Pertemuan Singkat

2017 Words
Aster yang tampan, cerdas, nyaris sempurna dengan kesuksesannya di usia muda sebagai dokter spesialis bedah saraf, dan lahir di keluarga yang sangat berkecukupan itu, tak membuat dirinya besar kepala. Pribadi Aster yang ramah dan rendah hati, membuatnya semakin terlihat berwibawa dan dihormati oleh banyak orang di rumah sakit. Tak sedikit para pasien yang dirawat atau rawat jalan menjadi lebih bersemangat untuk diperiksa olehnya. Senyum Aster yang menawan itu bahkan dijuluki sebagai gula jawa, karena seringkali membuat pasien merasa hampir terkena diabites saking manisnya. "Pagi, Mi, Pi." Sebelum duduk di depan meja makan untuk menikmati sarapan pagi, Aster menyapa kedua orang tuanya. Mereka sama sekali tak melirik atau menanggapi Aster. Menyadari hal itu, Aster menghela napasnya dengan lelah. "Kebiasaan," gumamnya. Rianti mendelik tajam. Kemudian, ia mengambil suapan makanannya. Rianti bahkan tega membiarkan sapaan anak semata wayangnya menjadi angin lalu. Kedua orang tuanya itu lebih memilih menikmati sarapan pagi tanpa perbincangan apapun. Aster sempat heran kenapa ayahnya jadi ikut-ikutan merajuk seperti ibunya. "Mami mau terus-terusan seperti ini?" tanya Aster. Lalu, ia beralih pada Wira. "Papi juga? Kenapa sih? Ngebet banget pengen punya cucu." "Memangnya siapa yang gak mau punya cucu?" sinis Rianti. "Kalo ada acara dengan teman-teman arisan, Mami malu karena cuma Mami yang belum punya cucu." "Ya sabar 'lah, Mi. Lagian kan Aster memang belum ada jodohnya." "Anak temen-temen Mami yang datang ke rumah cantik-cantik tuh. Ada yang jadi pramugari, terus ada juga yang jadi pengacara. Mereka terang-terangan naksir kamu. Dan kamu sama sekali gak melirik mereka? Kamu normal, 'kan?" omel Rianti. "Normal 'lah, Mi. Aster masih suka perempuan, kok. Cuman perempuan yang Mami sebutkan itu terlalu tinggi karirnya, Mi. Pramugari sering pergi-pergian, bakalan jarang ada di rumah, terus pengacara sering sibuk ngurusin kasus ini-itu." Aster nyerocos untuk beralasan. "Di sebelah rumah juga ada dokter Obgyn. Dia cantik loh, belum dapet calon. Gimana kalo Mami jodohin saja kamu sama dia?" Garis wajah Rianti sudah berbinar menunggu respon dari Aster. "Enggak." Aster menggeleng dengan mantap. Seketika binar di wajah Rianti luntur dan kembali masam. "Aster sudah pernah bilang sama Mami. Aster gak mau punya istri seprofesi." "Kalo begitu menikah saja kamu dengan kambing," celetuk Wira yang sejak tadi diam. Dalam hatinya memendam kekesalan juga seperti istrinya. Aster tercengang mendengar celetukan Wira. Bisa-bisanya seorang ayah yang jarang bicara itu, berujar sedemikian kucrutnya. "Ya ... gak begitu juga konsepnya, Pi!" "Papi punya banyak rekan bisnis, pasti mereka punya anak perempuan,'kan? Bisa dong Papi kenalin sama Aster," sela Rianti pada Wira. Wira mengangguk samar. "Ada, nanti Papi carikan calon untuk Aster." "Gak usah, Pi. Aster bisa cari sendiri-" Pletak! "Akh!" Sebuah sendok besi mampir seenaknya di jidat Aster yang terpampang tanpa terhalang rambut. Siapa pelakunya? Tentu saja Sang Nyonya rumah ini. "Cari sendiri gimana?! Mau sampai kapan kamu cari sendiri, heh?" sengor Rianti. Di tengah ringisannya, Aster menahan kesal. Dia anak semata wayang, tapi Rianti memperlakukannya seperti anak pungut, heran. "Oke. Besok Aster bawa calon ke rumah!" "Benar ya? Kalo enggak, Mami benar-benar jodohin kamu sama kambing!" *** Dengan kemeja biru tua dan celana hitam bahan yang rapi tanpa kusut sedikit pun, serta tak lupa dengan dasi hitam yang melingkar di kerah kemejanya, Aster berjalan memasuki rumah sakit sambil menjinjing tas kerjanya. Tak henti-hentinya Aster melempar senyuman kepada setiap orang-orang yang berlalu-lalang, seperti petugas kebersihan, dan juga security yang kebetulan lewat. Bahkan ada yang terang-terangan menyapanya seperti perawat-perawat yang beralih profesi menjadi fansnya Aster. Pagi ini langkah kaki jenjang Aster sudah menapaki lantai rumah sakit pusat Adinata dengan senyum yang sangat sayang untuk dilewatkan oleh siapapun. Lelaki pemilik tubuh tegak sempurna dengan bahu simetris itu mengawali harinya dengan suasana hati yang cukup baik. Makin baik ketika ia mampir untuk melihat pasien-pasiennya di ruang rawat hanya sekadar untuk menyapa dan melihat senyum para pasien. Sebagian pasiennya bahkan bertanya kemana gerangan Aster selama satu minggu ini, dan ada juga yang mengeluh perihal hari-harinya yang terasa hampa tanpa dokter kesayangan. Meskipun bekerja di rumah sakit keluarganya sendiri, bukan berarti Aster bisa lebih santai atau seenaknya untuk mengambil cuti, dan satu minggu kemarin adalah tabungan cuti yang dikumpulkan selama satu tahun. Setelah menyelesaikan masa residensinya sebagai dokter spesialis satu tahun yang lalu, tanggung jawab Aster kini jauh lebih besar dibandingkan sebelumnya. Di sisi lain Aster merasa bangga menjadi manusia yang berguna untuk menyembuhkan orang yang sakit parah. Tak jarang juga rasa kekecewaan menghampiri ketika dirinya tak bisa menyelamatkan pasien yang meninggal karena penyakit saraf atau kecelakaan. Serasa dirinya tak berguna, tapi Aster juga sadar bahwa hanya Tuhan yang memiliki segala takdir di dunia ini. Ia tak bisa menyalahkan dirinya untuk perihal takdir seseorang. Namun, ada situasi di mana hatinya harus dihajar habis-habis oleh situasi suram saat menyaksikan kesedihan banyak orang yang ditinggalkan. Aster sadar, pekerjaannya itu bukan hanya beresiko untuk batinnya, tapi juga memberikan pelajaran untuk dirinya sendiri. Dunia ini terlalu singkat, dan tidak ada yang abadi, maka dari itu kita harus selalu bersyukur dalam setiap keadaaan. "Selamat pagi, dokter Aster." Seorang perawat cantik dengan mata sipit dan dagu lancip, serta tubuh yang tinggi semapai, tiba-tiba muncul saat Aster hendak masuk ke ruangannya. Aster mengangguk dan tersenyum simpul, lalu membalas sapaan perawat itu. "Pagi juga, suster Farah." Suster Farah adalah salah satu perawat yang dengan terang-terang mengangumi Aster, tapi Aster sendiri pura-pura tidak peka. Seperti yang Aster katakan, ia tidak minat menjalin hubungan dengan perempuan yang satu profesi. Meskipun suster Farah seorang kepala perawat, bukan dokter, tapi tetap saja mereka berada dilingkup yang sama. Aster tak berminat untuk berbasa-basi terlalu lama. Sebisa mungkin Aster menghindari interaksi yang berlebihan dengan perawat-perawat yang ada di rumah sakit. Kalo perawat-perawat itu baper karena terlalu lama berbincang dengannya, bisa repot jadinya. Setelah permisi pada suster Farah, barulah Aster masuk ke ruangannya. Lalu, Aster memakai id card dan jas putih yang tergantung di belakang kursinya, untuk bersiap karena pagi ini adalah jadwalnya memeriksa perkembangan pasien yang sedang di rawat. Saat Aster keluar dari ruangan, tiba-tiba seseorang datang menghadang langkahnya. "Woy, Bro! Enak banget ya lu cuti seminggu?" Yang mendadak hadir tanpa diundang itu adalah Darren-sepupunya. Dia juga bekerja di rumah sakit ini sebagai dokter residen Obgyn