Permintaan Gila

1642 Words
Pukul 20.00 Aster baru saja selesai melakukan operasi daruratnya karena tiba-tiba ada pasien yang mengalami kecelakaan dan terjadi masalah pada saraf otaknya. Fyi, Aster adalah dokter bedah saraf bagian tengkorak. Cukup melelahkan, tapi itu hal biasa untuk Aster yang sudah mulai praktek dari satu tahun yang lalu. Aster duduk di kursi kerja dengan helaan napas lelah. Berkali-kali ia melirik jam dinding. Ada hal yang ia lupakan. Tapi ia masih memikirkan apa hal tersebut. Namun, saat melihat gantungan di sebelahnya, ia langsung teringat, jas putih miliknya belum kembali. Kemudian, Aster mulai mengecek ponselnya. Tidak ada tanda-tanda seseorang menghubungi atau mengiriminya pesan. Yang ada hanya pesan dari nomor bodong yang minta-minta pulsa dan operator yang tak berhenti mengiriminya pesan untuk promo-promo paket data. Untuk sesaat mata Aster terpejam, dan ia hampir ketiduran jika saja tidak ada suara dering pada ponselnya. Tanda panggilan masuk. Ia kira perempuan yang tadi. Ternyata Sang Ibu negara. "Hallo, Mi?" sapa Aster yang sudah mengangkat teleponnya. "Anak Mami yang ganteng, Mami cuma mau ingetin, tadi pagi kamu udah janji bakalan bawa calon ke rumah besok. Jangan ingkar janji ya, sayang?" ucap Rianti dengan suara mendayu-dayu. Aster memutar bola matanya dengan malas. Bahkan ia saja lupa pernah menjanjikan hal itu. Kenapa bisa Ibunya begitu jeli? "Kapan emang Aster bilang gitu?" tanya Aster pura-pura lupa. "HEH! BERANI KAMU BOHONGIN MAMI, MAMI BAKALAN CARIIN KAMU CALON, DAN SIAPAPUN ITU KAMU HARUS MAU?!" Aster tercengang dan segera menjauhkan benda pipih itu dari telinga saat suara keras Rianti membuatnya kaget. "Iya deh iya. Besok Aster langsung bawa calonnya ke hadapan Mami sama Papi. Puas,'kan?" putus Aster tanpa berpikir. "Bagus. Alangkah baiknya kamu gak bohongin Mami lagi." "Iya, Mami." "Kamu udah makan, Nak?" Aster tersenyum mendengar pertanyaan itu. Begitu pun juga, Rianti adalah ibunya. Aster selalu suka jika perhatian kecil itu keluar dari mulut rombeng wanita yang sudah berusia lanjut itu. "Aster baru selesai operasi. Ini sekarang Aster mau cari makan." "Yaudah, Mami tutup teleponnya ya?" "Iya, Mi." Aster segera mengganti seragam scrubnya dengan pakain semula yang ia pakai. Kemudian, ia meraih ponsel dan kunci mobilnya. Di lorong rumah sakit yang lumayan sepi tiba-tiba ponselnya bergetar. Ada pesan masuk dari nomor yang tak dikenal. 08## #### ####: Hallo, Pak dokter. Saya yang tadi bawa jas pak dokter. Kalo bapak gak keberatan, kita ketemu di kafe yang ada di depan rumah sakit sekarang. Saya tunggu, kalo pun bapak telat datang karena sibuk, saya bakalan terus nunggu. Ternyata pesan itu dari perempuan tadi siang. Tanpa membalasnya, Aster bergegas ke tempat yang perempuan itu sebutkan. Tak perlu memakan waktu lama, Aster sudah sampai di tempat tersebut dalam waktu lima menit. Tempat itu tak terlalu ramai sehingga Aster tak perlu kesulitan untuk mencari orang yang hendak ia temui. Perempuan itu sudah melambaikan tangannya dengan wajah berseri, mungkin wajahnya memang selalu ceria, dari sudut kafe. Langkah lebar kakinya, membawa Aster ke tempat perempuan berambut panjang lurus dengan bandana bermotif bunga-bunga di kepalanya. "Mbak, yang tadi,'kan?" tanya Aster sebelum duduk untuk memastikan. "Iya, Pak. Kenalin, nama saya Sisil Samirah, panggil aja Sisil." Perempuan berwajah imut itu menyalurkan tangannya di depan Aster. Aster membalas jabatan tangan mungil gadis yang bernama Sisil itu. "Saya-" "Dokter Aster, 'kan? Aster Andromeda Adinata?" tebak Sisil. Aster tersenyum canggung. "Iya. Kamu tau nama saya?" Sisil menunjuk kartu nama di atas meja. "Saya lihat nama Pak dokter di sini." Aster mengangguk samar. Ia agak sedikit kebingungan harus mengeluarkan kata-kata apa lagi untuk memperpanjang percakapan dengan perempuan bermata sipit itu. Pasalnya, Sisil terus tersenyum hingga membuat Aster dilanda kecanggungan. "Oh iya. Pak dokter mau pesan minuman apa?" "Apa saja." Sisil menganggukkan kepalanya berkali-kali. Kemudian, ia mengangkat tangannya dan memanggil pelayan kafe. "Mbak Sisil mau pesan apa?" tanya pelayan yang Sisil panggil. Pelayan itu seakan sudah mengenal Sisil lebih dekat. "Americano dan Milk Shake ya, Mir," jawab Sisil pada Mira-pelayan tersebut. "Ditunggu ya, Mbak, Mas," pamit Mira. Tak lama dari itu minuman yang mereka pesan datang. Aster mengerutkan keningnya. Kenapa Sisil tahu minuman favoritnya? Ia kira Milk Shake untuknya dan Americano untuk Sisil, tapi ternyata sebaliknya. "Pak dokter gak suka minumannya ...?" tanya Sisil dengan ragu. "Kalo begitu, biar Sisil pesenin yang lain aja ya, Pak?" tawarnya. "Eh, gak usah! Ini minuman favorit saya," tukas Aster seraya menahan minumannya yang hendak Sisil ambil. Sisil mengembangkan bibirnya dengan senang. "Sisil seneng dengernya." Untuk kesekian kalinya Aster tersenyum kikuk. Ada sedikit ketidaknyamanan ia berada di tempat ini. Apalagi dengan gadis yang sedari tadi meliriknya terus. Hal itu membuatnya risih. Risih pada dirinya sendiri yang jadi payah dalam menghadapi perempuan. Sisil melirik kearah jari-jari tangan Aster. "Pak dokter belum tunangan atau menikah?" "Belum." "Kalo pacar ada nggak?" "Nggak ada." "Wah, kalo gitu kebetulan saya juga gak ada, Pak." Nih cewek aneh banget, apa gue pergi sekarang aja dari sini ya? batin Aster. "Sisil, saya gak bisa lama-lama di sini. Sebentar lagi ada jadwal operasi. Kalo begitu, saya permisi dulu ya? Terima kasih karena sudah mencuci pakaian milik saya," ucap Aster sebelum bangkit dan meraih paper bag yang berisi jas putihnya. Sengaja Aster membuat alasan untuk segera meninggalkan tempat itu, padahal setelah ini ia tak ada jadwal operasi lagi. "Bentar, Pak! Saya mau bicara sebentar sama Pak dokter!" Sisil langsung menahan Aster. "Tapi saya gak punya waktu lagi," sanggah Aster. "15 menit?" bujuk Sisil. Aster melirik arlojinya. Kemudian, ia melirik Sisil dan hendak berkata lagi. Namun, Sisil kembali menyela. "10 menit aja, Pak!" Aster menghela napas agak kasar. "Oke, cuma 10 menit," putusnya dan kembali duduk. "Selain mau kembaliin jas putih Pak dokter, Sisil mau minta tolong," tutur Sisil memulai pembicaraan lagi. "Minta tolong apa?" "Pak dokter bisa nikahin Sisil gak?" BYURR! Aster yang kebetulan tengah meneguk minumannya, spontan ia semburkan saat mendengar permintaan Sisil. Untungnya minuman dari mulut Aster tidak kena ke muka Sisil. Sisil yang melihat hal itu, secepat kilat memberikan tisu pada Aster. "Maaf, Pak. Saya gak bermaksud buat Pak dokter kaget kayak gini!" Aster mengangkat tangannya. "Gapapa. Gapapa!" Aster membersihkan area bibirnya dengan tisu, kemudian ia kembali fokus pada Sisil. "Maksud kamu apa?" "Pak dokter bisa ‘kan nikahin Sisil? Gak perlu lama kok. Cuma 100 hari, kita bisa menjalani kehidupan sebagai suami istri selama 100 hari. Setelah itu, pak dokter bisa ceraikan Sisil," terangnya. "Kamu sehat,'kan? Saya baru tahu nama kamu beberapa menit yang lalu. Mana bisa saya langsung nikahin kamu!" "Tapi kita udah kenalan, Pak. Sisil mohon! Cuma 100 hari!" Sisil sudah menyatukan tangannya di depan d**a. "Kamu pikir bisa menjadikan pernikahan sebagai bahan lelucon?" Aster mulai kesal pada gadis di depannya itu. Sisil memasang wajah memelasnya, bibir bawahnya terangkat, tatapan matanya terus memelas. Sehingga Aster yang melihat bagaimana ekspresi Sisil, langsung memalingkan wajahnya seraya meringis pelan. Setelahnya, Aster menggeleng. "Saya gak bisa." "Sisil mohon, Pak dokter!" "Umur kamu berapa tahun?" "21 tahun." "Saya 29 tahun. Sebentar lagi masuk 30 tahun. Kita jelas nggak cocok, umur kita terpaut jauh." "Gak ada larangan mau nikah sama umur berapa pun selagi masih perempuan dan laki-laki. Bahkan ada yang umurnya lebih kecil dari Sisil yang nikah sama kakek-kakek." "Tapi saya gak mau menikah dengan kamu," tolak Aster tegas. Sisil sesaat terdiam, ia menghela napasnya, lalu kembali berkata, "Anggap saja Pak dokter lagi bantu Sisil. Anggap saja Sisil cuma punya waktu 100 hari untuk hidup. Pak dokter bisa'kan bantu mencapai cita-cita Sisil untuk menikah dengan seorang dokter?" Aster mengusap wajahnya dengan frustasi. Di sisi lain dia juga membutuhkan seorang perempuan untuk dibawa kehadapan orang tuanya, tapi tidak untuk 100 hari. Ia membutuhkan hal itu untuk selamanya. Hal kebetulan apa ini? "Tapi saya tidak membutuhkan seorang gadis untuk 100 hari. Saya ingin menikah untuk satu kali seumur hidup dan bersama orang yang saya cintai," jelas Aster. "Kalo begitu, ubah aja rencana Pak dokter. Setelah bercerai dengan Sisil, Pak dokter bisa langsung menikah dengan gadis yang pak dokter cintai. Bagaimana?" Sisil berusaha membujuknya lagi. Kali ini lebih meyakinkan. Aster menatap Sisil dengan pandangan lurus. Dalam tatapannya terdapat penimbangan untuk keputusan yang harus ia ambil. Sisil mengeluarkan sebuat note kecil dan bolpoin dari tas slempangnya. Ia menuliskan sesuatu di secarik kertas itu, kemudian kertas itu diberikan pada Aster. "Kalo Pak dokter mau bantu Sisil, Pak dokter bisa datangi alamat itu untuk mengenal saya lebih banyak. Terima kasih atas waktunya, Pak, dokter." Setelahnya, Sisil beranjak dan pergi mendahului Aster dari tempat itu. Namun, sebelum itu, Sisil membayar minumannya terlebih dahulu. Sementara itu, Aster terus memandangi kertas yang ada di tangannya. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Di sisi lain, ia juga sudah berjanji pada orang tuanya untuk membawa calon istri besok. Jika dipikir lagi lebih cermat, dari mana Aster akan mendapatkan seseorang yang akan menjadi istrinya dalam satu malam? *** "Gue bingung, Ndu," ujar Aster pada Pandu yang sekarang tengah bermain Billiard. Pandu sudah mendengar cerita Aster dari awal sampai akhir. Ia masih tetap santai dengan bola kecil yang berada di depan matanya. Lalu, ia menegakkan tubuhnya dan melirik Aster yang tengah duduk dengan wajah suramnya. "Jodoh udah di depan mata, nikahin aja udah," balas Pandu. "Menurut lo kenapa dia cuma minta 100 hari?" tanya Aster. "Mungkin aja emang waktunya tinggal 100 hari." Pandu mengedikkan bahunya. "Maksud lo?" "Udahlah, mendingan lo nikah aja sama dia dari pada nyokap lo terus-terusn ngoceh minta cucu. Kalo udah nikah tinggal bikin tuh, jadi deh biji salak," celetuk Pandu. "Tapi-" "Buruan nikah sebelum umur lu tua-tua banget. Ciptakan produk anti gagal atau bibit unggul dari s****a lu yang masih sehat." Pandu menepuk bahu Aster berkali-kali. Percuma saja Aster bercerita pada Pandu. Solusinya memang selalu bertolak belakang dengan apa yang ada dipikirannya. Pandu melirik jam dinding. "Buset, udah tengah malem aja. Kuy pulang! Bini gue ngomel nih kalo kemaleman," dumelnya. Akhirnya, Aster pulang ke rumah tanpa solusi yang ia harapkan dan membawa pulang kesemrawutan otaknya. Yasudahlah, besok saja ia pikirkan lagi. Tubuhnya harus istirahat. Semoga saja ada keajaiban untuk hari besok. Kalau pun memang Aster berjodoh dengan pilihan ibunya, mungkin itu yang terbaik. Sudah lelah rasanya memikirkan permintaan Sang Ibu. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD