"Biarkan dia masuk!"
Ucapan Arthur itu membuat Alexa spontan menatap ke arahnya. Wanita itu langsung bangkit meski kakinya terasa sangat sakit. Mendadak tubuhnya menggigil, ia sangat ketakutan. Bahkan, ketakutannya akan tokoh utama lebih besar daripada bertemu sang villain.
"A-aku ... aku akan pergi," ucap Alexa terbata dengan wajah mendadak pucat.
Perubahan sikapnya itu sontak membuat Arthur bingung. Bahkan, melihat Alexa yang nekad bangkit dan melangkah dengan kaki tertatih hingga nyaris jatuh andai saja tangannya tidak segera mencengkeram tubuh Alexa yang oleng. Sontak Alexa mendongak, tatapan mereka berserobok.
"Kenapa wajahmu berubah pucat?"
Alexa meneguk saliva dengan susah payah. Satu pantangan baginya adalah bertemu dengan protagonis. Baginya, protagonis lebih mengerikan daripada monster. Pasalnya, ada masa depan mengerikan di tangan para protagonis, yaitu kematian Athea, tubuh yang kini ditempati Alexa.
"A-aku ...."
Alexa tidak boleh mengganggu kebersamaan Arthur dan Calista. Kendati pun Arthur telah berjanji akan mengantarkannya pulang setelah mereka menikah, tetap saja ia tak ingin banyak ikut dalam alur novel ini. Biarlah semua tokoh berjalan sesuai takdirnya, yang penting Alexa bisa pulang ke dunianya dengan selamat.
"Aku akan pergi. A-anda bisa menemui—"
Kriet ....
Suara derit pintu menginterupsi perhatian mereka berdua, wajah keduanya menoleh ke asal suara. Di mana seorang wanita dengan pakaian khas bangsawan dengan wajah begitu jelita memasuki ruangan. Gaun mewah menyapu tanahnya tampak begitu anggun membelit tubuh rampingnya. Begitu Alexa menatap sang protagonis, seketika kedua matanya dibuat nyaris menggelinding saking takjubnya.
Lihatlah pesona sang tokoh utama!
Tak salah jika Calista mampu mempesona sang tokoh protagonis pria dan antagonis pria. Kenyataannya, Alexa berani bertaruh bahwa Calista bukanlah manusia. Dia adalah jelmaan Dewi. Wajahnya tampak tirus dengan kulit putih hang seolah bercahaya. Sepasang mata indah dihias bulu mata lentik bak bunga musim semi, disempurnakan dengan binar bening di sepasang manik kecokelatannya. Calista adalah definisi ketidakadilan atas kesempurnaan ciptaan langit. Makhluk mana yang tak iri melihat keindahan makhluk bumi yang melangit? Calista memang definisi tokoh utama. Pesona yang ia miliki nyaris di luar akal.
Sejenak hati Alexa tiba-tiba mencelus. Ada rasa mengganjal yang tidak bisa desefinisikan. Perasaan asing yang sedikit membuatnya gerah, tetapi celetukan dalam hatinya benar; pantas saja Arthur tergila-gila pada Calista. Andai Alexa juga seorang pria, mungkin dia juga sudah mabuk dan memuja sang tokoh utama.
Calista memasuki ruangan seraya menunduk hormat, gerakannya tampak lembut nan begitu anggun. Ia kembali bangkit, berjalan pelan tanpa mendongakkan kepala. Melihat gerakannya pun Alexa mampu dibuat berdebar dan semakin berbinar. Ia lupa bahwa sang tokoh utama adalah penyebab kematiannya. Sungguh, Alexa lupa jika keelokan paras itu mampu membunuhnya.
"Hormat saya, Yang Mulia," ucap Calista begitu jarak tersisa beberapa meter. Perlahan wajah wanita itu terangkat.
Deg!
Dada Alexa terasa bagai dihempas pukulan telak begitu tatapan mereka tak sengaja berserobok. Tampak mata sayu Calista sedikit membulat ketika menyadari keberadaan Alexa. Jelas, dia pasti sangat terkejut. Tak hanya Calista, Alexa pun dibuat tersentak, seolah tubuhnya tersengat aliran listrik bertegangan tinggi. Bahkan, wajah Alexa sendiri terasa membatu, sangat kaku.
Meski sempat saling bertatap canggung, pada akhirnya Calista menunduk terlebih dahulu. "Selamat datang, Putri Agung."
Disapa demikian, hati Alexa kembali berdesir. Wanita itu segera menunduk kaku. Tidak ada rona keanggunan sama sekali.
"Yang Mulia." Alexa asal saja karena tidak tahu harus memanggilnya bagaimana.
"Ada apa Selir kemari?" tanya Arthur tegas.
Perhatian Calista segera terpusat pada sang suami. Wanita itu sekali lagi tersenyum lembut. Keanggunan dan kecantikannya tampak begitu tidak nyata, seolah di sekitarnya ikut remang karena pesona tak tertandingi.
"Yang Mulia, hamba hendak mengucapkan selamat kepada Anda atas kemenangan perang dan atas kedatangan Tuan Putri kemari." Calista sedikit melirik Alexa di ujung kalimatnya. "Saya berharap, Adney Land semakin diberkahi langit."