tahun ketiga. Aster yang tak akur sedari orok dengan Darren, tak menjadikan Darren sebagai halangan untuk melanjutkan langkahnya. Darren yang merasa terabaikan, lantas mengikuti Aster dengan berjalan di sampingnya. "Ter. Karena gue baik, gue mau rekomendasiin cewek cantik buat lo, mau gak?" beonya tanpa diminta. Layaknya angin, Aster membiarkan perkataan Darren lewat begitu saja. Aster malah sibuk menyapa orang-orang. Darren berdecak. "Ck! Lo gitu banget sama sodara sendiri. Lo nyapa banyak orang, tapi sodara sendiri gak disapa. Kejam!" "Saudara? Gue gak ngerasa punya saudara," cetus Aster. "Gapapa, deh. Gue gak dianggap keluarga juga, yang penting gue bakalan rekomendasiin cewek buat lo." "Gak butuh rekomendasi dari lo. Toh, gue lajang juga gak rugiin siapa pun." Aster mengedikan bahunya, tak peduli. "Tapi gue gak tenang liat lo ngejomblo mulu, beneran!" Layaknya menghadapi bakteri yang menyebarkan virus, Darren tampak frustasi terhadap kejombloan Aster yang sebenarnya tak merugikan dirinya. "Mau gue potong lidah lo?" ancam Aster yang tambah kesal. Jika Aster baik pada semua orang, maka Darren adalah pengecualian. Salahnya sendiri karena menjadi manusia yang menyebalkan. "Beneran, Ter. Gue gak tenang selama lo masih ngejomblo. Pacar gue sering lirik-lirik lo. Gimana kalo dia berpaling dari gue coba? Perawat-perawat disini juga cuekin cowok-cowok karena sibuk ngejar-ngejar lo. Ayo'lah cepetan nikah!" keluh Darren. Aster menghela napasnya dengan kasar. Langkahnya berhenti, dan menghadap pada adik sepupunya itu sambil berkacak pinggang dengan wajah jengah. "Lo emang gak bisa berhenti ganggu barang satu hari doang? Bisulan lo kalo gak ganggu gue, hah?" "Oke-oke! Gue gak bakalan gangguin lo lagi, tapi lo harus janji gak bakalan rebut cewek gue!" ucap Darren sambil menunjuk wajah Aster. "Pergi gak lo?" Aster nyaris hilang kesabarannya ketika berhadapan dengan bocah itu. Karena tak berani mengoceh lebih banyak, Darren akhirnya ngibrit meninggalkan Aster. "Bisa-bisanya dia mikir gue bakalan rebut ceweknya. Memang siapa yang mau bekasan siluman babi?" gerutu Aster. *** Tiba'lah jam istirahat. Seperti biasa Aster akan pergi ke kantin rumah sakit untuk makan siang. Memang Aster itu wataknya ramah dan mudah akrab dengan banyak orang, bahkan, ibu kantin pun sangat mengagumi kehangatan Aster yang tak absen menyapanya. "Aduh, Bu. Jangan banyak-banyak. Nanti habis, lho!" ujar Aster saat Ibu kantin terus menambahkan nasi dan lauknya untuk dokter tampan itu. "Untuk dokter Aster, makanan disini selalu tersedia. Pokoknya, dokter harus sehat-sehat ya?" balas Bu Maryam. Aster terkekeh kecil mendapatkan perhatian khusus itu. Bu Maryam, selaku Ibu kantin tertua di tempat itu sudah ia anggap seperti ibunya sendiri. "Makasih ya, Bu." "Ck! Dokter Aster nasinya dibanyakin. Masa saya enggak sih, Bu?" protes Darren yang sudah berada di tempat yang sama dengan Aster. "Dokter Aster favorit saya," ungkap Bu Maryam. "Tapi kan saya juga butuh makan, Bu." Wajah Darren memelas karena iri. "Yasudah. Saya tambahin lagi nih nasinya. Lauk pauknya gak usah," ketus Bu Maryam. "Ah, Ibu! Pilih kasih banget sih!" "Di belakang masih ada yang antri. Udah gak usah ngeluh, bersyukur Bu Maryam ngasih makan," tegur Aster. "Oke. Emang lo yang selalu terpandang di sini," balas Darren dengan wajah pasrahnya. "Ini tempat kerja, Dokter Darren yang terhormat. Bisa sopan sedikit?" sarkas Aster. Darren menghela napas. Lagi-lagi dengan wajah pasrah. "Baik, dokter Aster." Aster tak lagi