Prolog
Hari Senin mungkin adalah hari paling sibuk bagi anak-anak sekolah. Karena di Senin pagi, biasanya mereka sudah harus bangun lebih pagi dari hari biasanya agar bisa mengikuti upacara bendera yang rutin dilakukan setiap hari Senin. Dan hal itu tengah dialami oleh seorang anak laki-laki bernama Reksa. Reksa yang biasa dipanggil dengan sebutan Esa itu kini tengah meminta sang ayah untuk lebih cepat dalam memakaikan dasi berwarna merahnya agar tak terlambat sampai ke sekolah.
“Ayah, Ayah bisa nggak lebih cepat lagi makein dasinya? Esa takut telat,” ucap Reksa dengan nada kekhawatiran terselip di sana disertai keringat yang mulai membasahi keningnya.
Ayahnya yang bernama Oka Pratama Dirgantara itu hanya terkekeh kecil mendengar ketakutan sang anak. Selalu saja Reksa seperti itu saat Senin pagi mulai menjelma. Ketakutan anaknya semakin bertambah ketika Reksa pernah melihat kakak kelasnya yang terlambat datang saat upacara bendera lalu diberi hukuman untuk hormat ke bendera sampai upacara selesai. Tidak, Reksa tidak masalah akan hal itu. Karena kakak kelas tersebut memang sudah melanggar peraturan sekolah, jadi wajar saja diberi hukuman. Tapi yang Reksa takutkan adalah rasa malunya saat dihukum di depan murid-murid dari kelas satu sampai enam di sekolah dasarnya itu. Membayangkannya saja Reksa sudah bergidik ngeri.
“Anak Ayah nggak boleh takut, ya? Kita bakal tepat waktu kok sampai di sekolahnya.” Oka mengacak rambut hitam Reksa pelan lalu memakaikannya topi berwarna merah dengan lambang Tut Wuri Handayani di tengahnya. Setelah itu, Oka berdiri dari jongkoknya lalu mengulurkan tangannya pada Reksa. “Kita berangkat, yuk?” ajak Oka yang langsung diangguki penuh semangat oleh Reksa.
“Yuk!” jawab Reksa lantang sambil memamerkan sederet gigi putihnya. Sebelum benar-benar meninggalkan kamarnya, Reksa terlebih dahulu menyapa foto sang Bunda yang terletak di meja belajarnya untuk berpamitan. “Bunda, Esa berangkat sekolah dulu, ya? Bunda nggak perlu takut Esa kenapa-napa karena Ayah selalu jagain Esa,” ucapnya sambil mendongakkan kepala untuk menatap wajah sang ayah. Setelah mendapat anggukan dari Oka, Reksa pun mengembalikan pandangannya ke arah foto sang Bunda. “Assalamualaikum, Bun ...” Reksa mengucap salam lalu berjalan berdampingan dengan Oka keluar dari kamarnya.
Saat langkah mereka sudah berada di ruang tamu hendak menuju arah luar rumah, tiba-tiba Bi Ikah—pembantu sekaligus baby sitter Reksa—memanggil-manggil Oka dengan sebutan ‘Bapak’ yang membuat single parent dengan satu anak itu menghentikan langkahnya.
“Kenapa, Bi?”
“Saya mau tanya, Pak. Nanti saya jagain Den Esa di sekolah atau enggak?”
“Ah, saya lupa beritahu Bibi. Bibi tetap jagain Esa di sekolah. Biar hari ini saya yang mengantar Reksa ke sekolah. Mumpung saya ada waktu luang pagi ini di kantor. Bibi nanti nyusul ke sekolah setelah selesai mengerjakan pekerjaan Bibi, ya?” pinta Oka yang langsung diangguki penuh antusias oleh Bi Ikah.
“Siap, Pak!” sahut Bi Ikah sambil memeragakan gerakan hormat di hadapan Oka dan Reksa yang membuat ayah dan anak itu tertawa karena tingkah lucu sang ART. Setelah menebar tawa di pagi buta karena tingkah lucu Bi Ikah, dua beranak itu pun kini melanjutkan langkah mereka ke arah luar rumah dan berhenti tepat di depan mobil pribadi Oka.
Dengan senang hati, Oka membukakan pintu mobil untuk sang anak kemudian menyusul masuk setelah Reksa benar-benar berada di dalam mobil dan memasang safety belt-nya. Tak berapa lama kemudian, mobil tersebut pun mulai berjalan dan menjauh dari area rumah Reksa.
Selama di perjalanan menuju sekolahnya, Reksa mengisi waktu luangnya dengan menggambar apa saja yang ada di pikirannya di buku gambar yang selalu ia bawa. Hobi Reksa memang menggambar. Setiap ada perlombaan menggambar di sekolahnya, Reksa selalu ikut berpartisipasi dalam lomba tersebut dan selalu mendapat juara satu. Namun, jika ditanya apakah ia ingin menggeluti benar-benar hobinya itu dan bercita-cita menjadi arsitek atau semacamnya, maka Reksa menjawab tidak. Baginya, menggambar adalah sekedar hobi belaka. Tempatnya untuk menuangkan sesuatu yang ada di dalam pikirannya agar tak menjadi beban.
Sekitar sepuluh menit berada di perjalanan, akhirnya mobil yang dikemudikan oleh Oka sampai di seberang sekolah Reksa. Melihat itu, Reksa langsung menghentikan aktivitas menggambarnya lalu meraih tangan sang ayah kemudian menciumnya. “Yah, Esa sekolah dulu, ya? Assalamualaikum!” ucap Reksa sedikit tergesa lalu keluar dari mobil Oka tanpa mendengarkan sahutan dari sang ayah sambil berusaha memasukkan buku gambarnya ke dalam tas.
“Esa, Ayah bantuin nyebrang, ya?” tawar Oka yang dijawab gelengan oleh Reksa. Namun, ketika pandangannya masih setia pada buku gambar yang tak kunjung juga masuk ke dalam tasnya, tiba-tiba kendaraan roda dua melaju dari arah kanan dengan kecepatan tinggi.
Oka yang melihat itu sontak berteriak dan berniat ingin menghampiri sang anak. “REKSA!” teriaknya dibarengi dengan datangnya seseorang yang memakai hoodie berwarna hitam yang menjadi penyelamat Reksa ketika motor tersebut hanya berjarak beberapa meter darinya.
Reksa yang ditolong itu pun sontak kaget. Ia benar-benar tak menyadari jika dirinya barusan tengah diambang kematian. Seseorang yang memakai hoodie berwarna hitam itu pun masih setia menggenggam kedua tangan Reksa yang sedikit bergetar. Reksa sempat menatap wajah yang tertutup hoodie itu lama untuk mengenali sosok tersebut. Namun, Oka keburu datang yang membuat orang itu menjauh dari tempat kejadian.
“Kamu nggak papa, Nak?” Oka berjongkok tepat di hadapan Reksa yang membuat bocah laki-laki itu mengalihkan pandangannya ke arah sang ayah.
“Esa nggak papa, Yah ...” jawab Reksa dengan nada yang terbilang pelan.
“Kamu jangan main nyelonong kayak tadi, ya? Bahaya, Esa. Untung aja orang itu mau nolongin kamu. Ayah mau ngucapin terima kasih, tapi dia keburu pergi,” ucap Oka sembari menatap sosok ber-hoodie hitam yang mulai mengecil dari pandangannya sambil sesekali membenarkan tas yang tersampir di kedua bahunya. Reksa pun kini turut mengikuti pandangan sang ayah. Ia menatap sosok tersebut yang perlahan menghilang dari bola matanya. Reksa memang tak melihat wajahnya, tapi ia ingat bentuk bibir seseorang itu.
Bibir berwarna pink dengan t**i lalat berukuran kecil yang berada tepat di antara mulut dan hidung mancungnya. Dan Reksa meyakini jika seseorang yang menjadi penyelamatnya itu adalah seorang anak perempuan yang memiliki umur kurang lebih dengannya karena Reksa melihat beberapa helai rambut panjang seseorang itu menutupi wajahnya yang tertutup hoodie. Tanpa sadar, Reksa menerbitkan senyum tipis di bibirnya. Ia berharap suatu saat nanti akan dipertemukan kembali dengan sosok ber-hoodie hitam tersebut atau mungkin Reksa yang akan melakukan pencarian terhadap perempuan itu.