BAB 2 - SAKIT ITU LUKA

1147 Words
Naya menanti. Seorang diri duduk di atas tempat tidur sembari melihat ke arah pintu kamar yang tertutup, lantas beralih ke jam dinding yang sudah menunjukkan pukul tiga pagi. Lagi-lagi Rendra mengingkari janjinya. Sebenarnya ini bukan kali pertama Rendra mengingkari janjinya. Bahkan jika diingat-ingat, sudah tiga bulan belakangan ini Rendra selalu tidak menepati janji setiap kali berjanji pada Naya. Anehnya, selama ini Naya tidak menyadarinya. Dengan alasan kerjaan atau malah perintah bosnya, dengan mudahnya Rendra membatalkannya begitu saja. Bahkan pernah satu kali Naya sudah berada di cafe tempat keduanya janji makan malam bersama, malah Rendra membatalkannya lewat telepon. Tapi lagi-lagi, Naya malah menerimanya walau harus berakting merajuk agar bisa dibujuk Rendra saat dia kembali. Namun kali ini momentnya berbeda. Ulang tahun pernikahan ke delapan menjadi satu hal yang jelas membedakannya. Jika di hari lain, mungkin Naya akan biasa menerimanya. Namun ini tanggal penting yang bagi Naya tidak bisa diabaikan begitu saja. Dan kondisi semakin memanas setelah Naya mengetahui, bahwa Rendra ada main di belakangnya. Naya kembali memperhatikan jam. Terlihat jarum panjang baru bergerak ke angka berikutnya yang menandakan baru lima menit berlalu. Namun rasanya sudah sangat lama setelah terakhir Naya melihatnya. Naya menghela napas kasar, meraih handphone yang sejak tadi tergeletak di sampingnya. Tidak ada pesan dari Rendra sejak tadi. Terakhir kali saat Rendra memintanya untuk tidur duluan setelah satu jam dia pergi, dan setelah itu tidak ada lagi. Bahkan telepon Naya pun tidak diangkat Rendra. Kebiasaan Rendra yang selalu menghubungi balik, malah tidak terjadi malam ini. Naya semakin putus asa dibuatnya. Masih jelas di ingatan Naya, saat Rendra mengucapkan janji tidak akan berkhianat padanya. Janji yang dia ucapkan saat keduanya merayakan anniversary ke enam dua tahun lalu, membuat Naya merasa lega dan semakin yakin melangkah bersamanya. Rendra begitu tampak jelas mencintainya. Kedua matanya teduh, pelukannya hangat, kecupannya pun begitu membuat hasrat Naya meronta-ronta kala itu. Naya selalu berpikir, Rendra adalah pria yang sangat sempurna. Kerjaan mapan sebagai manager di salah satu perusahaan Production House terkemuka, ditambah dengan keromantisannya yang selalu dia umbar di hadapan Naya dan semua teman-teman Naya. Di mata Naya, Rendra juga seorang Ayah yang sempurna. Tidak pernah marah dan selalu ada untuk Aisha yang menjadi anak semata wayangnya. Namun ternyata di balik kesempurnaannya, tersimpan satu hal yang membuat Naya kecewa berat. Naya tidak bisa membayangkan perasaan Aisha jika tahu, sang ayah sudah menyakiti sang ibu dengan bermain bersama wanita lain. Suara mesin mobil terdengar memasuki pekarangan rumah. Naya beranjak turun dari tempat tidur dan mengintip lewat pintu balkon yang tertutup. Benar saja, Rendra sudah pulang. Dengan cepat Naya kembali ke tempat tidur dan berbaring sembari menarik selimut hingga d**a, mengambil posisi miring membelakangi posisi Rendra yang masih belum dihuni sang pemilik. Dia masuk. Terdengar suara pintu terbuka dan langkah kaki masuk. Terasa di depan wajah Naya, hembusan napas Rendra yang bisa dipastikan pria itu sedang berjongkok di sampingnya, sembari memperhatikan wajahnya yang saat ini, sebenarnya tidak ingin Naya lihat. "Maaf, Sayang, aku telat pulang. Sepertinya kamu ngantuk banget, besok aja kita rayakan ya?" bisik Rendra lantas menyapu pelan dengan jemarinya rambut Naya yang menutupi wajah. Kecupan hangat di kepala membuat hati Naya sakit bukan main. Rendra menjauh, dan terdengar suara pintu kamar mandi terbuka dan tertutup menandakan Rendra baru saja masuk ke sana. Naya membuka matanya perlahan. Aroma perfume perempuan di tubuh Rendra, berhasil membuat air matanya jatuh begitu saja membasahi bantal. Rendra benar-benar membuat tanggal penuh kebahagiaan, berubah menjadi tanggal kesedihan. Andai saja Rendra tidak melakukannya, Naya yakin dia sudah menyambut Rendra pulang dengan pelukan hangat seperti biasa. *** "Isha, jangan lari-lari dong, Nak. Kalau makan itu duduk!" Seruan Naya dari ruang makan sama sekali tidak digubris Aisha yang malah berlari menuju ruang tv, dan tanpa sengaja menabrak Rendra yang baru saja turun dari lantai dua. Rendra yang sudah mendengar jeritan itu sejak di atas, langsung menangkap tubuh Aisha dan menggendongnya. Walau sudah berusia hampir tujuh tahun, namun Rendra masih sanggup menggedong putri kecil berambut panjang sepunggung itu. "Kamu mau ke mana? Kok lari-larian, kan lagi sarapan?" tanya Rendra sembari membawa Aisha ke ruang makan. "Isha mau makan sama Ayah, tapi Bunda bilang Isha makan duluan karena takut telat ke sekolah, padahal kan ini masih jam setengah tujuh, sekolah Isha juga masuk jam setengah delapan. Tapi Bunda malah bilang, kalau Isha harus pergi sama Bunda hari ini lebih awal." Rendra menatap ke Naya yang sudah duduk di kursinya, menurunkan Aisha di kursi di sebelah Naya, lantas menyentuh kepala sang istri lembut. "Kenapa Isha gak pergi sama aku aja seperti biasa, Nay?" "Gak apa-apa, biar Isha pergi sama Naya hari ini, ayo cepat makan, Sha." Naya kembali mengarahkan sendok ke mulut Aisha, namun Aisha tetap saja menolak dengan menutup rapat-rapat mulutnya. "Ya sudah, kita makan sama-sama, hari ini Ayah memang ada kerjaan, jadi gak bisa antar Aisha ke sekolah," bohong Rendra sembari mengusap kepala Aisha. "Ya udah deh." Aisha membuka mulut. Suapan pertama pun berhasil masuk ke mulutnya. Rendra tersenyum lebar, mendaratkan kecupan di puncak kepala Naya yang membuat Naya kaget, namun dengan cepat mengubah ekspresinya menjadi datar kembali. "Happy anniversary, Sayang, maaf tadi malam aku pulang telat," bisik Rendra lantas duduk di kursinya. Menatap Naya yang hanya membalas dengan senyuman tipis. "Nanti malam kita dinner ya, aku udah bilang sama Ibu buat titip Aisha sebentar di sana. Gak apa-apa kan, Sha?" "Aku gak bisa, lagi banyak pesanan!" potong Naya sebelum Aisha sempat menjawab. Keduanya tampak kaget mendengar jawaban Naya yang selama ini tidak pernah menolak, setiap kali Rendra mengajaknya ke luar berdua. "Kamu marah ya?" tanya Rendra menyadari kesalahannya. "Aku gak marah, lagian wajar kok, lagi ada film yang mau tayang kan? Wajarlah kamu sibuk." Naya beranjak dari kursinya, meraih tas Aisha dan kembali menoleh ke sang anak yang sedang menghabiskan susunya. "Ayo kita berangkat sekarang, Sayang." Aisha menarik tatapannya ke sang bunda, sama halnya seperti Rendra yang menatapnya heran. Rendra langsung menggenggam tangan Naya, Naya menoleh. "Aku tau kamu marah samaku, tapi jangan lampiaskan ke Aisha," ucap Rendra dengan suara setengah berbisik. "Aisha baru selesai makan, biarkan dia duduk sebentar." "Entar di mobil juga bisa duduk, ayo, Sha," ajak Naya lagi. "Oh iya, aku izin bawa laptop kamu ke butik ya. Aku gak sempat mindahkan kerjaan aku tadi malam ke flashdisk, gak apa-apa, kan?" Rendra tampak ragu. Namun sorot mata Naya yang terus saja mengarah padanya seakan memaksanya untuk menjawab boleh, membuat Rendra tersenyum terpaksa lantas mengangguk pelan. Naya beralih ke Aisha. "Ayo kita berangkat, Sha!" ajaknya lagi sembari pergi meninggalkan keduanya tanpa berpamitan dengan Rendra yang sudah berdiri ingin menyambutnya, yang selalu mencium tangan sebelum pergi. Rendra lagi-lagi dibuat kaget dengan perubahan sikap Naya, namun suara Aisha yang memanggilnya, membuat Rendra menepiskan rasa kaget itu lantas berlutut di hadapan sang anak. Aisha hanya bisa menurut, berpamitan seperti biasa lantas bergegas menyusul Naya. Rendra hanya bisa terdiam, memperhatikan nasi goreng buatan Naya yang baru dia sadari, nasi goreng di piring Naya masih utuh. Rendra hanya bisa menarik napas dalam-dalam lantas menghembuskannya perlahan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD