Bagian Satu

1336 Words
Beberapa tahun kemudian .... Kamar yang didominasi dengan warna monokrom ini menjadi saksi bisu bagaimana Reksa tak henti-hentinya memikirkan gadis ber-hoodie yang menolongnya beberapa tahun yang lalu. Saking tergila-gilanya dengan sosok gadis misterius itu, di setiap malamnya sebelum beranjak tidur, Reksa selalu menyempatkan waktu untuk menggambar lagi dan lagi sosok tersebut di buku gambarnya lalu ia tempelkan di dinding kamarnya sedari hari pertama mereka bertemu saat Reksa masih menginjak bangku sekolah dasar hingga sekarang ia telah duduk di bangku menengah atas. Tak ada kata bosan di dalam kamus Reksa dalam menggambar sketsa gadis ber-hoodie tersebut. kurang lebih delapan tahun lamanya ia menunggu kehadiran gadis itu kembali ke hidupnya, tetapi lagi dan lagi Reksa harus dihadapkan dengan penantian panjang kembali. Reksa tak peduli itu, sampai kapanpun ia akan tetap menunggu sosok itu setiap paginya di depan sekolah dasarnya dahulu sambil berharap perempuan itu kembali ke hadapannya lagi. Oka yang baru saja melirik arloji hitamnya sudah menunjukkan pukul enam lewat, kini langsung menurunkan kaca mobilnya untuk memanggil Reksa agar cepat berlalu dari depan sekolah dasarnya dan melanjutkan perjalanan ke sekolah menengah atasnya yang jaraknya cukup jauh dari sana. “Esa, cepetan, Nak! Nanti kamu terlambat!” Laki-laki yang dipanggil namanya hanya menoleh ke arah sang ayah lalu kembali menatap gerbang sekolah dasar yang dulu menjadi tempat belajar dan bermainnya serta menjadi tempat bertemunya dia dan gadis ber-hoodie tersebut. laki-laki yang saat itu masih sangat belia, kini telah tumbuh menjadi sosok laki-laki yang bertubuh tinggi dan semakin berkharisma dengan kaca mata tipis yang selalu ia pakai. Helaan napas keluar dari mulutnya. Mungkin belum hari ini, batinnya berkata. Ia pun membalikkan badan dan berjalan menyebrang menuju mobil sang ayah. “Kenapa dia betah banget, ya, Yah?” tanya Reksa ketika ia sudah berada di dalam mobil. Oka mengangkat alisnya sebelah. “Betah apa?” tanyanya balik karena merasa ambigu dengan pertanyaan yang diberikan Reksa. “Betah banget buat bersembunyi,” lanjut Reksa sambil mengarahkan tatapannya ke arah kaca mobil dengan wajah yang terbilang lesu. Oka terkekeh kecil. Pasti yang Reksa maksud adalah gadis ber-hoodie yang menolongnya beberapa tahun lalu. Karena tidak ada hari tanpa keluhan yang keluar dari mulut sang anak tentang penantiannya yang berakhir menunggu lagi dan lagi. Oka tidak tahu pasti mengapa anaknya itu begitu penasaran akan sosok gadis itu. Namun, ia berasumsi bahwa Reksa telah jatuh hati pada pandangan pertama oleh gadis ber-hoodie tersebut. “Dia nggak bersembunyi. Dia cuma enggan menampakkan diri biar kamu dilanda rasa penasaran terus,” sahut Oka dengan cengiran lebarnya yang mendapat tatapan memelas dari Reksa dengan senyuman tipis menghiasi bibirnya. “Tetap semangat, ya?” ucap Oka sambil menepuk pundak Reksa lalu melajukan mobilnya menjauh dari sana. *** Reksa tiba di sekolah tepat saat jam menunjukkan pukul setengah delapan kurang beberapa menit. Setelah berpamitan dengan ayahnya, Reksa langsung berlari sekencang mungkin dari gerbang sekolah sampai kelasnya karena mendapat pesan dari sahabatnya jika pagi ini ada ulangan mendadak yang dilakukan oleh Ibu Via selaku guru di bidang Bahasa Indonesia. Sesampainya ia di depan kelas XI IPA 3 yang notabene adalah kelasnya, Reksa langsung berjalan cepat menuju sahabatnya yang sedang duduk anteng di tempat duduknya sambil mengunyah permen karet. “Lo... nggak belajar, Ta?” tanya Reksa sedikit terengah saat dirinya berada tepat di samping Delta, sahabatnya sejak SMP. “Belajar? Buat apaan?” tanya Delta sambil mendongakkan kepalanya agar lebih leluasa melihat mimik wajah Reksa sekarang. “Lo bilang hari ini ada ulangan mendadak di pelajaran Bu Via?” tanya Reksa balik dengan wajah polosnya yang membuat Delta menyemburkan tawanya seketika. Reksa yang melihat itu langsung mengerutkan keningnya. “Lo kenapa ketawa, sih? Gak ada yang lucu juga,” kesalnya. Delta yang mendapat tatapan serius dari Reksa langsung menghentikan tawanya sejenak. “Ya, habis lo mau aja gue boongin,” sahutnya tanpa berdosa sedikit pun yang sontak membuat Reksa berdecak kemudian memilih untuk mendaratkan bokongnya di tempat duduknya yang tepat berada di belakang tempat duduk Delta. Tempat duduk Reksa memang begitu strategis. Saking strategisnya, guru-guru pun tak dapat menemukan keberadaannya karena berada di pojok kanan kelas dan tubuhnya sering tenggelam karena tubuh Delta yang tingginya sepadan dengan tiang listrik. Hampir sama dengannya. “Tapi ada berita yang lagi hangat tau nggak.” Delta kembali angkat bicara setelah tawanya benar-benar mereda. Reksa yang saat itu sedang sibuk mengeluarkan buku gambarnya hanya menanggapi ucapan Delta dengan acuh tak acuh. “Apa?” tanyanya dengan pandangan yang tetap fokus kepada buku gambarnya. “A—“ “Ada murid baru di kelas kita!” kalimat Delta langsung terpotong karena Poppy—teman sebangku Delta—terlebih dahulu menjelaskannya pada Reksa. “Itu ‘kan yang mau lo kasih tahu ke Reksa? Gak ada gunanya tau nggak lo ngasih tahu hal kayak gitu ke orang bodo amatan kayak dia.” Poppy menunjuk Reksa menggunakan dagunya yang membuat laki-laki berkacamata itu mengangkat kepalanya. “Dasar mulut seblak lo,” sarkas Delta yang membuat perempuan berambut panjang itu memberikannya pelototan secara gratis. “Apa lo bilang?!” tanya Poppy dengan nada suara naik satu oktaf yang membuat Reksa menutup telinganya sebelah karena sebentar lagi dapat dipastikan akan terjadi perang dunia ketiga antara Delta dan teman sebangkunya, Poppy. Di saat pertengkaran mereka baru saja hendak dimulai, tiba-tiba suara dari Bapak Fahrul selaku wali kelas mereka telah mendominasi kelas tersebut. “Assalamualaikum!” beliau mengucap salam dengan penuh aura ketegasan seperti biasanya yang membuat siswa-siswi di dalam kelas itu langsung menuju tempat duduk mereka masing-masing dan duduk manis. “Waalaikumsalam, Pak,” sahut mereka serempak. Namun, kali ini bukan kehadiran beliau yang membuat mereka diam terheran-heran. Melainkan sosok perempuan berambut kuncir dengan paras ayu yang berada tepat di belakang Pak Fahrul yang sukses membuat seisi kelas melongo, terlebih lagi para siswa yang ada di dalam kelas tersebut. Menyadari ekspresi anak muridnya yang kurang wajar, Pak Fahrul langsung angkat bicara kembali. “Kalian kenapa melongo kayak gitu?! Mau mulutnya dimasukin lalat?” tanya beliau dengan nada suara yang meninggi dari sebelumnya dan sukses membuat anak muridnya berhenti melongo. “Jadi, hari ini kalian kedatangan teman baru. Kamu,” Pak Fahrul mengalihkan pandangannya ke arah perempuan bersergam putih abu-abu yang sedari tadi mengikutinya. “Perkenalkan diri ke teman-teman barumu,” perintah Pak Fahrul yang membuat gadis itu mematung seraya mengedarkan pandangannya ke seluruh isi kelas. Dan tatapannya pun berhenti tepat di sosok Reksa yang saat itu hanya menunjukkan ekspresi datarnya. Tidak seperti laki-laki lainnya yang menampakkan ekspresi tak wajar. Lama menatap Reksa yang juga sedikit heran dengan gadis tersebut karena tak kunjung juga memperkenalkan dirinya, Pak Fahrul pun angkat bicara kembali. Kali ini dengan suara yang lebih mengagetkan agar gadis itu tersadar dari lamunannya. “Kamu! Cepat perkenalkan diri!” perintah beliau sekali lagi yang membuat gadis itu membuka mulutnya. “Na—Nama saya... Violetta, biasa dipanggil Violet,” singkat, padat, dan jelas. “Apa ada yang ditanyakan?” tanya Pak Fahrul yang sontak membuat seisi kelas menggeleng. “Kalau tidak ada, kamu silahkan duduk di kursi kosong itu.” Pak Fahrul menunjuk kursi kosong yang berada tepat di samping kursi Reksa. Setelah mendapat anggukan dari Violet, Pak Fahrul pun langsung mengucap salam lalu keluar dari kelas tersebut. Sedangkan Violet masih berjalan pelan menuju kursi yang berada tepat di samping Reksa. Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti tepat di samping kursi tersebut yang membuat Delta angkat bicara karena saat itu Reksa kembali berkutat dengan buku gambarnya. “Duduk aja,Violet. Reksa nggak gigit, kok. Dia emang rada bodo amat gitu orangnya kalau sama orang baru. Kalau sama kita mah enggak, ya ‘kan, Pop?” Delta menyenggol lengan Poppy untuk meminta persetujuan darinya. Namun, Poppy hanya mengangguk sekenanya yang membuat Delta tersenyum sumringah. “Boleh... gue duduk di sini?” tanya Violet pada Reksa yang membuat laki-laki berkacamata tipis itu menghentikan aktivitas menggambarnya sejenak lalu menganggukkan kepalanya. Melihat itu, Violet pun langsung mendaratkan bokongnya perlahan ke kursi kosong yang berada tepat di sebelah Reksa. Kemudian duduk dengan rasa canggung yang tercipta. Reksa sempat memperhatikan gadis itu dari ekor matanya, tetapi ia langsung menggelengkan kepalanya pelan dan memilih melanjutkan aktivitas menggambar gadis ber-hoodie-nya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD