk tidak mencabik-cabik wajah Arthur yang tampak begitu tenang memberi jawaban. Berusaha berpikir positif, Alexa sekali lagi tersenyum.
"Ah, mungkin ini karena Anda belum pernah melihat bukti keuletan saya. Baiklah, kalau begitu, aku akan kembali lain kali."
Alexa hendak bangkit. Namun, sebuah pertanyaan yang keluar dari topik pembahasan dilontarkan Arthur dengan sebelah alis terangkat.
"Kau tidak menagih hakmu sebagai istri?"
Seketika Alexa menatap kesal pada Arthur.
"Kuperingatkan padamu jangan pernah menyentuhku, Yang Mulia Raja."
Alih-alih menurut, Arthur malah mencekal pergelangan tangan Alexa. Melihat itu kedua bola mata Alexa nyaris menggelinding. Hati Alexa terbakar bersamaan dengan kedua pipinya yang berubah bagai kepiting rebus.
"Apa yang kau lakukan?!" pekik Alexa dengan suara meninggi.
"Seperti ini tidak boleh?"