Lihat dan dengarlah sikap dan tutur kata yang begitu santun. Tidak salah juga, jika Calista adalah tokoh utama. Meski tampak lembut, tetapi setiap ucapan dan tidakannya tampak sangat berwibawa.
"Hanya untuk itu?" Suara berat Arthur membuat kedua wanita yang ada di ruangan itu segera menatapnya dengan wajah terkejut.
Alis Calista menurun, Alexa sempat menyadari ekspresi yang menunjukkan kekecewaan di wajah jelita itu. Jelas, wanita itu tampak sangat sedih. Namun, detik itu pula Alexa tersadar, sejak kapan Arthur bisa dingin pada Calista. Tidak, maksudnya biarpun dia punya bawaan perangai yang dingin, tetapi jika itu di depan Calista, dia akan berusaha berkata lembut dengan cara mengolah kosa kata yang akan keluar dari bibirnya.
"Jika hanya itu, kau bisa pergi sekarang. Aku masih sibuk." Arthur berkata tegas seraya mendudukkan tubuhnya ke sofa di belakangnya.
Perintah mutlak Arthur itu jelas membuat Calista segera menunduk dalam, menyembunyikan kekecewaan dalam benaknya.
"Baik, Yang Mulia. Saya permisi dulu."
Calista segera memberi hormat dan mengangguk kecil dengan seulas senyum pada Alexa sebelum ia berbalik dan pergi dari sana. Setelah kepergian Calista, tubuh Alexa segera jatuh ke sofa dalam keadaan limbung.
"Astaga! Dia cantik sekali!" seru Alexa dengan mata berbinar.
Mendengar ucapan Alexa, Arthur menoleh. "Apakah sangat cantik?"
Alexa segera menegakkan badan, ia menatap heran pada Arthur. "Mengapa Anda tadi bersikap sangat dingin padanya? Padahal Anda lihat sendiri dia begitu anggun dan sangat cantik. Mendapatkan istri sepertinya, bukankah itu sebuah berkah? Jika aku jadi dirimu, aku akan memilih mempertahankan satu istri dan menjaganya dengan baik daripada menikah lagi. Huh, lagipula mengapa sistem kerajaan selalu merugikan wanita?" Alexa melipat kedua tangannya di depan d**a.
Wajah Arthur tidak berubah, masih tampak datar dan ketus. Ekspresi yang benar-benar tidak bersahabat.
"Apakah menurutmu aku akan tergoda hanya dengan keindahan fisik?"
Alexa mengerutkan kening. "Kau pernah hampir meniduriku saat pertama kali kita bertemu di camp militer."
"Menidurimu? Aku hanya ingin melihat seberapa murahannya dirimu pada pria."
"Hei!" pekik Alexa tak terima. "Jelas-jelas sekali malam itu kau—"
Alexa tidak sanggup meneruskan ucapannya. Pasalnya, kejadian waktu itu sudah cukup untuk memacu jantungnya begitu cepat hingga membuat kedua pipinya bersemu merah.
"Aku apa? Tergoda? Lihatlah dirimu, berkacalah, atas bawah datar semua. Siapa yang tergoda?"
"Kau!" Alexa menunjuk wajah Arthur dengan jari telunjuknya. Sang raja menatap jarinya dengan kening mengerut, sebelum akhirnya menyeringai.
"Biasanya aku mencongkel mata orang yang berani menatapku. Tidak tahu bagaimana dengan jari orang."
Mendengar itu, alih-alih merasa takut, Alexa justru semakin menampakkan kekesalannya. Namun, pada akhirnya ia juga tetap menarik tangannya dan kembali bersedekap.
"Intinya, kau pria buaya!"
"Begitukah? Ya, memang benar. Tidak terhitung berapa orang yang pernah mati di tanganku, tidak terhitung juga berapa banyak mulut orang yang kurobek dan entahlah, aku ragu berapa perut yang pernah aku cabuk-cabik isi perutnya. Kau tahu, yang kulihat dari manusia adalah sesuatu yang menjijikkan dalam diri mereka."
Perlahan Arthur mencondongkan tubuhnya pada Alexa. Pria itu menunjuk jari telunjuknya pada d**a Alexa, menekannya tegas.
"Kau mau tahu apa yang kulihat dari manusia? Manusia hanyalah sekumpulan organ dalam yang menjijikkan. Jika aku menyukai manusia karena keindahan bentuk fisiknya, itu berarti yang kusukai darinya adalah kulit mereka saja. Tapi tidak dengan jantung mereka. Paru-paru mereka." Arthur menjeda ucapannya ketika telunjuknya berganti menekan perut Alexa. "Lambung, usus, hati, ginjal—"
"Hentikan! Baik-baik, aku mengerti!" Alexa segera menjauh beberapa meter sampai ke ujung sofa. "Kau tahu, alih-alih sebagai pria berkuasa, aku melihatmu seperti psikopat."
Arthur terdiam sejenak. Kerutan di keningnya tampak mengendur. Mengapa? Apa dia tidak marah dikatai psikopat? Atau memang dirinya psikopat?
Kini Alexa mulai was-was jika Arthur akan menyerangnya. Tangan wanita itu berusaha meraih benda terdekat yang mampu dicapainya untuk perlindungan diri. Namun, sesuatu yang terlontar dari mulut Arthur pada akhirnya malah membuatnya terhenyak.
"Apa itu psikopat?"