menghiraukan Darren. Ia mencari tempat duduk yang masih kosong. Namun, Darren tetap saja mengikutinya. Tiada hari bagi Aster tanpa recoknya suara kicauan Darren. Di sini Darren satu-satunya orang yang berani berbicara santai pada Aster. "Gimana, dokter Aster? Udah ketemu sama jodohnya?" celetuk Darren saat mereka sudah nyaman duduk. Aster merotasikan matanya dengan sebal. "Lagi? Lo mau sampai kapan ngomongin itu mulu, hah?" "Yang sopan dong, dokter Aster. Ini tempat kerja, lho!" ledek Darren yang tak henti-hentinya membuat Aster jengkel. Karena terlalu malas meladeni Darren, akhirnya Aster diam dan fokus pada kegiatannya untuk menyuapkan nasi ke mulut. Tapi, memang mulut Darren yang seperti knalpot, bukannya diam saat Aster abaikan, ia malah makin nyerocos. Sangat disayangkan, nafsu makannya harus hilang oleh mulut Darren yang berisik. "Eh, denger-denger. Bakalan ada mahasiswa kedokteran yang ngekoas di rumah sakit ini. Pasti cantik-cantik tuh. Gebet 'lah sama lo satu-satu." "Siapa tau jodoh,'kan? Ah atau mau gue cariin ceweknya yang cocok buat lo?" "Gue punya kenalan. Dia temennya tunangan gue. Mau dikenalin gak?" Aster mengeluarkan sapu tangan dari saku untuk mengusap bibirnya. Ia lupa bahwa sebentar lagi jadwalnya untuk melakukan operasi. Jika terus berada di sini bersama Darren hanya akan buang-buang waktu. Tanpa pamit atau sekedar basa-basi, Aster meninggalkan Darren yang masih menyantap makanannya. "Lah? Ter? Tungguin gue napa!" seru Darren hingga semua orang yang berada di kantin itu meliriknya. Sedangkan Aster tetap terus melangkahkan kakinya meninggalkan kantin tanpa mengindahkan suara Darren. Namun, tiba-tiba seseorang perempuan berjalan terburu-buru di tengah banyak orang yang berlalu lalang. Hingga- BRUK! "Awhh!" Aster terkejut saat seorang perempuan menabrak tubuhnya cukup keras. Alih-alih Aster yang kesakitan, malah perempuan itu yang terpental hingga terjatuh ke lantai dengan cup minuman yang isinya sudah tumpah. Perempuan itu kembali bangkit dengan cepat. Dengan gerakan tangan tergesa-gesa, ia membersihkan tumpahan air berwarna orange yang mengenai jas putih milik Aster. "Saya minta maaf, Pak. Saya benar-benar gak senga...." Perkataan perempuan itu tergantung saat ia bertemu pandang dengan lelaki pemilik iris mata gelap tapi teduh itu. "-ja." lanjutnya. Bukan kemarahan yang keluar dari ekspresi Aster, melainkan keramahan. "Oh gapapa, Mbak. Lain kali jalannya hati-hati ya? Gak usah buru-buru." Perempuan itu sedikit menganga dengan tatapan kagum saat Aster tersenyum. "Wah ... ganteng," gumamnya. "Gimana, Mbak? Mbak bilang apa?" tanya Aster dengan kerutan di dahinya. Perempuan itu menggelengkan kepalanya dengan cepat untuk sadar dari keterpukauanya. "Enggak, Pak. Saya gak bilang apa-apa. Bapak dokter di sini, 'kan?" Aster dengan ragu menjawab, "Iya, Mbak. Memangnya kenapa?" "Boleh saya cuci jas Pak dokter? Saya gak enak kalo gak tanggung jawab," usul perempuan itu. Aster melirik arlojinya dengan gelisah. Tanpa membuang waktu ia melepaskan jas putihnya. Kemudian, menyerahkannya pada perempuan tadi beserta kartu nama miliknya. "Saya buru-buru, Mbak. Kalo pakaian saya sudah bersih, hubungi saya pakai nomor yang tertera di sana ya?" tunjuk Aster pada kartu namanya. Perempuan itu tersenyum dengan mata berbinar. Ia mengangguk sebelum Aster benar-benar pergi. Terlihat jelas ketertarikan di balik matanya itu. Dan takdir mereka baru saja dimulai dengan pertemuan singkat itu. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD